Abstract

Emotional abuse is prone to occur in romantic relationships that have existed for more than 6 months. Unlike physical abuse, emotional abuse is carried out by women more than men. Emotional regulation is identified as one of the internal factors that can influence someone to do emotional abuse or not in a relationship. Therefore, this study aims to see the relationship between emotional regulation and emotional abuse in dating female students in Bandung using quantitative methods. The population selected in this study has certain criteria including female students aged 18-24 years, currently or have been in a relationship, and dating for a minimum of 6 months. The sample used is 213 samples. The measuring instrument for emotion regulation uses the DERS scale with a reliability of 0.910. While the emotional abuse measurement tool uses an emotional abuse scale with a reliability of 0.865. The sampling technique used purposive sampling. The results of hypothesis testing show (r = -.267**; p= 0.000) it can be concluded that the hypothesis is accepted so that there is a negative relationship between emotional regulation and emotional abuse so that the higher the emotional regulation, the lower the emotional abuse and vice versa. The contribution of emotion regulation to emotional abuse is 4.7%.

Pendahuluan

Hubungan relasi romantis atau sering disebut juga dengan istilah pacaran merupakan istilah yang umum dikalangan mahasiswa. Tidak sedikit mahasiswa yang menjalin hubungan berpacaran dengan alasan untuk berbagi perasaan sayang, belajar untuk bersosialisasi dengan lawan jenis, atau untuk mendapatkan perhatian lebih. Dalam berpacaran tidak sedikit mengalami konflik karena mempunyai pendapat yang berbeda sehingga, dalam berpacaran terkadang untuk mempertahankan suatu hubungan perempuan terkadang mengalami atau melakukan tindak kekerasan dalam pacaran baik disadari maupun tidak disadari .

Kekerasan dalam pacaran mempunyai 2.171 kasus atau sekitar 21% dan bentuk kekerasannya adalah fisik sebanyak 41%, seksual sebanyak 31%, psikis 15%, dan ekonomi 13%. Korban yang terdaftar mempunyai rentang usia 18-24 tahun dan mayoritas adalah perempuan sebagai korban sedangkan laki – laki sebagai pelaku .

Secara umum dalam hubungan berpacaran terdapat tiga macam jenis kekerasan dilihat dari jenis kekerasan yang terjadi. Kelompok pertama, kekerasan seksual (sexual abuse) memaksakan pasangan untuk melakukan hubungan secara seksual. Kelompok kedua, kekerasan fisik (physical abuse) melakukan tindakan kekerasan dengan meninggalkan bekas luka terhadap pasangan. Kelompok ketiga, kekerasan emosi (emotional abuse) dengan melakukan ancaman, melontarkan perkataan yang menyakiti atau merendahkan, membuat ekspresi mengintimidasi atau melecehkan yang akan menyakiti pasangan secara psikis .

Mahasiswa dan mahasiswi yang berusia 18-24 tahun dikategorikan pada remaja akhir dan dewasa awal. Mahasiwa dan mahasiswi yang berada di tahap peralihan remaja akhir ke dewasa awal tersebut memiliki tugas perkembangan mengelola tuntutan akan kentimin dengan lawan jenis .

Pada masa peralihan ini pula konflik yang terjadi saat berhubungan adalah adanya masalah komunikasi yang tidak cukup baik antar pasangan sehingga adanya komunikasi yang buruk terkadang dapat menyebabkan kekerasan dalam bentuk emotional abuse tanpa disadari .

Dalam melakukan tindak kekerasan perempuan cenderung melakukan kekerasan dalam bentuk emotional abuse dibandingkan kekerasan lainnya. Menurut Jourad alasan dari perempuan cenderung melakukan emotional abuse dibanding kekerasan lainnya adalah karena perempuan cenderung mengekspresikan emosinya secara verbal sehingga perempuan terkadang sulit untuk mengontrol emosinya dan tidak menyadari apa yang dilontarkannya merupakan sebuah bentuk emotional abuse.

Di Indonesia kekerasan terhadap laki – laki dalam bentuk apapun yang pelakunya adalah perempuan jarang terlaporkan. Adanya steorotip yang menggambarkan laki – laki sosok yang kuat dan perempuan sebagai pribadi yang pasif, lemah dan tidak berdaya membuat laki – laki enggan untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya karena menganggap hal tersebut memalukan dan saat perempuan melakukan tindak kekerasan akan mendapatkan dukungan dari masyarakat dan merupakan suatu hal yang wajar sehingga menempatkan laki – laki dalam posisi pelaku bukan korban.

Perilaku kekerasan dalam pacaran yang dilakukan oleh perempuan dipandang sebagai bentuk dari self defense. Perasaan marah kerap menjadi alasan utama bagi perempuan untuk melakukan kekerasan dalam pacaran . Faktor kecemburuan pula terkadang menjadi alasan perempuan dalam melakukan tindak kekerasan terhadap pasangannya).

Dalam penelitian Leni Winnaiseh (2017) bahwa adanya peranan regulasi emosi dalam emotional abuse yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki – laki. Alasan dari laki – laki lebih sering mendapatkan kekerasan dengan bentuk emotional abuse dibandingkan perempuan dikarenakan adanya faktor emosi yang tidak stabil pada perempuan. Luthra & Gidycz mengatakan perempuan melakukan kekerasan dalam pacaran lebih banyak dibandingkan dengan laki – laki dengan jumlah 83% dan laki – laki hanya sebesar 30%.

Berikut hasil wawancara dari beberapa mahasiswi yang melakukan emotional abuse.

Mahasiswa 1 : AA usia 22 tahun

“kalau pacaran kayanya wajar ya kalau cemburu atau marah gitu. Pernah juga pas lagi ribut paling ngediemin aja seharian pernah ngeblok wa nya juga biar dianya juga tau salahnya apa kan pacaran juga udah lama masa ga ngerti ngerti. Paling parah sih pernah ngebentak dia sambil ngomong kasar sampe hp nya di lemparin soalnya dianya juga keseringan mabar sama temen – temannya”.

Mahasiswa 2 : RA usia 21 tahun

“ aku orangnya cemburuan banget, kadang suka marah kalau liat di hpnya dia ternyata dia suka chatingan sama cewe lain atau sekedar chatingan nanyain tugas juga kadang marah sih akhirnya kadang dia nawarin buat no cewe cewe lain itu di blok yaudah aku yang blokin haha. Kalau main fisik sih ga pernah jadi paling kalau yang paling parah aku seringnya ngebentak dia aja kalau udah kesel soalnya kadang dia orangnya ga nurut kalau dibilangin selain itu gapernah apalagi main fisik”.

Dari hasil wawancara dapat dikatakan kedua mahasiswi tersebut melakukan tindak emotional abuse pada pasangannya. Hal ini dibuktinya dengan pertanyaan subjek yang membentak pasangannya menggunakan kata – kata kasar, cemburu berlebihan, dan melempar barang pasangan yang termasuk kedalam aspek dominasi. Aspek dominasi, adalah perilaku yang membatasi waktu pasangan, cemburu berlebihan, dan sikap merasa bahwa dirinya selalu benar.

Faktor seseorang melakukan emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah pelaku meniru sikap orangtua dalam memperlakukan oranglain, pelaku mengalami kekerasan saat kecil, pelaku beranggapan oranglain tidak akan mengetahui apa yang dirinya perbuat, dan berusaha untuk menjaga citra diri. Sedangkan, Engel berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan emotional abuse adalah pola asuh orangtua karena kekerasan pada anak saat kecil akan merusak perkembagan emosi anak.

Kendali diri terhadap emosi yang dimiliki disebut juga regulasi emosi. Regulasi emosi adalah bentuk kontrol seseorang yang dilakukan terhadap emosi yang dimilikinya. Emosi yang kurang tepat dapat menimbulkan permasalahan yang dapat merugikan diri sendiri maupun oranglain. Hasil regulasi emosi dapat berupa perilaku yang ditingkatkan, dikurangi, atau dihambat dalam ekspresinya .

Seseorang yang mampu meregulasi emosinya dengan baik akan berdampak positif bagi dirinya maupun bagi orang terdekatnya. Regulasi emosi juga mampu membuat seseorang dapat berpikir dengan jernih, bersikap lebih tenang, serta bijaksana dalam bertindak .

Dari apa yang telah dipaparkan diatas penelitian mengenai hubungan regulasi emosi dengan emotional abuse perlu dilakukan karena belum banyak yang melakukan penelitian pada mahasiswa sebagai subjek khusunya di kota Bandung. Alasan lainnya adalah karena perilaku emotional abuse pada pasangan apabila dibiarkan korban akan mengalami suatu bentuk trauma psikologis seperti perasaan sakit hati, tertekan, dan perasaan minder . Dampak psikologis juga dapat terjadi pada pelaku emotional abuse diantaranya adalah timbulnya perasaan bersalah, menyalahkan dirinya sendiri, bingung, cemas, tidak mempercayai dirinya sendiri ataupun pasangannya .

Maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara regulasi emosi dengan emotional abuse dalam berpacaran pada mahasiswi di bandung. Penelitian ini juga memiliki manfaat untuk mahasiswa yang belum mengetahui kekerasan dalam bentuk emotional abuse dan sebagai informasi untuk peneliti selanjutnya. Hipotesis pada penelitian adalah terdapat hubungan negatif antara regulasi emosi dengan emotional abuse dalam berpacaran pada mahasiswi di Bandung.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian dengan jenis penelitian kuantitatif korelasional dengan variabel independen (X) adalah Regulasi Emosi dan variabel dependen (Y) adalah Emotional Abuse dalam Berpacaran. Populasi yang dipilih dalam penelitian ini memiliki kriteria tertentu diantaranya adalah mahasiswi berusia 18-24 tahun, sedang atau pernah berpacaran, dan lama pacaran minimal 6 bulan. Menurut Crocker dan Algina demi kestabilan penelitian jumlah sampel yang diambil minimal adalah 200 responden. Maka sampel yang dipakai sejumlah 213 sampel. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ialah non probability sampling dengan metode purposive sampling. Pada penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data skala psikologi dengan memakai dua skala. Skala untuk mengukur regulasi emosi menggunakan skala DERS (Difficulties in Emotion Regulation Scale) yang dikembangkan oleh Kim.L Gratz dan Elizabeth Roemeg dengan 36 aitem. Sedangkan, untuk mengukur emotional abuse dalam berpacaran menggunakan skala yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan aspek emotional abuse dalam berpacaran milik Engel dengan 44 aitem.

Validitas skala dalam penelitian ini menggunakan uji validitas professional judgment. Sedangkan validitas aitem menggunakan corrected item-total correlation dengan bantuan SPSS v.25 for Windows. Hasil analisis data try out tidak terpakai skala regulasi emosi yang terdiri dari 36 aitem dengan total hasil yang valid berjumlah 25 aitem dengan nilai koefisien validitas aitem 0,306 – 0,569 yang memiliki (nilai hitung) 0,30. Dan dari hasil uji reliabilitas pada skala regulasi emosi dengan jumlah 100 responden memberikan hasil try out tidak terpakai dengan nilai koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,910 sehingga skala dinyatakan reliabel. Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah statistik inferensial dengan penerapan statistik non parametik.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan try out terlebih dahulu pada 100 subjek untuk mengukur validitas dan reliabilitas. Kemudian peneliti menyebarkan ulang skala yang telah di pastikan validitas dan reliabilitasnya. Hasil responden yang didapat dengan memenuhi kriteria yang di tetapkan sebanyak 213 subjek. Berikut hasil penelitian :

1. Uji Normalitas

Figure 1.Hasil uji Kolmogorov – smirnov

Nilai signifikasi dari hasil uji Kolmogorov – smirnov sebesar 0.000 yang berarti > 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak berdistribusi normal.

2. Uji Linearitas

Figure 2.Hasil uji Linearitas

Hasil uji linearitas dapat disimpulkan nilai linearity dengan sig sebesar 0.00 yang dapat dikatakan >0.05 atau kurang dari 0.05 dapat diartikan nilai korelasinya linier.

3. Uji Hipotesis

Figure 3.Hasil Uji Hipotesis

Dari tabel di atas nilai koefisien korelasi emotional abuse bernilai -.267** dengan nilai signifikasi 0.000 < 0.05. Jadi dapat diambil kesimpulan terdapat hubungan negative antara regulasi emosi dengan emotional abuse dalam berpacaran. Semakin tinggi regulasi emosi maka emotional abuse semakin rendah, begitu pula sebaliknya semakin rendah regulasi emosi maka emotional abuse semakin tinggi.

Figure 4.

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa sumbangan variabel X atau regulasi emosi terhadap variabel Y atau emotional abuse dalam berpacaran adalah 4.7%.

5. Kategorisasi

Figure 5.Kategorisasi 1

Figure 6.Kategorisasi 2

Berdasarkan tabel kategorisasi skor subjek pada skala regulasi emosi menunjukkan terdapat 25 mahasiswi yang memiliki regulasi emosi yang rendah, 98 regulasi emosi sedang, dan 90 mahasiswi yang memiliki regulasi emosi tinggi.

Sedangkan, pada skor subjek pada skala emotional abuse menunjukkan terdapat 49 mahasiswi dengan emotional abuse rendah, 47 emotional rendah, dan 117 mahasiswi dengan emotional abuse tinggi.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah disampaikan diatas maka hasil uji hipotesis menunjukkan koefisien korelasi -.267** dengan taraf signifikasi 0,000 (lebih kecil dari 0,05). Maka hasil dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif antara regulasi emosi dengan emotional abuse pada mahasiwi yang berpacaran di Bandung. Hubungan negatif dari penelitian ini menggambarkan bahwa semakin rendah regulasi emosi yang dimiliki seseorang maka semakin tinggi resiko melakukan emotional abuse terhadap pasangan. Namun, sebaliknya semakin tinggi regulasi emosi yang dimiliki maka semakin rendah dalam melakukan emotional abuse terhadap pasangan.

Pada penelitian ini responden adalah seorang perempuan yang berstatus sebagai mahasiswi yang berpacaran dan diperoleh sebanyak 213 mahasiswi dengan pelaku emotional abuse tinggi sebanyak 117 mahasiswi. Hasil ini sejalan dengan apa yang dipaparkan Luthra & Gidycz (2006) dalam penelitiannya disebutkan terdapat 83% kekerasan dilakukan oleh perempuan dan hanya 30% dilakukan oleh laki – laki.

Kekerasan dalam berpacaran dengan jenis emotional abuse yang dilakukan oleh wanita jauh lebih mungkin terjadi dikarenakan pasangan yang memulai nya terlebih dahulu. Artinya, perempuan yang melakukan kekerasan lebih mungkin untuk membalas perlakuan yang diterimanya persis seperti apa yang diterima dari pasangan sebelumnya .

Menurut Murray kekerasan berpacaran dalam bentuk apapun akan terjadi pada minimal usia enam bulan berpacaran dan akan semakin meningkat jenis kekerasan lainnya. Emotional abuse adalah tahap awal dari terjadinya kekerasan lainnya yang menimbulkan luka fisik. Kebanyakan emotional abuse terjadi karena adanya keinginan pasangan yang selalu ingin tahu dan mengontrol ruang gerak atau bergaul pasangan dengan rasa memiliki dan hal tersebut terkadang tidak disadari sehingga membuat pasangan yang lebih inferior merasa tindakan yang dilakukan adalah hal yang tepat.

Sumbangan dalam hasil penelitian diketahui terdapat kontribusi sebesar 4.7% dan selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang pertama adalah pola komunikasi keluarga seperti penelitian terdahulu yang dilakukan Nurul Syafira (2019) disampaikan bahwa seseorang yang dibesarkan dengan pola asuh orang tua yang permisif dan otoriter akan membuat anak mempunyai sifat yang selalu curiga, agresif, tidak terkendali, memiliki sifat pemarah yang tidak terkontrol sehingga dapat menimbulkan tindak emotional abuse terhadap pasangannya.

Adapun faktor lingkungan yang dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan Isto Hakomah (2020) dengan judul “Hubungan Pola Asuh Orang Tua dan Lingkungan dengan Perilaku Verbal Abuse Pada Anak Prasekolah”. Menunjukkan bahwa faktor lingkungan yang tidak kondusif dapat menyebabkan perilaku kekerasan verbal orangtua kepada anak.

Faktor yang dapat dikatakan mempunyai pengaruh besar dalam perilaku emotional abuse pada pasangan adalah kecemburuan. Seperti dalam penelitian Fajri dan Nisa (2019) dengan judul “Kecemburuan dan Perilaku Dating Violence Pada Remaja Akhir” disampaikan bahwa penyebab dari terjadinya dating violence adalah kecemburuan terhadap pasangan sehingga memunculkan sebuah perilaku kekerasan emosional seperti mengekang, mengatur, mengucapkan kata – kata yang dapat menyakiti pasangan. Pada penelitian ini juga diperoleh bahwa adanya pengalaman dalam berpacaran juga memegang peranan dalam terjadinya kekerasan pada pasangan.

Kematangan regulasi emosi seseorang dapat dipengaruhi oleh usia. Pada usia 18-24 tahun berada pada kategori remaja akhir dan dewasa awal yang mempunyai beragam tuntutan dan hal – hal baru yang ingin dicoba. Menjalin hubungan dengan lawan jenis adalah salah satu yang dialami pada masa peralihan pada masa ini pula sering mengalami konflik dalam hubungan sehingga terkadang dapat menimbulkan stress dalam menjalin hubungan. Semakin bertambahnya usia maka kadar hormonal seseorang akan menurun sehingga mengakibatkan penurunan pengaruh emosional dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam mengatur, memahami emosi, menjadi lebih terkendali .

Hasil dari penelitian yang telah di paparkan diisi menggunakan angket dengan bantuan google form dan disebarkan melalui media sosial online seperti instagram dan whattsap. Pengisian angket yang secara online memudahkan peneliti dalam penyebaran dan hasilnya secara praktis dapat langsung di akses. Namun, kekurangan dari pengisian secara online peneliti tidak bisa secara langsung melihat dari subjek yang mengisi sehingga terkadang dalam pengisian nya nilai yang didapat setelah di olah adalah sama.

Keterbatasan pada penelitian yang disadari peneliti adalah hasil penelitian yang tidak dapat digeneralisasi. Artinya, penelitian tidak dapat digeneralisasikan ke dalam kondisi sosial pada waktu dan tempat yang berbeda dikarenakan adanya karakteristik pada subjek penelitian.

Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat di simpulkan bawa terdapat hubungan negatif signifikan antara regulasi emosi dengan emotional abuse artinya semakin tinggi regulasi emosi maka semakin rendah dalam melakukan emotional abuse. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi emotional abuse -.267** dengan nilai signifikasi 0.000 < 0.05. Sumbangan efektif sebesar 4.7% regulasi emosi terhadap emotional abuse sedangkan sisanya dikarenakan faktor lain. Berdasarkan data analisi statistik deskriptif diperoleh hasil bahwa regulasi emosi dan emotional abuse berada pada sedang ke tinggi. Dengan nilai emotional abuse rendah sebanyak 49 responden, sedang sebanyak 47, dan tinggi 117. Sedangkan pada regulasi emosi sebanyak 29 responden kategori rendah, 98 sedang, dan 90 kategori tinggi.

References

  1. R. Permatasari, Tingkat Kekerasan Emosi yang dialami Remaja Putri oleh Remaja Putra dalam Berpacaran, Yogyakarta: Universitas Sanatana Dharma Yogyakarta , 2019.
  2. Komnas Perempuan, "Tergerusnya Ruang Aman Perempuan dalam Pusaran Politik Populisme : Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan," Komnas Perempuan , Jakarta , 2018.
  3. L. Winnaiseh, Hubungan Regulasi Emosi dengan Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2017.
  4. J. A. Soebagijo, Studi Komparatif Mengenai Dimensi Self-Disclosure Pada Pasangan Mahasiswa dan Mahasiswi yang Berpacaran di Universitas "X" Bandung, Bandung: Universitas Kristen Maranatha, 2016.
  5. P. M. F. d. H. Nisa, Kecemburuan dan Perilaku Dating Violence Pada Remaja Akhir, vol. 14 (2), no. 117, pp. 115-125, 2019.
  6. Z. A. A. N. M. Puspita Megawati, Hubungan Regulasi Emosi dengan Perilaku Kekerasan dalam Berpacaran pada Mahasiswa, vol. 7, no. 215, pp. 214-227, 2019.
  7. N. S. Adilla, Perbedaan Kecenderungan Emotional Abuse pada Dewasa Awal yang Berpacaran ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua, Medan: Universitas Sumatera Utara Medan, 2019.
  8. I. Alwi, "Jurnal Formatif," Kriteria Empirik Dalam Menentukan Ukuran Sampel Pada Pengujian Hipotesis Statistika dan Analisis Butir, vol. 2, no. 144, pp. 140-148, 2015.
  9. I. P. Sari, Kekerasan dalam Hubungan Pacaran di Kalangan Mahasiswa: Studi Refleksi Pengalaman Perempuan , vol. 7, no. 76, pp. 64-85, 2018.
  10. C. I. I. P. d. P. N. Widiasavitri, Perbedaan Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran Berdasarkan Pola Komunikasi dalam Keluarga, vol. 2, no. 302, pp. 300-310, 2015.
  11. C. N. Devi, Kekerasan dalam Pacaran (Studi Kasus pada Mahasiswa yang Pernah Melakukan Kekerasan dalam Pacaran), Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2013.