Abstract

Recently, cases of aggressiveness have been increasingly found in the mass media. This is very concerning. Family harmony is thought to be a factor triggering the criteria for aggressiveness in adolescents. The purpose of this study was to see the relationship between family harmony and aggressiveness in grade VIII students of SMP Negeri 1 Sukodono. The research will be conducted using a correlational quantitative approach. This study used sample 177 students who were obtained from random sampling techniques. The data collection technique was done using a psychological scale. Measurement using the Likert scale variable. Data were analyzed by conducting hypothesis testing using Pearson Correlaton Product Moment. The results of this study indicate that there is a significant relationship between family harmony and aggressiveness among students of SMP Negeri 1 Sukodono. High student family harmony will have an impact on aggressiveness, as well as a decrease in student family harmony with aggressiveness. The family harmony of SMP Negeri 1 Sukodono students is high, and the aggressiveness at SMP Negeri 1 Sukodono is low.

Pendahuluan

Sekolah menurut Daryanto merupakan sebuah bangunan atau institusi yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar[1]. Sesuai dengan pengertian sekolah, maka dapat dipahami bahwa sekolah merupakan sebuah institusi atau organisasi yang diberikan kewenangan untuk penyelenggaraan aktivitas belajar mengajar.

Siswa merupakan setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di dunia Pendidikan[2]. Muhaimin menjelaskan bahwa siswa dipandang sebagai “subjek didik” yang memiliki nilai kemanusiaan sebagai individu, sebagai makhluk sosial yang memiliki identitas moral, wajib ditumbuhkan untuk meraih taraf optimum dan syarat kehidupan sebagai manusia warga negara yang diinginkan[3].

Sebagaimana di berbagai tempat, di dalam sekolah ada siswa yang mempunyai perilaku yang sesuai dengan aturan sekolah dan ada pula yang tidak sesuai. Siswa memiliki perilaku tidak sejalan dengan peraturan sekolah, misalnya : datang tidak tepat waktu, absen sekolah tanpa pemberitahuan atau permintaan izin, memaka, menyalahgunakan narkoba, mengkonsumsi rokok, melawan guru, tawuran, dan perbuatan melanggar lainnya. Selain itu, terdapat juga siswa yang mempunyai perilaku menyimpang dari atauran-aturan yang ada di masyarakat misalnya: anarkis, vandalisme, tawuran, melawan orang tua, melakukan tindakan asusisla, dan perbuatan menyimpang lainnya [4].

Belakangan ini kasus-kasus agresivitas juga sering diliput oleh media massa, misalnya berita yang memberitakan tentang agresivitas remaja, akhir-akhir ini kerap ada berita siswa berani melawan guru, baik secara langsung dengan ucapan atau fisik maupun secara tidak langsung[5].

Agresivitas adalah suatu perbuatan menyerang atau agresif dan sebuah bentuk pelanggaran yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan dan membuat sakit orang lain[6]. Agresif merupakan bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang atau merusak harta benda[7].terdapat aspek-aspek yang menunjukkan adanya agresivitas pada siswa. Antara lain adalah siswa yang memukul dan menendang temannya, memaki dan mengancam temannya, dan merasa tidak perduli dengan teman sekitarnya. Kemudian terdapat beberapa aspek agresivitas remaja diantaranya yaitu agresi fisik, perilaku yang ditujukan untuk membuat sakit secara fisik kepada orang. Perbuatan agresif contohnya, yaitu memukul, menendang, mencekik, mendorong. Agresi verbal, perilaku yang dimaksud yaitu membentak, mengancam, menghina. Agresi pasif, perilaku yang ditujukan untuk membuat sakit sesorang namun tidak dengan fisik ataupun verbal tetapi dengan cara mengabaikan, menjauhi serta tidak mempedulikan[6].

Ada beberapa penyebab agresivitas, terdapat faktor yang menjadi sebab agresivitas meliputi faktor biologi, faktor keluarga, sosial kognitif, peer atau kelompok, akademik, guru sekolah, dan komunitas[8]. Faktor biologi berkaitan dengan faktor genetik (contohnya temperamental), masa perinatal dan mekanisme biologi. Faktor keluarga contohnya pola asuh dan family disruptions. Faktor peer contohnya karena terdapat presure atau penolakan dari kelompok. Faktor sosial kognitif berkaitan dengan kurang mencukupinya kompetensi seseorang dalam memproses informasi sosial secara tepat.

Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) menyatakan keprihatinan atas adanya beberapa kasus kekerasan yang melibatkan anak. Berdasarkan data KPAI, laporan ABH (anak bermasalah hukum) karena menjadi pelaku kekerasan fisik dan psikis mencapai 530 kasus pada tahun 2017. Menurut KPAI, adannya kekuatan untuk menjalankan perbuatan nekat tersebut distimulus oleh faktor dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) pelaku. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri pelaku itu sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar pelaku[9].

Berdasarkan jurnal penelitian Yulita menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas siswa adalah keharmonisan keluarga. Keluarga yang harmonis dapat meminimalisasi atau mencegah perilaku agresivitas anak[10].

Mengacu pada uraian diatas salah satu faktor yang menyebabkan agresivitas adalah keluarga, lebih khususnya yaitu keharmonisan keluarga. Keluarga yang harmonis yaitu keluarga yang mempunyai keutuhan dalam hubungan keluarga yang terjadi dengan kewajaran. Karena keluarga yang harmonis salah satunya memiliki interaksi keluarga yang baik dan dengan interaksi keluarga yang baik diharapkan lingkungan keluarga akan bisa berperan dengan baik pada perkembangan remaja khususnya siswa SMP[11].

Keluarga yang harmonis yaitu keluarga yang memiliki keseimbangan. Keluarga yang seimbang adalah suatu keadaan di mana anggota keluarga mengetahui peran masing-masing sehingga nantinya dapat menciptakan keadaan keluarga yang harmonis[12].

Keharmonisan keluarga dapat berhubungan dengan beberapa aspek. Yaitu ada beberapa aspek keharmonisan keluarga diantaranya yaitu sebagai berikut, komitmen, apresiasi (penghargaan) dan afeksi (kasih sayang), komunikasi yang positif, memiliki waktu untuk kebersamaaan, menumbuhkan nilai-nilai spiritual dan agama, serta kemampuan untuk menyelesaikan atau menghadapi stres dan krisis[13].

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat topik hubungan antara kehiarmonisan keluarga dengan agresivitas. Penelitian yang di lakukan oleh menyatakan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara kualitas komunikasi antara orang tua dengan anak terhadap agresivitas[4].

Penelitian selanjutnya tentang agresivitas siswa dilakukan oleh Al-Fajriyah. Hasil penelitian menyatakan bahwa frustasi berpengaruh terhadap agresivitas[14].

Banyaknya kasus agresivitas yang terjadi pada remaja, khususnya saat siswa kelas VIII SMP karena pada usia tersebut anak mengalami peralihan masa anak-anak ke masa remaja. Penelitian mengenai agresivitas perlu dilakukan agar agresivitas di sekolah dapat dideteksi akar masalahnya, dievaluasi penyebabnya, dan diminimalisir salah satunya dengan menciptakan keluarga harmonis.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah “Apakah ada Hubungan Antara Keharmonisan Keluarga dengan Agresivitas Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Sukodono. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Antara Keharmonisan Keluarga dengan Agresivitas Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Sukodono. Adapun hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara Keharmonisan Keluarga dengan Agresivitas siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hipotesis ini dapat diartikan yaitu semakin tinggi Keharmonisan Keluarga maka semakin rendah Agresivitas pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Begitu juga sebaliknya, semakin rendah Keharmonisan Keluarga maka semakin tinggi Agresivitas pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan yaitu metode kuantitatif korelasional. Penelitian korelasi atau korelasional adalah mencari tahu apakah terdapat hubungan antar variabel dan ini penting sebab dengan mengetahui taraf relasi yang ada, penulis akan mampu mengembangkan berdasarkan tujuan riset. Jenis penelitian ini umumnya mencakup ukuran statistik atau taraf hubungan yang diistilahkan dengan[15]. Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel dependen dan variabel independen. Pada variabel dependen yaitu agresivitas sedangkan variabel independen yaitu keharmonisan keluarga. Populasi yaitu wilayah generalisasi yang meliputi objek atau subjek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditentukan oleh peneliti untuk dipelajari dan selanjutnya disimpulkan[16]. Populasi penelitian ini yaitu siswa Sekolah Menengah Pertama kelas VIII SMP Negeri 1 Sukodono berjumlah 360 siswa. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Penentuan jumlah sampel penelitian memakai tabel Isaac dan Michael sedikit lebih mudah dan telah ditetapkan taraf error untuk 1%, 5% dan 10%, yang akan digunakan adalah pada tingkat kesalahan 5%. Jadi sampel dalam penelitian ini berjumlah 177 siswa. Teknik sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah probability sampling yang secara spesifiknya ialah dengan menggunakan simple random sampling (pengambilan sampel acak sederhana). Dengan jumlah sebanyak 177 siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Sukodono. Metode pengumpulan data yang akan dipakai dalam riset ini yaitu dengan memakai skala agresivitas dan skala keharmonisan keluarga dengan memakai Skala Likert. Skala Likert yaitu skala yang dipakai untuk menjalankan pengukuran terhadap sikap, pendapat, dan persepsi satu individu atau satu kelompok orang tentang fenomena tertentu. Skala Likert adalah skala psikometrik yang biasanya dipakai lewat kuisoner dan survey. Adapun skala likert yang sudah dimodifikasi untuk mengukur agresivitas dan keharmonisan keluarga dengan pilihan jawaban, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Adapun juga dua jenis pernyataan yang akan dipakai oleh peneliti yaitu favourable dan unfavourable.

Instrumen penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa angket atau kuisioner yang dibuat sendiri oleh peneliti. Instrumen yang dipakai dalam riset ini ditujukan untuk mendapatkan data yang akurat yakni dengan memakai skala Likert.) Skala Likert digunakan untuk mengukur suatu sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu fenomena sosial[17]. Pada riset ini, peneliti memakai jenis instrumen angket atau skala dengan memberikan skor :

No Skala Arti Nilai
Favorable Unfavorable
1 SS Sangat setuju 4 1
2 S Setuju 3 2
3 TS Tidak setuju 2 3
4 STS Sangat tidak setuju 1 4
Table 1.Model Skala Likert

1. Skala Agresivitas

Format aitem yang akan digunakan oleh peneliti di dalam skala agresivitas adalah aitem bersifat pernyataan favorable dan Unfavorable dengan bentuk kalimat deklaratif, yang sesuai dengan apa yang dialami individu sebagai seorang subjek penelitian. Pada pernyataan favorable jawaban yang sesuai atau skor yang sesuai (SS) nilai 4, (S) nilai 3, (TS) nilai 2, dan (STS) nilai 1. Sedangkan pada pernyataan unfavorable skor (SS) nilai 1, (S) nilai 2, (TS) nilai 3, dan (STS) nilai 4.

No Aspek Indikator Aitem Total Aitem
F avorable U nfavorable
1. Aspek fisik Memukul 1,5,29 8,9 6
Menendang 19,26,30 12,19 6
2. Agresi verbal Mengancam 14,24,31 17,28 6
Memaki 15,18,32 11,13 6
3. Agresi pasif Menolak bicara 3,25,33 2,7 6
Tidak menjawab pertanyaan 6,16,34 20,22 6
Tidak perduli 17,21,35 10,23 6
21 21 42
Table 2.Blue print Skala Likert Agresivitas

2. Skala Keharmonisan Keluarga

Penyusunan di dalam skala psikologi tentang keharmonisan keluarga juga akan menggunakan skala yang berbentuk pernyataan atau kalimat deklaratif dari subjek itu sendiri sesuai dengan apa yang telah dialaminya dan sesuai dengan pengalamannya. Yang terdiri dari 30 pernyataan favorable dan 15 pernyataan unfavorable dengan skor untuk pernyataan favorable yaitu (SS) nilai 4, (S) nilai 3, (TS) nilai 2, dan (STS) nilai 1. Pernyataan unfavorable dengan skor (SS) nilai 1, (S) nilai 2, (TS) nilai 3, dan (STS) nilai 4.

No Aspek Indikator Aitem Total Aitem
Favorable Unfavorable
1. Komitmen Saling menjaga antar anggota keluarga 4,11,29 15,24,36 6
2. Apresiasi dan Afeksi Sikap saling menghargaiKepedulian antar anggota keluarga 5,12,3016,27,31 10,23,372,18,38 66
3. Komunikasi yang positif Berkomunikasi secara bersama 1,19,32 13,15,39 6
4. Mempunyai waktu bersama Berkumpul bersama keluarga 20,26,33 3,14,40 6
5. Menanamkan nilai-nilai spiritual dan agama Memegang nilai agama dan menjalankannya 9,19,34 6,7,41 6
6. Kemampuan untuk mengatasi stress dan krisis Bekerja sama dalam menghadapi masalah dalam keluarga. 22,28,35 17,21,42 6
21 21 42
Table 3.Blue print Skala Keharmonisan Keluarga

Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu mengunakan uji asumsi dan uji hipotesis, untuk uji asumsi terdiri dari uji normalitas dan linieritasPengolahan uji hipotesis yang menggunakan statistik parametrik, yaitu teknik korelasi Product Moment dari Pearson ini dianalisa menggunakan alat bantu computer dengan program SPSS 20.0 for windows.

Pengujian hipotesis menggunakan Teknik korelasi Pearson (Product Moment) yang dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara variabel (X) dengan variabel (Y), alasan memakai teknik analisis korelasi hubungan antara variabel X dan Y serta bentuk distribusi variabel X dan Y mendekati distribusi normal.

Namun, untuk menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearsonharus memenuhi uji asumsi, yaitu uji normalitas dan uji linieritas. Jika tidak lolos uji asumsi maka uji hipotesis menggunakan non parametrik, yaitu rho-spearman.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil uji normalitas pada output SPSS uji Kolmogorov-Smirnovmenunjukkan:

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Keharmonisan Keluarga Agresivitas
N 177 177
Normal Parametersa,b Mean 120,63 66,69
Std. Deviation 26,018 18,013
Most Extreme Differences Absolute ,188 ,100
Positive ,125 ,100
Negative -,188 -,069
Kolmogorov-Smirnov Z 2,507 1,333
Asymp. Sig. (2-tailed) ,000 ,057
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Table 4.Hasil Uji Normalitas

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai sig. Keharmonisan keluarga 0,000 dan agresivitas 0,057. Artinya variabel keharmonisan keluarga tidak terdistribusi normal karena memiliki nilai sig. lebih kecil dari 0,05, sedangkan agresivitas dinyatakan terdistribusi normal karena memiliki nilai sig. yang lebih besar dari 0,05.

Berdasarkan hasil uji linieritas pada output SPSS menunjukkan bahwa:

ANOVA Table
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Agresivitas * Keharmonisan Keluarga Between Groups (Combined) 50297,339 64 785,896 12,928 ,000
Linearity 32254,098 1 32254,098 530,575 ,000
Deviation from Linearity 18043,242 63 286,401 4,711 ,000
Within Groups 6808,570 112 60,791
Total 57105,910 176
Table 5.Hasil Uji Linieritas

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai sig. Linierity 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 namun deviation from linierity < 0,05 sehingga dinyatakan data dalam penelitian ini antara keharmonisan keluarga dan agresivitas tidak linier.

Sesudah memperoleh data hasil uji asumsi yang dinyatakan tidak lolos asumsi atau prasyarat, berikutnya peneliti melakukan pengujian hipotesis hubungan antara keharmonisan keluarga dan agresivitas siswa menggunakan uju korelasi non parametrik. Tabel dibawah ini merupakan koefisienrho spearson :

Correlations
Keharmonisan Keluarga Agresivitas
Spearman's rho Keharmonisan Keluarga Correlation Coefficient 1,000 -,762**
Sig. (2-tailed) . ,000
N 177 177
Agresivitas Correlation Coefficient -,762** 1,000
Sig. (2-tailed) ,000
N 177 177
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Table 6.Uji Hipotesis

Sesuai dengan hasil koefisienkoefisienrho spearson table diatas menunjukkan nilai signifikansi (2-tailed) yaitu 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 sehingga bisa dinyatakan terdapat korelasi antara keharmonisan keluarga dengan agresivitas. Correlation coeficient (koefisien korelasi) menunjukkan nilai -0,762 yang berarti arah korelasi antara dua variabel yang negatif korelasi antara keharmonisan keluarga dan agresivitas dengan kategori yang kuat.

Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 ,752a ,565 ,562 11,917
a. Predictors: (Constant), Keharmonisan Keluarga
Table 7.Koefisien Determinasi

Berdasarkan table diatas nilai koefisien determinasi atau r square (R2) yaitu sebesar 0,565 atau 56,5%, yang artinya keharmonisan keluarga memberikan sumbangan atau kontribusi efektif sebesar 56,5% terhadap agresivitas sedangkan sisanya yaitu 39% dipengaruhi oleh variabel lain diluar penelitian ini. Variabel lain yang dapat berpengaruh terhadap agresivitas yaitu kontrol diri, media sosial, teman sebaya, lingkungan sosial, pola asuh, dan kondisi internal individu.

Pembahasan

Sesuai dengan pengujian statistik dengan memakaikoefisienrho spearson dengan taraf keyakinan 5 persen didapat nilai signifikansi (2-tailed) 0,000 yang lebih kecil dibanding α=0,05. Oleh karena itu, bisa disebutkan, terdapat korelasi antara keharmonisan keluarga dengan agresivitas pada siswa SMP X di Sidoarjo. Naik turunnya keharmonisan keluarga diikuti oleh naik turunnya agresivitas.

Berdasarkan data yang sudah dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penilitian ini diterima, bahwa Jika siswa memiliki keharmonisan keluarga yang tinggi maka agresivitas akan turun. Begitu juga sebaliknya, jika siswa mempunyai keharmonisan keluarga yang rendah maka agresivitas juga akan naik.

Keharmonisan keluarga adalah suatu kecakapan individu yang ada dilingkungan sekitar. Keharmonisan keluarga yang tinggi atau rendah akan menentukan agresivitas. Kecenderungan sesorang untuk melakukan agresivitas ditentukan oleh kemampuan individu dalam mengontrol dirinya.

Penelitian Yunianto menyatakan ada korelasi negatif yang nyata antara kualitas komunikasi orangtua dan anak dengan agresivitas[18]. Kualitas komunikasi orangtua dan anak merupakan salah satu aspek keharmonisan keluarga. Keharmonisan keluarga yang tinggi akan diikut oleh rendahnya agresivitas. Sesuai dengan hasil empiris, pengujian statistik dan hasil teoritis serta riset sebelumnya, bisa diketahui bahwa terdapatnya korelasi antara keharmonisan keluarga dan agresivitas disebabkan oleh keharmonisan keluarga. Siswa yang terbiasa dengan komitmen keluarga, apresiasi dan afeksi, komunikasi yang positif, mempunyai waktu bersama, menanamkan nilai-nilai spiritual dan agama akan memiliki kecenderungan untuk tidak melakukan agresivitas. Sementara itu, siswa yang kurang memiliki keharmonisan dalam keluarganya akan cenderung melakukan agresivitas.

Keharmonisan keluarga sangatlah bisa berperan penting untuk membangun pribadi remaja yang lebih baik, dimana siswa SMP dengan keharmonisan keluarga yang tinggi dia tidak akan melakukan berbagai hal yang menjurus ke arah yang negatif, misalnya agresivitas. Agresivitas sendiri mempunyai berbagai macam aspek yaitu agresi fisik, agresi verbal, dan agresi pasif. Siswa SMP yang memiliki keharmonisan keluarga tinggi dia tidak akan melakukan berbagai macam aspek agresivitas seprti yang di uraikan diatas.

Sedangkan setiap siswa SMP yang memiliki keharmonisan keluarga rendah bisa dikatakan dia adalah individu yang rentan melakukan berbagai hal yang negatif, salah satunya adalah agresivitas. Siswa SMP dengan keharmonisan keluarga rendah dia akan melakukan beberapa aspek agresivitas seperti yang diuraikan diatas sebelumnya yaitu dia akan melakukan agresi fisik, agresi verbal, dan agresi pasif.

Sementara itu siswa yang memiliki komitmen dalam keluarga akan terbiasa saling menjaga antar anggota keluarga[13]. Hal ini kemudian akan selalu diterapkan di dalam kehidupan siswa di luar lingkup keluarga, seperti sekolah, organisasi, pertemanan, dan lain-lain. Sehingga siswa juga akan terbiasa menjaga orang-orang terdekatnya. Misalnya di sekolah, siswa yang memiliki komitmen akan berkomitmen untuk menjaga teman-temanya baik menjaga perasaan maupun menjaga secara fisik seperti menghindari untuk berkata kasar, menghina, hingga menyakiti secara fisik. Dengan demikian siswa dengan komitmen yang tinggi akan cenderung melakukan agresivitas rendah, atau bahkan tidak pernah melakukan agresivitas.

Sedangkan siswa yang terbiasa menerapkan apresiasi dan afeksi di dalam keluarganya akan mampu menghargai apapun[13]. Siswa yang terbiasa saling menghargai. Sekecil apapun kebaikan yang dilakukan oleh teman siswa tersebut akan dihargai oleh siswa tersebut. Sehingga tidak ada pihak yang merasa tersakiti. Dengan demikian agresivitas dapat diminimalisir.

Selain itu komunikasi yang positif juga dapat menurunkan agresivitas. Komunikasi yang positif di sini merupakan berkomunikasi secara bersama-sama[13]. Siswa yang terbiasa melakukan, menemukan, dan mendapatkan komunikasi yang positif di dalam keluarga, maka siswa akan menerapkan juga di dalam lingkup selain keluarga, seperti di dalam organisasi, pertemanan, sekolah, dan lingkungan sosial yang lainnya. Dengan demikian, maka siswa tersebut akan melakukan komunikasi yang positif juga dengan teman-temannya, guru-gurunya, dan lainnya. Komunikasi yang positif akan menurunkan tingkat kesalahpahaman apabila ada suatu masalah. Hal ini menyebabkan agresivitas dapat diminimalisir.

Aspek mempunyai waktu bersama juga penting di dalam keharmonisan keluarga. Siswa yang terbiasa mempunyai waktu bersama keluarga akan mendapatkan waktu berkumpul dengan keluarga[13]. Hal ini membuat siswa terbiasa mendapatkan kehangatan dalam keluarga. Di dalam lingkup sekolah, siswa tersebut akan cenderung melakukan hal yang sama, yakni berkumpul dengan teman-teman sebayanya, melakukan berbagai hal bersama, merasakan kehangatan di antara pertemanan, sehingga mereka terikat secara batin. Hal ini dapat meminimalisir agresivitas karena siswa akan merasa kasihan jika temannya mendapatkan perilaku kasar atau negatif.

Menanamkan nilai-nilai spiritual dan agama artinya memegang nilai-nilai agama dan menjalankannya[13]. Siswa yang terbisa ditanamkan nilai-nilai spiritual dan agama di dalam keluarga, maka siswa tersebut cenderung memegang nilai-nilai agama dan menjalankannya di mana nilai-nilai agama tersebut tentunya positif. Misalnya Siswa tersebut selalu diajarkan keluarganya untuk taat beribadah, tidak boleh saling menyakiti sesama makhluk Tuhan, saling menyayangi, mencintai kedamaian, menghindari permusuhan, dan sebagainya maka di dalam kehidupan sehari-hari siswa tersebut akan diterapkan nilai-nilai agama tersebut. Siswa tersebut menjadi cenderung tidak ingin menyakiti teman-temannya atau orang-orang sekitarnya, tidak ingin ada permusuhan, dan mencintai kedamaian, sehingga agresivitas dapat diminimalisir.

Kemampuan untuk mengatasi stress dan krisis dalam hal ini yaitu bekerja sama dalam menghadapi masalah dalam keluarga[13]. Siswa yang terbiasa memecahkan masalah dengan bekerja sama dengan keluarga akan terbiasa menerapkannya di lingkup selain keluarga. Misalnya pada saat mendapatkan masalah, siswa memecahkan masalah dengan meminta bantuan teman-temannya hingga masalah tersebut menjadi terpecahkan atau paling tidak terasa lebih ringan karena telah bercerita dengan teman-temannya. Dengan adanya kemampuan untuk mengatasi stress dan krisis, maka siswa lebih dapat berfikir dengan jernih sehingga tidak ada atau kecil kemungkinan siswa untuk melakukan agresivitas dengan menyakiti secara fisik, verbal, dan pasif kepada orang sekitar akibat stress yang menumpuk. Dengan demikian agresivitas dapat diminimalisir.

Hasil riset ini menyebutkan bahwa terdapat 92 orang (52%) mempunyai keharmonisan keluarga yang tinggi. Sedangkan responden yang berkategori keharmonisan keluarga sedang terdapat 81 orang (45,8%), serta responden berkategori keharmonisan keluarga rendah terdapat 4 orang (2,3%). Jumlah responden dengan keharmonisan keluarga kategori tinggi lebih besar dibandingkan dengan jumlah responden dengan keharmonisan keluarga yang sedang atau rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa dalam penelitian ini memiliki kecenderungan keharmonisan keluarga yang tinggi. Keharmonisan keluargaditunjukkan dengan 6 aspek yaitu perilaku komitmen, apresiasi dan afeksi, komunikasi yang positif, mempunyai waktu bersama, menanamkan nilai-nilai spiritual dan agama, serta kemampuan untuk mengatasi stress dan krisis.

Aspek yang dengan rata-rata lebih tinggi adalah aspek apresiasi dibanding aspek yang lain Hal ini menunjukkan bahwa siswa cenderung untuk memberikan aspresiasi dan afeksi kepada orang-orang di sekitarnya. Siswa yang terbiasa menerima atau melihat perilaku memberikan apesiasi dan afeksi dari keluarganya akan menrapkan hal tersebut ke orang-orang disekitarnya pula.

Di era informasi dan teknologi, siswa perlu mendapatkan keharmonisan dalam keluarga. Ketika berada di dalam lingkup keluarga, siswa mendapat pengaruh dari interaksi dengan lingkungan keluarganya. Siswa yang memiliki keharmonisan keluarga yang baik cenderung tidak melakukan agresivitas.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat 116 orang (65,5%) memiliki agresivitas rendah dari keseluruhan jumlah sampel. Sementara responden dengan kategori agresivitas sedang ada 60 orang (33,9%), dan tinggi hanya 1 orang (0,6%). Jumlah agresivitas dengan kategori rendah lebih besar dibandingkan dengan jumlah agresivitas sedang dan tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa dalam penelitian ini memiliki kecenderungan rendah melakukan agresivitas. Agresivitas ditunjukkan dengan tiga aspek yaitu fisik, verbal, dan pasif.

Aspek yang dengan rata-rata lebih tinggi adalah aspek verbal dibanding aspek fisik dan aspek tidak langsung. Hal ini menunjukkan bahwa siswa cenderung untuk melakukan memberi julukan, ejekan, dan ucapan yang kasar dibanding agresivitas yang lain. Siswa mengganggap bahwa perialku tersebut biasa dilakukan padahal ketiga perilaku terebut sangat menyakitkan dan berdampak psikologis pada korbannya.

Agresivitas merupakan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain baik dengan verbal maupun non verbal[19]. Agresivitas merupakan tindakan agresi dan pelanggaran yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan dan menyakiti orang lain[6].

Agresivitas pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VIII biasanya dapat dilihat secara langsung dengan mengamati perilaku pelaku agresivitas terhadap siswa yang lainnya, agresivitas pun juga dapat dilihat secara fisik dan psikologis. Secara fisik, susah untuk diam. Sedangkan secara psikologis, susah mengendalikan emosi, muncul rasa depresi, temperamental, dan tidak bertanggung jawab serta mereka sangat mudah membenci orang disekitarnya.

Riset ini memiliki keterbatasan mengingat keterbatasan tenaga dan waktu yang menyebabkan penelitian ini tidak dapat dilakukan dengan maksimal. Keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah sedikitnya jumlah sampel yang dapat mempengaruhi hasil uji statistik. Selain itu adanya keterbatasan variabel independen sebagai penentu variabel dependen. Dalam penelitian ini hanya ada satu variabel independen, yakni keharmonisan keluarga.

Simpulan

Sesuai dengan paparan hasil riset, bisa ditarik simpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keharmonisan keluarga dengan agresivitas pada siswa SMP Negeri 1 Sukodono. Keharmonisan keluarga siswa yang tinggi akan berdampak pada rendahnya agresivitas, begitu pula dengan adanya penurunan keharmonisan keluarga siswa akan mengakibatkan terjadinya peningkatan agresivitas. Keharmonisan keluarga siswa SMP Negeri 1 Sukodono tergolong tinggi, sementara agresivitas di SMP Negeri 1 Sukodono tergolong rendah. Mengingat jumlah sampel penelitian ini terbatas pada satu kelas saja, maka peneliti berikutnya disarankan agar melakukan penelitian dengan menambah sampel dari kelas yang lain agar dapat menghasilkan hasil yang maksimal. Selain itu variabel independen penelitian ini hanya satu, yakni keharmonisan keluarga, sedangkan masih banyak faktor lain yang diduga dapat berpengaruh terhadap agresivitas seperti latar belakang keluarga, lingkungan pergaulan, kepribadian, dan lain-lain.

References

  1. Daryanto, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Rosda Karya, 1997.
  2. Sarwono, Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
  3. Muhaimin, Strategi Belajar Mengajar. Surabaya: Citra Media., 2005.
  4. A. Yuniati, Suyahmo, and Juhadi, “Perilaku Menyimpang dan Tindak Kekerasan Siswa SMP di Kota Pekalongan Abstrak,” J. Educ. Soc. Stud., vol. 6, no. 1, pp. 1–6, 2017.
  5. “Agresivitas Remaja,” Suaramerdeka.com, 2018.
  6. R. A. Baron and D. Byrne, Psikologi Sosial Edisi kesepuluh jilid 2. Jakarta: Erlangga, 2005.
  7. T. D. Kisni and Hudaniyah, Psikologi Sosial Jilid 1. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Pers, 2001.
  8. M. T. Dempsey, “Working with parents of aggressive children: A practitioner?s guide,” Aggress. Behav., vol. 28, no. 4, pp. 339–340, 2002.
  9. Susanto, “Catatan Akhir Tahun KPAI Meneropong Persoalan Anak,” https:// www.kpai.go.id/publikasi/, 2017.
  10. T. Yulita, “Hubungan Antara Keharmonisan Keluarga Dengan Perilaku Agresif Siswa Kelas VII SMP PGRI 1 Kediri Tahun Pelajaran 2016/2017,” FKIP-Bimbingan Konseling, 2017.
  11. Ahmadi, Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
  12. A. Qaimi, Keluarga dan Anak Bermasalah. Bogor: Cahaya, 2002.
  13. J. D. DeFrain, “Strong Family Around The World,” Fam. Matters, vol. 53, 1999.
  14. K. Al Fajriyah, “Hubungan Antara Frustasi Dengan Agresivitas Siswa SMP Negeri 3 Suruh,” Skripsi, Jur. Psikologi, Fak. Psikologi, Univ. Muhammadiyah Surakarta, vol. 2015, pp. 1–239, 2015.