Abstract
The existence of bullying behavior carried out by students to their friends is a matter of concern because bullying has a very bad impact on the psychic who is exposed to bullying. Bullying should be avoided by strengthening self-control in students. The purpose of this study was to determine the relationship between self-control and bullying behavior in class VII SMPN X. This research will be conducted using a correlational quantitative approach. This study used a sample of 186 students who were obtained from random sampling techniques. The data collection technique was done using a psychological scale. Measurement of variables using a Likert scale. The bullying behavior scale reliability was 0.747 and the self-control scale was 0.881. The data analysis technique is done by testing the hypothesis using Pearson Correlation Product Moment. The results of this study indicate that there is a relationship between self-control and bullying behavior in SMP X students in Sidoarjo. The relationship between self-control and bullying behavior is 0.819 with a sig value. 0,000. Increased student self-control will have an impact on reducing bullying behavior, as well as a decrease in student self-control will result in an increase in bullying behavior. The amount of influence between self-control and bullying behavior is 0.671 or 67.1%. The students' self control at SMP X in Sidoarjo was classified as moderate, while the bullying behavior at SMP X in Sidoarjo was low.
Pendahuluan
Sekolah adalah institusi pendidikan bersifat formalistik yang memiliki fungsi wahana untuk peningkatan bakat dan minat anak didik. Wayne berpendapat bahwa sekolah merupakan suatu sistem hubungan sosial dari institusi yang menyeluruh meliputi hubungan personal yang terhubung secara bersama dalam relasi organik[1]. Sementara itu, sesuai dengan UU No 2 Tahun 1989 sekolah merupakan satuan pendidikan yang bertingkat serta berkelanjutan untuk melaksanakan aktivitas pembelajaran.
Sekolah merupakan institusi bagi para anak didik. Pengajaran anak didik diawasi oleh pendidik. Mayoritas negara mempunyai sistem pendidikan yang bersifat formalistik yang biasanya terjadi perkembangan dengan seperangkat aktivitas pembelajaran di sekolah. Nama generik untuk sekolah variatif sesuai dengan negaranya, namun biasanya meliputi sekolah dasar untuk generasi anak kecil serta sekolah menengah untuk remaja yang sudah menuntaskan pendidikan dasar. Kewajiban anak didik di sekolah adalah melakukan aktivitas pembelajaran. Anak didik tentu dekat dengan aktivitas pembelajaran, karena kegiatan pembelajaran adalah kewajiban anak didik. Aktivitas sesorang anak didik selain melakukan kegiatan pembelajaran adalah mengerjakan tugas di rumah, menjalankan piket, sesuai jadwal, mengikuti kegiatan upacara hari senin dan hari besar lainnya, menjalankan tindakan dan sikap yang baik kepada siswa lainnya, dan para guru di sekolah.
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk belajar, bergaul dan mengembangkan potensi yang ada pada diri siswa tetapi justru menjadi tempat yang menakutkan bagi siswa-siswi yang sedang menempuh pendidikan di sekolah-sekolah yang ada di indonesia. Pelajar di sekolah yang seharusnya belajar, menjadi takut dan terancam karena banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh temannya sendiri. Oleh karena itu, seorang siswa harus mampu menjauhi perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan pengaruh negatif bagi teman-temannya.
Perilaknu bullying adalah perilaku menyerang atau agresif yang di lakukan secara individu ataupun berkelompok terhadap seseorang ataupun kelompok lainnya yang dijalankan secara berulang kali melalui deraan fisik ataupun psikis[2]. Sedangkan menurut Astuti perilaku bullying yang ada di sekolah mempuyai tiga karakteristik yang menyatu[3], yakni, 1) tindakan yang dijalankan secara sengaja oleh pelaku dengan maksud untuk membuat sakit korban. 2) tindakan yang dijalankan tidak berimbang yang dapat menekan perasaan korban. 3) tindakan yang dijalankan secara berulang kali. Berbeda dengan agresi, perilaku bullying merupakan situasi akhir yang diinginkan dan dicapai melalui penggunaan kekuatan secara bertujuan untuk menyakiti orang lain dan untuk menunjukkan dominansi seseorang terhadap orang lain. hasil akhir dari perilaku bullying lebih dapat diprediksi dibanding hasil akhir dari agresi. Sementra agresi merupakan situasi saat seseorang memperoleh sesuatu dengan menggunakan kekuatan namun dominansinya terhadap target atau korban merupakan hal yang insidental dan tidak disengaja[4]. Beberapa ahli memandang perilaku bullying sebagai agresi yang berulang. Anesty menulis bahwa bullying terjadi saat korban mengalami tindakan negatif yang berulang dan terus-menerus, jadi dalam perilaku bullying selalu ada serangan yang berulang[5].
Maraknya kasus perilaku bullying di sekolah sangat memprihatinkan, terutama bagi korban yang sering menerima tindakan bullying yang dilakukan oleh teman-temanya sendiri. Siswa yang sering menerima perlakuan bullying di sekolah, menurut Marela, dkk. berpeluang 1,5 kali lebih besar mengalami depresi dibandingkan dengan yang tidak mengalami perlakuan bullying[6]. Kemungkinan terburuk korban bisa bertindak di luar dugaan misalnya melakukan upaya bunuh diri karena merasa mendapatkan ancaman serta tekanan oleh perlakukan kekerasan yang diterimanya. Korban perilaku bullying juga kelak saat sudah besar, kemungkinan besar akan berubah menjadi pelaku bullying, berubah liar dan suka menyerang hingga sampai bisa bertindak jahat seperti membunuh.
Dampak dari perilaku bullying tidak hanya dirasakan oleh korban perilaku bullying, akan tetapi juga berimplikasi terhadap pelaku bullying. Dampak perilaku bullying berupa gangguan kesehatan mental. Sementara itu, terdapat dua pembagian perilaku bullying, mengacu pada media yang dilibatkan, yakni traditional bullying dan cyberbullying. Keduanya merupakan sebuah tindakan agresi yang menyebabkan kerugian pada orang lain, yang biasanya dilakukan secara berulang dari waktu ke waktu, dan terjadi di antara individu yang hubungannya dicirikan oleh ketidakseimbangan kekuasaan[7]. Pelaku bullying mempunyai intensitas empati yang minim dalam fenomena interaksi sosial. Skrzypiec menyebutkan bahwa mereka mengalami permasalahan perilaku abnormal, hiperaktif, dan pro-sosial ketika terlibat dalam proses interaksi sosial. Baik empati maupun perilaku abnormal, perilaku hiperaktif, dan pro-sosial sangat berkaitan dengan respon pelaku ketika dirinya terlibat dengan lingkungan sosial sekitar[8]. Berbeda dengan korban-pelaku, tingkat gangguan kesehatan mental mereka lebih besar dibandingkan pelaku dan korban bullying. Mereka adalah individu yang melakukan tindakan bullying, namun mereka juga menjadi korban bullying[9]. Mereka mengalami permasalahan pro-sosial, hiperaktif, dan perilaku[8]. Untuk korban bullying, penelitian Skrzypiecmenjelaskan bahwa mereka berada pada rating antara pelaku dan korban-pelaku bullying[8]. Mereka mempunyai masalah dengan kesehatan mental, terutama gejala emosional[8]. Hal yang sering ditemukan adalah mereka sering terisolasi secara sosial, tidak mempunyai teman dekat atau sahabat, dan tidak memiliki hubungan baik dengan orang tua[10].
Perilaku Bullying yang terjadi pada anak-anak mengakibatkan tingginya tingkat depresi, kecemasan, dan bunuh diri ketika dewasa[11]. Tidak hanya itu, mereka bahkan mengalami permasalahan dalam hubungan sosial, kondisi ekonomi yang memburuk, dan rendahnya well-being ketika menginjak usia 50 tahun[11][9]. Demikian, bullying berdampak pada rendahnya tingkat hubungan sosial korban, kesehatan mental dan fisik, dan persoalan ekonomi[11].
Menurut (KPAI) Kasus kekerasan (bullying) di sekolah menduduki peringkat teratas di sektor pendidikan. Jumlah anak sebagai pelaku kekerasan (bullying) di sekolah mengalami kenaikan dari 67 kasus pada 2014 menjadi 79 kasus di 2015 [12] . Hal tersebut menguatkan bahwa kasus kekerasan bullying masih banyak terjadi di sekolah-sekolah yang berada di Indonesia. Coloroso bullying terjadi karena ada pihak yang menindas, adanya penonton yang diam atau bahkan mendukung, dan adanya pihak yang dianggap lemah dan menganggap dirinya sebagai pihak yang lemah, sehingga mereka yang merasa dirinya lemah akan menganggap bahwa mereka memang pantas diperlakukan seperti itu[13].
Sesuai dengan permasalahan yang ada di sekitar domisili peneliti, perilaku bullying dijummpai di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Peneliti sudah melakukan pengamatan terhadap salah satu SMP di ligkungan domisili peneliti yang kerap ada tindakan bullying. Perihal perilaku bullying itu, sesuai dengan wawancara dengan anak didik dan guru BK sekolah itu, yaikni SMPN X yang akan dijadikan sebagai lokasi riset ini. Peneliti sudah menjalankan interview singkat terhadap anak didik dan guru BK, berhubungan dengan riset yang akan dijalankan.
Sesuai dengan keterangan dan informasi dari interview yang didapatkan, perilaku bullying lebih sering terjadi pada siswa kelas 7. Hal ini disebabkan karena pada usia siswa menginjak kelas 7 SMP, siswa mengalami peralihan masa anak-anak ke masa remaja. Pada tahap peralihan tersebut, anak mulai berinteraksi dengan lingkungan yang baru, mulai mengembangkan rasa percaya diri, serta berusaha mencapai kompetensi penting yang harus dimilikinya[14]. Kegagalan dalam mencapai kompetensi tersebut akan dapat memicu anak untuk melakukan tindakan bullying[15].Meski kelas VII merupalan kelas paling rendah di SMP, pelaku bullying tetap ada di kelas paling rendah (yunior). Perilaku Bullying terjadi bukan hanya senior (kelas VIII/IX) kepada yuniornya (VII) saja, melainkan juga terjadi pada anak yang berstrata ekonomi tinggi mem-bully anak berstrata ekonomi rendah; anak yang kuat mem-bully anak yang lemah; anak dari etnis mayoritas mem-bully anak dari etnis minoritas; laki-laki mem-bully perempuan atau sebaliknya; anak berfisik normal mem-bully anak invalid; anak anggota genk tertentu mem-bully anak bukan anggota genk. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pelaku bullying bukan saja karena senoritas saja. Menurut Astuti, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku bullyingyaitu : perbedaan kelas (senioritas, ekonomi, agama, jender, etnisitas atau rasisme), keluarga yang tidak rukun, situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif, karakter individu sendiri[3].
Solberg & Olweus menyampaikan bahwa aspek-aspek tentang perilaku bullying mencakup : aspek verbal yaitu, suatu tindakan yang mempunyai tujuan untuk membuat sakit individu melalui tertawaan, memposisikannya sebagai tertawaan, memanggil individu dengan suatu julukan buruk, yang menimbulkan perasaan kurang enak, dan menyebabkan rasa sakit hati serta amarah. Adanya perilaku bullying yang dilakukan oleh siswa kepada temannya tentu suatu hal yang memprihatinkan sebab perilaku bullying sangat berdampak buruk bagi psikis yang tekena bullying. Tindakan bullying harus dihindari dengan memperkuat kontrol diri pada siswa.
Taufik menjelaskan bahwa perilaku bullying disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya yaitu dikarenakan kontrol diri yang lemah. Berkat berpendapat bahwa kontrol diri yakni pengendalian keinginan atau dorongan sesaat yang bertentangan dengan aturan atau norma sosial, yang juga menjadi pedoman bagi kontrol diri adalah moralitas otonom. Moralitas otonom adalah tahap kedua dari perkembangan moral dalam teori Piaget, bahwa anak remaja mulai menyadadari aturan-aturan dan hukum-hukum yang berlaku, juga memutuskan tindakan berdasarkan konsekuensi yang diterimanya[16].
Pengendalian diri menjadi dasar bagi menyatunya pikiran, kebiasaan, impuls, emosi dan tingkah laku yang berasal dari diri sendiri atau yang berasal dari masyarakat. Individu yang memiliki kontrol diri yang baik akan cenderung untuk menjauhi perilaku negatif. Sebaliknya, individu dengan kontrol diri yang rendah akan lebih sering memunculkan perilaku negatif juga menujukkan perilaku yang melanggar aturan. (Widodo, 2013). Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan Wiyani yang menyebutkan bahwa kapasitas melakukan kontrol diri bisa mengurangi tindakan bullying.
Kontrol diri merupakan kekuatan sesorang dalam melakukan pegendalian dorongan internal ataupun eksternal seseorang[17]. Kemudian Baumeister menyatakan bahwa kontrol diri berdasarkan pada kemampuan untuk merubah tanggapan individu, khusunya untuk membawanya cocok dengan parameter misalnya tujuan hidup, nilai moralitas, dan nilai sosial dan dalam rangka menbantu atas tercapainya sasaran di masa depan. Bisa dimengerti bahwa kontrol diri berhubungan dengan kapasitas seseorang dalam menunjukkan konsekuensi positif terhadap yang dijalankannya.
Banyaknya kasus perilaku bullying yang terjadi pada remaja, khususnya saat siswa kelas 7 SMP karena pada usia tersebut anak mengalami peralihan masa anak-anak ke masa remaja dan dampak yang ditimbulkan bagi pelaku maupun korban juga begitu besar. Penelitian mengenai perilaku bullying perlu dilakukan agar perilaku bullying di sekolah dapat dideteksi akar masalahnya, dievaluasi penyebabnya, dan diminimalisir dengan cara melakukan konseling dan bimbingan.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah “apakah ada hubungan kontrol diri dengan perilaku bullying pada siswa kelas VII SMPN X. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kontrol diri dengan perilaku bullying pada siswa kelas VII SMPN X. Adapun hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku bullying pada siswa kelas VII SMP X di Sidoarjo. Hal tersebut berarti kontrol diri yang meningkat pada siswa akan diikuti oleh penurunan perilaku bullyingnya. Demikian juga, kontrol diri yang mengalami penurunan akan berdampak pada peningkatan perilaku bullyingnya.
Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan yaitu metode kuantitatif korelasional. Sebagaimana dijelaskan oleh Sugiyono. metode riset kuantitatif bisa didefinisikan sebagai metode riset yang mengacu pada filsafat positifism, dipakai untuk meriset pada populasi atau sampel tertentu, sampel diambil dengan dilaksanakan dengan acak, data dikumpulkan memakai instrumen riset, analisa data memiki sifat kuantitatif ataupun statistik dengan sasaran untuk melakukan pengujian hipotesis yang sudah ditentukan Sedangkan Sugiyono menjelaskan bahwa metode korelasional yaitu metode perkaitan atau metode riset yang berupaya mengkait-kaitkan antara suatu komponen dengan komponen lainnya untuk membuat bentuk baru yang tidak sama dengan terdahulunya[18]. Metode korelasional dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kontrol diri dengan perilaku bullying. Populasi penelitian ini yaitu siswa yang tengah menempuh pendidikan menengah pertama kelas VII SMP “X” berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Populasi dalam penelitian itni yaitu siswa kelas VII SMP “X” sebanyak 360 siswa. Riset ini terdiri atas dua variabel yakni dependen dan independen. Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu perilaku bullyingdan variabel independen dalam penelitian ini yaitu kontrol diri. Penetapan jumlah sampel memakai tabel Krejcie yang mengacu pada kesalahan 5 persen, yang berarti sampel yang didapat mempunyai taraf keyakinan 95 persen. Tabel Krejcie total populasi adalah 360 dengan menggunakan error 5% dan tingkat kepercayaan 95% sampel yang diperoleh yaitu 186 responden. Dengan demikian, pada riset ini digunakan sampel sejumlah 186 siswa.
Teknik sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling, yaitu teknik pengambilan secara acak atau random (Arikunto, 2014).Dengan jumlah sebanyak 177 siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Sukodono. Metode pengumpulan data yang akan dipakai dalam riset ini yaitu Data dikumpulkan menggunakan teknik skala, yaitu skala perilaku bullying dan skala kontrol diri yang memakai skala likert yang merupakan skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial dengan rentang 1 (sangat tidak setuju – 5 (sangat setuju) (Sugiyono, 2014:13).
Skala perilaku bullying dalam penelitian ini mengadaptasi skala penelitian Wicaksana (2017). Skala perilaku bullying berjumlah 18 aitem yang seluruhnya merupakan aitem favorable, yang meliputi aspek verbal, indirect dan physical. Reliabilitas skala perilaku bullying 0,747. Skala kontrol diri yang dalam penelitian ini mengadaptasi penelitian Laiyina. Skala kontrol diri berjumlah 31 aitem terdiri atas 16 aitem favorable dan 15 aitem unfavorable , yang meliputi aspek kontrol diri, kontrol kognitif, dan kontrol keputusan. Reliabilitas skala kontrol diri 0,881
Teknik analisis data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan uji normalitas, uji linieritas dan uji hipotesis. Pengujian normalitas data disebut normal, bila nilai sig. lebih besar dibanding 0,05. Bila nilai sig. lebih kecil dibanding 0,05, maka data disebut tidak normal. Pengujian linearitas memakai program SPSS dengan Test for Linearity ada tingkat sig. 5%. Dua variabel dinyatakan memiliki korelasi yang linear jika sig. (Linearity) < 0,05. Uji hipotesis pada penelitian ini menggunakan korelasi Pearson Product Moment. Pengambilan keputusan dalam uji korelasi Pearson Product Moment yaitu : Bila nilai sig. < 0,05 : berarti ada korelasi antara kontrol diri dengan perilaku bullying dan Bila nilai sig. > 0,05 : berarti tidak ada korelasi antara kontrol diridengan perilaku bullying
Kriteria tingkat hubungan (koefisien korelasi) antar variabel berkisar antara 0,00 sampai 1 tanda + adalah positif dan tanda – adalah negatif. Arah hubungannya ada dua yaitu hubungan searah dan hubungan berbanding terbalik. Dikatakan searah jika nilai koefisien korelasinya positif. Artinya jika variabel bebas (X) meningkat maka akan diikuti oleh peningkatan variabel terikat (Y). Sebaliknya, jika variabel bebas (X) menurun maka juka akan diikuti oleh penurunan variabel terikat (Y). Dikatakan berbanding terbalik jika nilai koefisen korelasinya negatif. Artinya jika variabel bebas (X) menurun maka justru variabel terikat (Y) meningkat. Sebaliknya, jika variabel bebas (X) meningkat makan justru variabel terikat (Y) menurun.
Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil uji normalitas pada output SPSS uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan:
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test | |||
Kontrol Diri | Bullying | ||
N | 186 | 186 | |
Normal Parameters a,b | Mean | 70,30 | 25,66 |
Std. Deviation | 8,224 | 6,659 | |
Most Extreme Differences | Absolute | ,064 | ,096 |
Positive | ,051 | ,096 | |
Negative | -,064 | -,072 | |
Kolmogorov-Smirnov Z | ,874 | 1,304 | |
Asymp. Sig. (2-tailed) | ,429 | ,067 | |
a. Test distribution is Normal. | |||
b. Calculated from data. |
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai sig. Kontrol diri 0,429 dan 0,067 yang lebih besar dari 0,05 sehingga dinyatakan data terdistribusi normal
Berdasarkan hasil uji linieritas pada output SPSS menunjukkan bahwa:
ANOVA Table | |||||||
Sum of Squares | df | Mean Square | F | Sig. | |||
Kontrol Diri * Bullying | Between Groups | (Combined) | 9446,838 | 24 | 393,618 | 20,667 | ,000 |
Linearity | 8396,601 | 1 | 8396,601 | 440,874 | ,000 | ||
Deviation from Linearity | 1050,237 | 23 | 45,662 | 20,398 | ,071 | ||
Within Groups | 3066,301 | 161 | 19,045 | ||||
Total | 12513,140 | 185 |
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai sig. Linierity 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 sehingga dinyatakan data dalam penelitian ini antara kontrol diri dan perilaku bullying linier.
Sesudah memperoleh data hasil uji asumsi yang dinyatakan lolos makan, berikutnya peneliti melakukan pengujian hipotesis hubungan antara kontrol diri dan perilaku bullying siswa. Tabel 4.13 merupakan koefisien pearson corelation :
Correlations | ||||
Kontrol Diri | Bullying | |||
Kontrol Diri | Pearson Correlation | 1 | -,819** | |
Sig. (2-tailed) | ,000 | |||
N | 186 | 186 | ||
Bullying | Pearson Correlation | -,819** | 1 | |
Sig. (2-tailed) | ,000 | |||
N | 186 | 186 | ||
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). |
Sesuai dengan hasil koefisien pearson corelation menunjukkan nilai signifikansi (2-tailed) yaitu 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 sehingga bisa dinyatakan terdapat korelasi antara kontrol diri dengan perilaku bullying. Correlation coeficient (koefisien korelasi) menunjukkan nilai -0,819 yang berarti arah korelasi antara dua variabel yang negatif korelasi antara konsep diri dan perilaku bullying dengan kategori yang sangat kuat.
Model Summary | ||||
Model | R | R Square | Adjusted R Square | Std. Error of the Estimate |
1 | ,819a | ,671 | ,669 | 3,830 |
a. Predictors: (Constant), Kontrol Diri |
Nilai koeefisien determinasi atau r square (R2) yaitu sebesar 0,671 atau 67,1%, yang artinya kontrol diri memiliki pengaruh sebesar 67,1% terhadap perilaku bullying. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 21,9% dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini.
Pembahasan
Sesuai dengan pengujian statistik dengan memakai Pearson Crrelation dengan taraf keyakinan 95 persen didapat nilai signifikansi (2-tailed) 0,000 yang lebih kecil dibanding α=0,05. Oleh karena itu, bisa disebutkan, terdapat korelasi antara kontrol diri dengan perilaku bullying pada siswa SMP X di Sidoarjo. Naik turunnya kontrol diri diikuti oleh naik turunnya perilaku bullying. Jika siswa memiliki kontrol diri yang tinggi maka perilaku bullying akan turun. Begitu juga sebaliknya, jika siswa mempunyai kontrol diri yang rendah maka perilaku bullying juga akan naik.
Kontrol diri adalah suatu kecakapan individu yang ada dilingkungan sekitar. Kontrol diri yang tinggi atau rendah akan menentukan perilaku bullying. Kecenderungan sesorang untuk melakukan perilaku bullying ditentukan oleh kemampuan individu dalam mengontrol dirinya.
Penelitian Salmi, Hariko, dan Afdal menyatakan ada korelasi negatif yang nyata antara kontrol diri dan perilaku bullying[17]. Kontrol diri yang tinggi akan diikut oleh rendahnya perilaku bullying. Sesuai dengan hasil empiris, pengujian statistik dan hasil teoritis serta riset sebelumnya, bisa diketahui bahwa terdapatnya korelasi antara kontrol diri dan perilaku bullying disebabkan oleh kontrol siswa atas dirinya. Siswa yang mampu mengontrol perilaku diri, kognitif dan keputusannya akan memiliki kecenderungan untuk tidak melakukan perilaku bullying. Sementara itu, siswa yang tidak mampu mengontrol dirinya akan cenderung melakukan perilaku bullying.
Denson menyatakan saat dorongan untuk melakukan penyimpangan atau tindakan yang agresif sedang berada dipuncaknya, kontrol diri bisa mendorong individu untuk melakukan penurunan sikap agresifnya. Dimensi-dimensi yang terdapat pada kontrol diri memperlihatkan bahwa masing-masing orang yang mempunyai kontrol diri akan mempunyai kecenderungan memperlihatkan kedisiplinan, senantiasa berupaya mawas diri, wasapada mempunyai suatu kebiasaan yang bijaksana, mempunyai aturan kerja yang baik, dan menunjukkan konsistensi. Dalam rangka melakukan pencegahan maupun meminimalisasi munculnya perilaku bullying di sekolah diantaranya dibutuhkan kapasitas dalam pengontrolan diri ketika bersosialisasi dan berhubungan dengan lingkungan sekolah.
Siswa yang memiliki kontrol perilaku yang baik akan siap menerima suatu tanggapan yang tidak menyenangkan secara langsung. Misalnya ketika seorang siswa terciprat air minum secara tidak sengaja oleh temannya, siswa tersebut tidak merasa tersinggung dan memarahi temannya, melainkan memaafkannya. Sehingga hal ini menurunkan perilaku bullying.
Sementara itu siswa yang memiliki kontrol kognitif mampu mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan. Misalnya saat siswa melihat ada temannya yang memiliki bentuk fisik yang kurang baik di hadapannya, siswa tersebut tidak menghina siswa tersebut, melainkan menyadari bahwa dirinya pun juga memiliki kekurangan di mata orang lain. Sehingga kontrol kognitif yang dimiliki siswa dapat mengurangi perilaku bullying.
Sedangkan siswa yang memiliki kontrol keputusan akan mampu memilih suatu tindakan berdasarkan sesuaitu yang diyakini atau disetujui. Misalnya saat ada seorang siswa yang memiliki teman yang lumayan jahil, siswa tersebut tidak membalas dengan menyebarkan hal yang memalukan bagi temannya tersebut atau melakukan kejahilan yang lebih parah dari temannya untuk membuat temannya tersebut kapok. Akan tetapi siswa tersebut tidak menghiraukan temannya karena siswa tersebut yakin bahwa jika dengan mengabaikan perilaku jahil temannya tersebut, maka temannya akan lelah dan bosan untuk menjahili siswa tersebut lagi. Sehingga kontrol keputusan yang dimiliki oleh siswa tersebut dapat menurunkan perilaku bullying. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kontrol diri siswa maka semakin rendah perilaku bullyingnya, begitu pula sebaliknya semakin rendah kontrol siswa maka semakin tinggi perilaku bullyingnya.
Hasil riset ini menyebutkan bahwa terdapat 169 orang (66,8%) mempunyai kontrol diri yang sedang. Sedangkan responden yang berkategori kontrol diri rendah terdapat 10 orang (5,4%), serta responden berkategori kontrol diri tinggi terdapat 7 orang (3,8%). Jumlah responden dengan kontrol diri kategori sedang lebih besar dibandingkan dengan jumlah responden dengan kontrol diri yang tinggi atau rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa dalam penelitian ini memiliki kecenderungan kondtrol diri yang sednag. Kontrol diri ditunjukkan dengan tiga aspek yaitu perilaku kontrol diri, kognitif dan keputusan.
Aspek yang dengan rata-rata lebih tinggi adalah aspek kontrol kognitif dibanding aspek perilaku kontrol diri dan aspek keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa siswa cenderung untuk memahami berbagai stimulus, menilai suatu keadaan lingkungan, dan melakukan antisipasi terhadap stimulus yang tidak diharapkan dibanding aspek kontrol diri yang lain. Siswa secara kognitif lebih mampu mengontrol diri dibanding dengan suatu pengambilan keputusan atau mengendalikan diri sendiri.
Di era informasi dan teknologi, siswa harus mampu mengendalikan diri sebagai pemilik keputusan terhadap semua perilakunya. Ketika melakukan penetapan kontrol diri itu, siswa mendapat pengaruh dari interaksi dengan lingkungan sosialnya, yang nyata ataupun yang maya (medsos). Siswa yang memiliki kontrol diri yang baik cenderung tidak melakukan perilaku bullying.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat 126 orang (67,7%) memiliki perilaku bullying rendah dari keseluruhan jumlah sampel. Sementara responden dengan kategori perilaku bullying sedang ada orang (30,3%), dan tinggi hanya 3 orang (1,6%). Jumlah perilaku bullying dengan kategori rendah lebih besar dibandingkan dengan jumlah perilaku bullying dengan sedang, dan tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa dalam penelitian ini memiliki kecenderungan rendah berperilaku bullying. Perilaku bullying ditunjukkan dengan tiga aspek yaitu verbal fisik, dan tidak langsung.
Aspek yang dengan rata-rata lebih tinggi adalah aspek verbal dibanding aspek fisik dan aspek tidak langsung. Hal ini menunjukkan bahwa siswa cenderung untuk melakukan memberi julukan, ejekan, dan ucapan yang kasar dibanding perilaku bullying yang lain. Siswa mengganggap bahwa perialku tersebut biasa dilakukan padahal ketiga perilaku terebut sangat menyakitkan dan berdampak psikologis pada korbannya.
Bullying merupakan bentuk perilaku agresif yang dilakukan secara terencana, berulang-ulang, dalam periode waktu tertentu, baik secara individu maupun secara kelompok dengan tujuan untuk menciptakan tekanan psikologis bagi orang lain, untuk mendapatkan pengakuan dan kepuasan bagi pelakunya. Riset di Swedia tentang pengaruh perilaku bullyingterhadap korban memaparkan bahwa remaja yang ketika berumur 16 tahun pernah mendapatkan perilaku bullying, penghargaan dirinya (self esteem)akan menurun dan tingkat depresinya meningkat. Korban perilaku bullying akan mengalami kecenderungan gejala kecemasannya meningkat, dan mengalami depresi, rendahnya self esteem,serta dan skill sosial yang jelek.
Riset ini memiliki keterbatasan mengingat keterbatasan tenaga dan waktu yang menyebabkan penelitian ini tidak dapat dilakukan dengan maksimal. Keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah sedikitnya jumlah sampel yang dapat mempengaruhi hasil uji statistik. Selain itu adanya keterbatasan variabel independen sebagai penentu variabel dependen. Dalam penelitian ini hanya ada satu variabel independen, yakni kontrol diri.
Simpulan
Sesuai dengan paparan hasil riset, bisa ditarik simpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kontrol diri dengan perilaku bullying pada siswa SMP X di Sidoarjo. Kontrol diri siswa yang meningkat akan berdampak pada penurunan perilaku bullying, begitu pula dengan adanya penurunan kontrol diri siswa akan mengakibatkan terjadinya peningkatan perilaku bullying. Kontrol diri siswa SMP X di Sidoarjo tergolong sedang, sementara perilaku bullying di SMP X di Sidoarjo tergolong rendah.
Mengingat jumlah sampel penelitian ini terbatas, maka peneliti berikutnya disarankan agar melakukan penelitian dengan menambah total sampel agar dapat menghasilkan hasil yang maksimal. Selain itu variabel independen penelitian ini hanya satu, yakni kontrol diri, sedangkan masih banyak faktor lain yang diduga dapat berpengaruh terhadap perilaku bullying seperti latar belakang keluarga, lingkungan pergaulan, kepribadian, dan lain-lain.
References
- A. H. A. A. Lubis, “Pengelolaan Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan di MTS AL-Washliyah Tembung Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang,” Dr. Diss., 2019.
- A. B. E. Prasetyo, “Bullying di Sekolah dan Dampaknya Bagi Masa Depan Anak,” El Tarbawi, vol. 4, pp. 19–26, 2011.
- E. Z. Zakiyah, S. Humaedi, and M. B. Santoso, “Faktor Yang Mempengaruhi Remaja Dalam Melakukan Bullying,” Pros. Penelit. dan Pengabdi. Kpd. Masy., vol. 2, 2017.
- Masdin, “Fenomena Bullying dalam Pendidikan,” Jurnall Al-Ta’dib, vol. 6, pp. 73–83, 2013.
- E. Anesty, “Konseling Kelompok Behavioral Untuk Mereduksi Perilaku Bullying Siswa Sekolah Menengah Atas (Penelitian Eksperimen Kuasi terhadap Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas Negeri 10 Bandung),” Skripsi di Jur. Psikol. Pendidik. dan Bimbing. UPI Bandung, 2009.
- G. Marela, A. Wahab, and C. R. Marchira, “Bullying Verbal Menyebabkan Depresi Pada Remaja SMA di Kota Yogyakarta. Berita Kedokteran Masyarakat,” J. ugm.ac.id, vol. 2, p. 4, 2017.
- R. M. Kowalski, C. Morgan, and S. Limber, “Traditional bullying as a potential warning sign of cyberbullying. School Psychology International,” vol. 33, pp. 505–519, 2012.
- G. K. Skrzypiec, P. T. Slee, H. Askell-Williams, and M. J. Lawson, “Associations between types of involvement in bullying, friendships and mental health status,” Emot. Behav. Difficulties, vol. 3, pp. 259–272, 2012.
- P. T. Slee and G. Skrzypiec, “Well-being, positive peer relations and bullying in school settings.,” Dordrecht, The Netherlands: Springer, 2016.
- L. H. Rosen, K. DeOrnellas, and S. R. Scott, “Bullying in School: Perspectives from School Staff, Students, and Parents,” . Texas Springer, 2017.
- R. Takizawa, B. Maughan, and L. Arseneault, “Adult health outcomes of childhood bullying victimization: evidence from a five-decade longitudinal British birth cohort,” Am. J. Psychiatry, vol. 171, pp. 777–784, 2014.
- S. Mardiyah and B. A. Syukur, “Pengaruh Edukasi Dengan Metode Role Play Terhadap Peningkatan Pengetahuan Tentang Pencegahan Bullying Pada Anak Sekolah Dasar,” J. Kesehat. Kusuma Husada, pp. 99–104, 2020.
- A. Halimah, A. Khumas, and K. Zainuddin, “Persepsi pada By stander terhadap Intensitas Bullying pada Siswa SMP,” J. Psikol., vol. 42, pp. 129–140, 2015.
- P. . Potter and A. G. Perry, Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC, 2005.
- A. Wakhid, N. S. Andriani, and L. Arseneault, “Adult health outcomes of childhood bullying victimization: evidence from a five-decade longitudinal British birth cohort.,” Am. J. Psychiatry, vol. 5, pp. 25–28, 2017.
- S. M. Muniroh, “Perkembangan Moral Santri Anak Usia Dini,” J. Penelit., vol. 2, pp. 180–199, 2015.
- S. Salmi, R. Hariko, and A. Afdal, “Hubungan kontrol diri dengan perilaku bullying siswa,” Couns. J. Bimbing. Dan Konseling, vol. 8, pp. 88–99, 2019.
- Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan RnD. Yogyakarta: CV. Alfabeta, 2014.