Abstract

This research conducted by the importance of paying attention to the level of mental toughness in mountain climbers. To overcome the difficulties and obstacles of situation, mental toughness help the mountain climbers to address and solve the problem properly, which will affect the success of mountaineering. One of the factors that affect mental toughness is gender. This study aimed to determine the differences of mental toughness in mountain climbers’ in terms of gender. This research is a type of quantitative research with comparative approach. The variable in this study are: Mental toughness as dependent variable and gender as independent variable. The sample of this research was 108 members of Nature Lovers Student Organization Sidoarjo (Students for Nature Lovers' Sidoarjo), consisting of 54 male and 54 female. Sampling technique was done by using accidental sampling. The measuring instrument used to collect data is mental toughness scale which was compiled based on the mental toughness dimension proposed by Guciardi, et al. The data analysis method was carried out by independent sample T-test using JASP program version 0.14.0.0 for windows. The result showed that there were differences in mental toughness between male and female mountaineering students. It showed a significance result of 0.033 (p<0.05), which means that hypothesis in this study can be accepted.

Pendahuluan

Mendaki gunung bermula pada abad 19, ketika di negara Swisszerland manusia berkompetisi untuk menaklukkan gunung-gunung agar mencapai puncak. Pada tahun 1865, orang berkebangsaan inggris bernama Edward Whymper menjadi orang pertama yang berhasil mencapai puncak gunung di Swiss yakni gunung Matterhorn dengan ketinggian 4474 meter di atas permukaaan laut [1]. Di negara Indonesia, pendakian gunung baru dikenal saat pendaki yang berasal dari negara Jepang berkolaborasi dengan pendaki gunung yang berasal dari negara Indonesia untuk melakukan pendakian di pegunungan Jayawijaya, Irian Jaya yang sekarang dinamakan Papua. Mendaki gunung adalah suatu kegiatan yang biasa dilakukan secara individua tau tim. Para pendaki biasanya memiliki motivasi tertentu, yang dapat berupa hobi, ketertarikan pada pesona gunung, keinginan untuk berpetualang, dan lain-lain [1].

Sadewa, [2] menyatakan bahwa mendaki gunung merupakan suatu olahraga ekstrim yang penuh petualangan, kegiatan ini juga membutuhkan keterampilan, kecerdasan, kekuatan, dan daya juang yang tinggi. Bahaya dan tantangan akan datang pada situasi dan kondisi apapun merupakan daya tarik dari kegiatan ini. Pada hakekatnya bahaya dan tantangan tersebut adalah untuk menguji kemampuan diri dan untuk bisa menyatu dengan alam. Sadewa, [2] mengatakan bahwa kegiatan di alam bebas akan menumbuhkan dan mengembangkan karakter pelakunya, setidaknya meningkatkan rasa cinta tanah air dengan menjelajah ke pelosok-pelosok negeri, memahami bagian-bagian terdalam tanah air ini akan meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap tanah air. Terlepas dari ras, agama dan antar golongan, persaudaraan adalah bagian terpenting dari kegiatan di alam bebas.

Jumlah pendaki semakin tinggi dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, yang dilansir oleh Antara News, [3] Balai Taman Nasional Gunung Rinjani menyebutkan, total pendaki domestik dan mancanegara pada tahun 2011 mencapai 15.030 pendaki, berbeda dengan tahun sebelumnya hanya mencapai 13.956 pendaki. Semakin banyak penggemar pendakian gunung, semakin banyak pula korban yang ditemukan hilang bahkan meninggal di gunung. Situs Liputan6, [4] sendiri melaporkan bahwa sejak tanggal 13 Agustus 2015 hingga 25 Mei 2021 terdapat setidaknya 39 pendaki meninggal saat mendaki di kawasan pegunungan seluruh Indonesia. Niko, [5] mengatakan bahwa faktor non teknis, seperti motivasi, kepercayaan diri, emosional, dan kepribadian pendaki sangat mempengaruhi. Senada dengan itu, ketua tim Ekspedisi 7 Puncak Indonesia yakni Ardeshir Yaftebbi, menyatakan bahwa mental adalah faktor paling utama dalam mendaki gunung, karena banyak pendaki yang gagal mencapai tujuan pendakian dengan kemapuan fisik yang bagus dan tangguh. Oleh sebab itu mental adalah faktor utama yang harus perkuat ketika nelakukan pendakian gunung [6].

Merujuk pada penelitian Clough dkk., [7] bahwa jika kekuatan mental toughness lemah, maka segala situasi yang menekan dan situasi yang tidak menguntungkan akan cenderung menimbulkan reaksi negatif, konsentrasi hilang, ketidakstabilan emosi, dan perilaku yang diluar kontrol. Di sisi lain jika kekuatan mentaltoughnesstinggi, maka reaksi yang muncul akan positif. Seperti, motivasi meningkat karena jalur pendakian yang semakin indah, walau perjalanan masih cukup jauh mampu tetap menjaga focus, dan tetap tenang walaupun mendapat tekanan dari cuaca yang kurang mendukung. Menurut Gucciardi & Hanton, [8] mental toughness adalah sekumpulan perilaku, emosi, sikap dan nilai yang dapat menangani berbagai hambatan ataupun represi yang dihadapi, namun juga dapat meningkatkan daya fokus serta semangat dalam menggapai suatu tujuan secara konstan. Mentaltoughness sendiri memiliki 4 dimensi yakni: thrive thourgh challeng, sport awareness, tough attitude, dan desiresucceses. Dari uraian teori diatas dapat disimpulkan bahwa mentaltoughnessmerupakan aspek penting yang akan membantu pelaku olahraga agar mencapai tujuan yang diinginkan dalam olahraga.

Peneliti melakukan survei awal pada 20 anggota pada organisasi Siswa Pecinta Alam Sidoarjo baik laki-laki maupun perempuan mengenai mental toughness ketika dan akan mendaki gunung. Dari hasil survei tersebut menunjukkan bahwa mental toughness para anggota organisasi Siswa Pecinta Alam Sidoarjo rendah ditandai dengan, (1) 55% dari responden menunjukkan rendahnya dimensi Thrive though challenge yang brarti cara menyikapi serta menilai diri guna dapat mengatasi suatu tekanan yang berasal dari dalam diri mauapun dari luar, seperti rasa malas untuk melanjutkan pendakian ketika puncak dan jalurnya jelas terlihat sangat panjang dan masih jauh, (2) 65% dari responden menunjukkan rendahnya dimensi Though attitude yang berarti cara menyikapi serta meniali diri sendiri secara penuh agar dapat mengatasi tekanan yang bersifat positif maupun negatif, seperti turunnya keinginan untuk mendaki gunung ketika diharuskan latihan pernafasan dan fisik dengan berlari setiap 5 hari dalam 1 minggu sebagai persiapan mendaki gunung, (3) dan 70% dari responden menunjukkan rendahnya Desire Success yang berarti cara menyikapi serta menilai diri yang berhubungan dengan kesuksesan, seperti kurangnya ambisi untuk mencapai puncak pendakian pada saat ini. Dapat disimpulkan dari survei awal tersebut menunjukkan rendahnya mental toughness para pendaki gunung di organisasi Siswa Pecinta Alam Sidoarjo di tandai dengan tingginya persentase 3 dimensi mentaltoughnessyang cenderung rendah.

Peneliti melanjutkan proses wawancara pada salah satu anggota organisasi Siswa Pecinta Alam Sidoarjo (RA, 17 tahun), yang menjelaskan bahwa RA mengakui bahwa untuk memilki mental toughness yang tinggi amatlah sulit. Salah satu kesulitan yang terlihat pada bentuk perilaku mentaltoughnessyang dialami RA adalah kemampuannya dalam bangkit serta mengatasi. Jika RA sekali tertekan maka akan sulit baginya untuk bangkit kembali. Seperti terjebak badai pada pertengahan perjalanan mendaki gunung, RA akan kesulitan untuk berfikir secara jernih dan turunnya stamina sehingga menyebabkan kelelahan pada saat melanjutkan perjalanan. Mengacu pada salah satu dimensi dari mental toughness yakni thrive though challenge yang berarti cara menyikapi serta menilai diri guna dapat mengatasi suatu tekanan yang berasal dari dalam diri mauapun dari luar. Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpukan bahwa RA memiliki mental toughness rendah karena RA kesulitan untuk menghadapi tekanan eksternal dan internal.

Mental toughnesssendiri memiliki 2 faktor yang mendasar yakni faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik, memiliki korelasi positif antara skor mental toughnessyang tinggi dan lebih banyak jaringan materi kelabu di lobus frontal kanan seseorang. Jenis kelamin juga mempengaruhi mental toughness setiap individu, seperti penelitian yang dilakukan oleh Juan & Lopez, [9] dimana terdapat perbedaan mental toughness yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin sendiri mengacu pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang dibawa sejak lahir dan tak dapat diubah [10]. Perbedaan biologis jenis kelamin laki-laki serta jenis kelamin peremuan tidak dapat dipertukarkan pada keduanya, serta memiliki fungsi yang sama walaupun ras yang membedakan Menurut Lips [11] Secara umum jenis kelamin digunakan untuk mendeskripsikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspek aspek nonbiologis lainnya.

Secara biologis laki-laki memiliki zakar, scotrum, testis, sperma, prostat, dan memiliki bulu dada, jakun, suara yang berat serta memiliki kumis [11]. Pada segi biologis dimana akan berpengaruh ke segi psikologis laki-laki yang akan menghasilkan hormon testoteron dan progesterone dimana hormon tersebut dapat mempengaruhi agresifitas, sehingga laki-laki cenderung stabil ketika beraktifitas dan rasional [11]. Menurut Suhardin, [11] Secara biologis perempuan memiliki liang senggama, ovarium, ovum, uterus, kulit halus, suara bernada tinggi serta memiliki dada besar. Dalam proses biologis akan berdampak pada psikologis dimana perempuan akan menghasilkan hormon estrogen diduga mempengaruhi psikis dan perasaan perempuan yang mengakibatkan lebih sensitif, lebih perasa, penuh perhatian dan kasih sayang yang tinggi [11].

Pentingnya mengetahui perbedaan mental toughness tiap jenis kelamin pada pendaki gunung guna dapat mempersiapkan serta melatih kematangan fisik dan mental secara proporsional pada setiap jenis kelamin. Maka tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbedaan mental toughness pada pendaki gunung ditinjau dari jenis kelamin. Hipotesis pada penelitian ini adalah ada perbedaan mental toughness pada pendaki gunung ditinjau dari jenis kelamin.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian dengan jenis penelitian kuantitatif komparatif dengan variabel yang digunakan adalah MentalToughnessuntuk variabel terikat dan Jenis Kelamin untuk variabel bebas. Populasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah anggota organisasi Siswa Pecinta Alam Sidoarjo yang berjumlah 149 siswa. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus solvin dengan taraf kesalahan sebesar 5% maka didapatkan sampel sebanyak 108 siswa dengan pembagian 54 siswa laki-laki dan 54 siswa perempuan. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ialah accidental sampling. Pada penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang berupa skala psikologi yaitu skala mental toughness yang di susun oleh peneliti dengan mengadaptasi dimensi thrive though challenge, sport awareness, though attitude,dan desire successyang dikemukakan oleh Gucciardi et al, [12] dengan jumlah 40 pernyataan dalam bentuk skala likert.

Analisa aitem pada penelitian ini menggunakan review professional judgment oleh pembimbing. Sedangkan validitas aitem menggunakan corrected item-total correlation dengan bantuan SPSS v.25 for Windows. Hasil analisis data try out tidak terpakai skala mental toughness yang terdiri dari 40 aitem dengan total hasil yang valid berjumlah 28 aitem dengan nilai koefisien validitas aitem 0,268 – 0,712 yang memiliki 𝑟𝐼𝑦 (nilai hitung) ≥ 0,25. Pada hasil uji reliabilitas data tryouttidak terpakai skala mentaltoughnessdengan jumlah 40 responden memiliki nilai koefisien Cronbach Alpha sebesar 0,870 sehingga skala dinyatakan reliabel. Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah IndependentSampleT-testyang merupakan teknik analisis untuk membandingkan rata-rata dari dua grup yang tidak berhubungan satu dengan yang lain [13]. Perhitungan analisa data penelitian ini adalah menggunakan progam JASPversi 0.14.0.0 for windows.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Descriptive Statistics
N Rang e Minim um Maxim um Sum Mean Std. Deviatio n Variance
Stati stic Stati stic Statisti c Statisti c Statisti c Statisti c Std. Error Statistic Statistic
Laki-laki 54 30 79 109 5015 92,87 ,970 7,124 50,756
Perempuan 54 31 73 104 4848 89,78 1,053 7,740 59,912
Table 1.Analisa Deskriptif Mental Toughness [1]

Kategorisasi Norma Frekuensi
Laki-laki Perempuan
Sangat tinggi 91 ≤ X 32 59% 31 57%
Tinggi 77 ≤ X < 91 22 41% 20 37%
Cukup 63 ≤ X < 77 0 0% 3 6%
Rendah 49 ≤ X < 63 0 0% 0 0%
Sangat rendah X < 49 0 0% 0 0%
Table 2.Perbandingan skor NST antara laki-laki dan perempuan [2]

Independent Samples T-Test
Test Statistic df p Cohen's d
Mental Toughness Student 2.160 106.000 0.033 0.416
Welch 2.160 105.279 0.033 0.416
Table 3.Independent Samples Test Skala Mental Tougness[3]

Berdasarkan tabel di atas maka dapat diartikan bahwa nilai mean (92,87) pada jenis kelamin laki-laki memilki nilai minimum (79) dan nilai maximum (109) dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin laki-laki memilki mentaltoughnesslebih tinggi dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan dengan nilai mean (89,78) serta dengan nilai minimum (73) dan nilai maximum (104).

Dengan adanya pengkategorian normative frekuensi skor mental toughness pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan para pendaki gunung dapat diartikan bahwa mental toughness jenis kelamin laki-laki lebih tinggi karena memiliki persentase kategorisasi sangat tinggi sebesar 59%, sedangkan mental toughness jenis kelamin perempuan memilki kategorisasi sangat tinggi sebesar 57%.

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai signifikasi (p) pada skala mental toughness sebesar 0,033 < 0,05, sebagaimana asumsi di atas yang berarti Ha diterima dan Ho ditolak. Sedangkan untuk besaran efeknya memilki nilai (Cohen’s d) sebesar 0.416. Maka ada perbedaan mental toughness pada pendaki gunung ditinjau dari jenis kelamin.

Figure 1.Perbandingan Rerata Jenis Kelamin Per Dimensi MentalToughness

Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa siswa pendaki gunung laki-laki dan perempuan memilki perbedaan dari semua dimensi. Siswa pendaki gunung laki-laki memiliki nilai mean pada dimensi thrive though challengesebesar 175,3 sedangkan pada siswa pendaki gunung perempuan memilki nilai mean pada dimensi yang sama sebesar 167,6. Pada dimensi sport awareness siswa pendaki gunung laki-laki memilki nilai mean sebesar 178,4 sedangkan untuk siswa pendaki gunung perempuan memiliki nilai mean sebesar 169,9. Dimensi yang ketiga yakni dimensi thoughattitudesiswa pendaki gunung laki-laki memiliki nilai mean sebesar 181,3 dan pada siswa pendaki gunung perempuan memilki nilai mean sebesar 175,8. Pada dimensi yang terakhir kedua jenis kelamin memilki nilai mean yang hampir sama yakni dengan nilai mean pada pendaki gunung laki-laki sebesar 183,3 dan pada siswa pendaki gunung perempuan sebesar 182,7.

Pembahasan

Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa siswa pendaki gunung laki-laki dan perempuan memilki perbedaan dari semua dimensi. Pendaki gunung laki-laki memiliki nilai mean pada dimensi thrive though challenge atau menghadapi suatu tantangan yang berasal dari dalam dan luar sebesar 175,3 sedangkan pada pendaki gunung perempuan memilki nilai mean pada dimensi yang sama sebesar 167,6. Pada kenyataannya jenis kelamin perempuan memang berbeda dengan jenis kelamin laki-laki dari segi biologis maupun psikologis. Dari segi psikologis jenis kelamin perempuan dapat menghasilkan hormone estrogen diduga mempengaruhi psikis dan perasaan perempuan yang mengakibatkan lebih sensitif, lebih perasa, penuh perhatian dan kasih sayang yang tinggi [11]. Dalam menghadapi suatu tantangan yang berasal dari dalam dan luar ketika melakukan pendakian gunung, jenis kelamin perempuan akan cukup kesulitan untuk mengontrol hal tersebut karena perempuan memilki segi psikologis yang lebih sensitif dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan akan merasa seperti terintimidasi oleh suatu tantangan dari luar maupun dalam ketika segi sensitif tersebut muncul.

Pada jenis kelamin laki-laki ketika menghadapi suatu tantangan yang berasal dari dalam dan luar ketika melakukan pendakian gunung akan lebih baik, karena pada sisi psikologis laki-laki cenderung stabil dan rasional dimana akan lebih memperhatikan suatu tantangan atau rintangan secara utuh dan menghadapinya dengan tenang. Hal ini sesuai dengan teori Jones [12] yang menyatakan bahwa mental toughness dapat menjadikan seorang atlet untuk tetap merasa rileks, tenang, dan bersemangat, karena dapat mengembangkan dua keterampilan yaitu mengalirkan energi positif seperti berpersepsi menghilangkan kesulitan dan berfikir untuk bersikap atau menghiraukan masalah, tekanan, kesalahan, dan persaingan dalam suatu pertandingan.

Pada dimensi sport awareness atau cara menyikapi serta menilai diri yang berhubungan dengan performa indivdual atau tim, pendaki gunung laki-laki memilki nilai mean sebesar 178,4 sedangkan untuk pendaki gunung perempuan memiliki nilai mean sebesar 169,9. Jenis kelamin laki-laki mendukung dari dimensi sport awernesskarena dalam proses biologis akan berdampak pada psikologis laki-laki yang akan menghasilkan hormon testoteron dan progesterone dimana hormon tersebut dapat mempengaruhi agresifitas yang akan memunculkan sikap yang stabil dan rasional [11], yang akan lebih netral untuk menilai suatu sikap karena jenis kelamin laki-laki memilki psikologis yang lebih rasional. Dari jenis kelamin perempuan dalam sisi psikologis akan memunculkan sikap yang sensitif, pada sikap tersebut akan mengakibatkan subjektivitas pada suatu penilaian pada performa tiap tim maupun individu.

Dimensi yang ketiga yakni dimensi though attitude atau sikap atau penilaian diri yang mendasar untuk menghadapi tekanan bersifat positif dan negatif. Pendaki gunung laki-laki memiliki nilai mean sebesar 181,3 dan pada pendaki gunung perempuan memilki nilai mean sebesar 175,8. Hal ini sesuai pada sisi psikologis laki-laki dimana jenis kelamin tersebut memiliki sikap yang cenderung stabil ketika beraktifitas yang menjadikan penilaian diri untuk mengahadapi tekanan maupun tantangan yang bersifat postif maupun negatif akan lebih objektif.

Sedangkan untuk jenis kelamin peremuan memiliki sikap penuh perhatian yang akan menilai diri untuk mengahadapi tekanan maupun tantangan yang bersifat postif maupun negatif menjadi lebih menyeluruh namun penilaian tersebut sesuai dari subjektifitas pada individu perempuan tersebut.

Pada dimensi yang terakhir ini Desire Success atau sikap dan nilai yang dihubungkan dengan pencapaian atau keberhasilan. kedua jenis kelamin memilki nilai mean yang hampir sama yakni dengan nilai mean pada pendaki gunung laki-laki sebesar 183,3 dan pada pendaki gunung perempuan sebesar 182,7. Pada jenis kelamin laki-laki memiliki agrsifitas yang lebih tinggi dimana sifat tersebut menentukan prioritas utama untuk dilakukan dan didukung oleh sikap rasional yang akan merencanakan proritas tersebut lebih matang untuk merencanakan pencapaian dan keberhasilan. Sedangkan Janis kelamin perempuan memiliki sikap yang lebih sensitif yang akan menimbulkan distraksi yang cukup intens setiap merencanakan suatu nilai yang dihubungkan dengan pencapaian atau keberhasilan.

Terlihat pada dimensi DesireSuccessmeskipun nilai mean pendaki gunung laki-laki lebih tinggi dengan nilai 183,3 dibandingkan dengan pendaki gunung perempuan dengan nilai 182,7 namun nilai mean tersebut memiliki selisih yang paling sedikit dibandingkan dengan nilai mean pada dimensi mental toughness lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendaki gunung perempuan juga memiliki keinginan untuk sukses dalam mencapai tujuan hampir sama dengan pendaki gunung laki-laki.

Dalam penelitian Febriani dkk., [14] menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan keinginan untuk sukses dalam karier pada siswa laki-laki maupun siswa perempuan, tidak adanya perbedaan tersebut di latar belakangi oleh kesetaraan genderdan budaya. Kesetaraan genderadalah kondisi dimana laki-laki serta perempuan mengontrol penuh atas diri sendiri terhadap hak-hak dan potensi diri untuk berkembang [15]. Dapat dikatakan bahwa sedikitnya selisih mean pada dimensi Desire Success disebabkan oleh penerapan budaya yang baik dalam hal kesetaraan genderpada lingkungan subjek.

Simpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan mental toughness pada pendaki gunung ditinjau dari jenis kelamin. Hasil dari uji beda menggunakan independentsamplet-testmenghasilkan signifikansi sebesar 0,033 < 0,05, berarti hipotesis pada penelitian ini diterima. Dimana pendaki gunung laki-laki memilki mental toughness yang tinggi dibandingkan dengan pendaki gunung perempuan.

Mental toughness pada pendaki gunung laki-laki lebih tinggi karena memiliki persentase 59% berada di kategori sangat tinggi , sedangkan mental toughness pendaki gunung perempuan dibawahnya, karena memilki persentase 57% berada di kategori sangat tinggi. Penelitian ini memilki besar efek yang rendah dengan nilai (cohen’sd)sebesar 0,416.

Pada seluruh dimensi mental toughnes yakni thrive though challenge, sport awareness, though attitude, dan desire success siswa pendaki gunung perempuan memiliki nilai rerata lebih rendah daripada rerata siswa pendaki gunung laki-laki.

References

  1. M. C. B. Prakoso, “Perbedaan Sensation Seeking pada Pendaki Gunung ditinjau dari Jenis Kelamin,” Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 2016.
  2. A. R. Sadewa, “Kematangan Emosi pada Pendaki Gunung ditinjau dari Jenis Kelamin,” Universitas Katolik widya Mandala Surabaya, 2012.
  3. Antara News, “Pengunjung Taman Nasional Gunung Rinjani 15.030 Orang,” mataram.antaranews.com, Jan. 05, 2012.
  4. Liputan6, “Pendaki Tewas,” liputan6.com, Jul. 08, 2021.
  5. J. Niko, “Hubungan Kepercayaan Diri, Daya Tahan terhadap Tingkat Kecemasan Tim Pendaki Gunung Mapala Unimed dalam Menghadapi Expedisi Rimba Gunung Sumatra Utara Tahun 2013,” Universitas Negeri Medan, 2013.
  6. A. Farhan, “Mendaki Gunung , Nomor Satunya Mental !,” travel.detik.com, Oct. 15, 2015.
  7. P. J. Clough, K. Earle, and D. Sewell, Mental Toughness: The Concept and Its Measurement. 2002.
  8. D. F. Gucciardi and S. Hanton, “Mental Toughness: Critical Reflections and Future Considerations,” Perth Routledge Int. Handb. Sport. Psychol., 2014.
  9. M. V. T. M. Juan and A. V Lopez, “Mental Toughness of Scholar Athletes,” J. Arts Sci. Commer., vol. 3, no. 1, p. 22, 2015, [Online]. Available: www.researchersworld.com.
  10. J. P. M. Tangkudung, “Proses Adaptasi Menurut Jenis Kelamin dalam Menunjang Studi Mahasiswa FISIP UNSRAT,” J. Acta Diurna, vol. 3, no. 4, pp. 1–11, 2014.
  11. Suhardin, “Pengaruh Perbedaan Jenis Kelamin dan Pengetahuan tentang Konsep Dasar Ekologi terhadap Kepedulian Lingkungan Studi Expost Facto di SMA Negeri 7 Depok Tahun 2015,” J. Penelit. Pendidik. Agama dan Keagamaan, vol. 14, no. 1, pp. 117–132, 2016.
  12. P. W. Algani, “Hubungan Antara Mental Toughness dengan Cometitive Anexiety pada Atlet Bola Voli,” Universitas Muhammadiyah Malang, 2018.
  13. S. Musyarofah, “Analisis Penerapan Green Accounting Di Kota Semarang,” Account. Anal. J., vol. 2, no. 3, pp. 352–359, 2013, doi: 10.15294/aaj.v2i3.2855.
  14. R. D. Febriani, A. M. Yusuf, and M. Iswari, “Perbedaan Aspirasi Karier Siswa ditinjau dari Jenis Kelamin, Jurusan, dan Tingkat Pendidikan Orangtua serta Implikasinya terhadap Pelayanan Bimbingan dan Konseling,” Konselor, vol. 5, no. 3, pp. 160–171, 2016, doi: 10.24036/02016536552-0-00.
  15. Z. Ismail, M. P. Lestari, P. Rahayu, and F. N. Eleanora, “Kesetaraan Gender ditinjau dari Sudut Pandang Normatif dan Sosiologis,” Sasi, vol. 26, no. 2, pp. 154–161, 2020, doi: 10.47268/sasi.v26i2.224.