Abstract

The purpose of this research is to find out the psychological well-being of the college students of the incomplete family, either because the father died or the parents divorce and didn’t live with the father. In this study, researcher used a qualitative approach focused on a phenomenon, the incomplete family. The subject of this research are three college students who lost their father in death or divorce and every subjects has two significant others or informans. The data collection used semi-structured interview and observation with anecdotal record. The result of this research shows that subject I can emerges five dimensions of psychological well-being which are self acceptance, positive relations with others, environmental mastery, purpose in life, and personal growth. Subject II and III they emerge all six dimensions of psychological well-being which are self acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth. The factors that affect all three subjects are the same: age, culture, social status, and social support.

Pendahuluan

Menurut BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), keluarga merupakan bagian terkecil di masyarakat, terdiri atas suami istri atau suami istri beserta anaknya atau salah satu orang tua tersebut beserta anaknya (Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 52 tahun 2009). Pada dasarnya, keluarga dibagi menjadi dua, yaitu keluarga utuh (harmonis) dan keluarga tidak utuh (broken home).

Keluarga utuh adalah keluarga yang memiliki struktur lengkap yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Apabila dalam suatu keluarga tidak terdapat ayah atau ibu atau keduanya, maka struktur keluarga itu tidak utuh lagi . Tidak adanya ayah atau ibu atau keduanya meninggal dunia, orang tuanya yang jarang pulang ke rumah atau pergi selama berbulan-bulan maka sebenarnya struktur keluarga itu sudah tidak utuh. Orang tua yang bercerai juga termasuk dalam keluarga tidak utuh .

Kehilangan contoh model orang dewasa, anak kekurangan kasih sayang, tidak mendapat pendidik atau pembimbing yang anak butuhkan termasuk dalam dampak dari kehilangan salah satu dari kedua orang tua atau kehilangan keduanya, baik karena perceraian maupun meninggal dunia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional, pada tahun 2017, kasus perceraian di Jawa Timur mencapai 84.839 kasus dan pada tahun 2018 mengalami kenaikan dari 84 ribu menjadi 88 ribu kasus. Sedangkan untuk anak yang ayahnya meninggal dunia (yatim), Yayasan Yatim Mandiri mencatat jumlah anak yatim di Indonesia mencapai 3.176.642 dengan 157.621 di antaranya dari Jawa Timur.

Ketiadaan sosok ayah dalam hidup anak tentu saja memberikan dampak bagi kehidupannya, apalagi sosok ayah membawa pengaruh lebih besar daripada ibu. Sesuai dengan pernyataan Eirini Flouri dan Ann Buchanan bahwa meskipun ayah dan ibu ikut terlibat dan memberikan kontribusi besar untuk anak, keterlibatan ayah memiliki pengaruh yang lebih besar. Efek tersebut dirasakan sama pada anak perempuan maupun anak laki-laki. Kehilangan peran ayah akan menyebabkan seorang anak merasa kesepian, cemburu, serta duka dan kehilangan, yang diikuti dengan kontrol diri, inisiatif, keberanian mengambil resiko, dan kesejahteraan psikologis yang rendah.

Menurut Ryff psychological well-being atau kesejahteraan psikologis merupakan perwujudan dan pencapaian penuh dari potensi seseorang yang mana seseorang tersebut mampu menerima semua hal baik maupun buruk yang ada dalam dirinya, mandiri, mampu menjalin hubungan positif dengan orang lain, menguasai lingkungannya sehingga mampu membentuk lingkungan agar sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya, memiliki tujuan dalam hidup, dan menumbuhkan dirinya.

Seseorang dengan orang tua bercerai cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang kurang baik. Hasil penelitian menunjukkan siswa SMK yang orang tua-nya bercerai memiliki kesejahteraan psikologis pada kategori kurang baik, yakni sebesar 52% . Hasil penelitian lain mengenai kesejahteraan psikologis pada keluarga broken home juga menunjukkan hasil dua partisipan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik dan satu partisipan lainnya memiliki kesejahteraan psikologis yang cukup baik . Penelitian lainnya pada dewasa awal dari keluarga broken home menunjukkan hasil satu responden memiliki kesejahteraan psikologis yang baik, sedangkan satu lainnya memiliki kesejahteraan psikologis yang kurang baik .

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa tidak semua individu dari keluarga broken home, yang hidup dengan salah satu orangtua, memiliki kesejahteraan psikologis yang kurang baik. Fenomena ini juga ditemukan pada mahasiswa yatim yang menjadi responden dalam penelitian ini.

Di bawah ini merupakan kutipan hasil wawancara dari responden I:

“pas ayah meninggal itu aku sedih banget, yaa.. . kaget, aku itu.. gak percaya gitu. Nangis terus, mikir hidupku pasti mm… rasanya gak sama lagi. Gak rela juga, kaget, gak nyangka. Sekarang sudah mulai lebih bisa nerima dan mikir kalo aku gini terus--kalo aku down terus itu gak ada gunanya, malah bikin ayah sedih, bikin ibu sama adek sedih juga. Hubunganku sama ibu, adek, sama sahabat-sahabatku jadi semakin deket. Rasanya tuh beda kan ya pas gak ada ayah. Sampe sekarang pun ya tetep kerasa beda, gak enak sebenernya gak ada ayah, tapikan yaa.. gimana lagi hehe. Beruntung ada ibu, adek, sama sahabat-sahabatku, aku bersyukur punya mereka dan aku juga bisa jadi lebih baik. Mereka yang ngehibur aku pas lagi down banget itu. Pendukung terbesar ya itu, mereka.”

Kutipan lainnya dari hasil wawancara dengan responden II mahasiswa yang orang tuanya bercerai:

“Orang tua saya cerai mmm… setahun setengah lalu, yaa hampir dua tahun lah. Saya sama mbak milih buat tinggal sama mama. Banyak yang saya rasakan. Mulai dari harus adaptasi hidup tanpa papa, sempet marah juga tapi yaudah. Saya sih gak pernah ngerasa malu karena jadi anak broken home, soalnya saya tau kasus begini itu udah banyak, jadi gak ada gunanya malu-malu begitu. Hal yang berubah setelah tanpa papa, mm… apa yaa, yang jelas sih lebih mandiri. Terus kalau dalam hubungan pertemanan sih saya baik-baik aja. Cuma kalau dalam hubungan asmara gitu lagi gak mau mikirin begitu, mikir kuliah aja, mikir masa depan. gak deket banget tapi juga gak yang jauh bangeett sampe canggung gitu enggaakk. Tapi emang kalo aku gak pernah curhat-curhat gitu ke mereka. sahabatku. Aku lebih deket sama mereka ketimbang sama mama sama mbak. Jadi cerita apapun ya ke mereka.”

Dari hasil wawancara dapat digambarkan bahwa hidup responden saat ayahnya masih ada dengan saat ayahnya telah pergi tentu saja berbeda, banyak yang berubah setelah ayah pergi. Kutipan wawancara tersebut menunjukkan adanya kesejahteraan psikologis pada partisipan. Hal ini terlihat dari partisipan yang memiliki nilai baik pada beberapa aspek atau dimensi kesejahteraan psikologis.

Faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan psikologis terdiri dari faktor-faktor demografis dan klasifikasi sosial seperti jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi, dan budaya; dan dukungan sosial. Usia berpengaruh pada kesejahteraan psikologis terutama pada dimensi otonomi dan dimensi hubungan positif dengan orang lain. Dimensi tersebut mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia karena telah melewati beberapa pergantian situasi lingkungan sehingga membuat lebih mandiri dan beradaptasi lebih baik pada keadaan. Pada jenis kelamin, tidak ditemukan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan. Dukungan sosial menjadi faktor yang berpengaruh pada kesejahteraan psikologis. Adanya perhatian dari keluarga dan teman-teman dekat dapat membantu seseorang untuk mengatasi masalah yang dialaminya .

Mahasiswa yang memiliki kesejahteraan psikologis baik, memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri yang tinggi karena dapat menilai diri maupun situasi secara nyata, menerima keadaan, dan mengontrol diri sehingga tidak mudah merasa stres dengan apapun keadaan yang dihadapinya . Kesejahteraan psikologis adalah hal penting yang perlu dipunyai mahasiswa untuk menumbuhkan kemampuan sosial mahasiswa selama masa pendidikannya. . Hal penting tersebut seperti kemampuan mengatur diri yang memengaruhi sikap sosial dan mengembangkan kemampuan mengambil keputusan sendiri . Mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain adalah hal penting yang bisa membuat individu tidak mudah tertekan dan berburuk sangka pada orang lain . Seseorang yang tidak mudah stres, berhubungan baik dengan orang lain, serta kemampuan sosialnya baik, dapat dikatakan kesejahteraan psikologis seseorang tersebut baik. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa tidak semua individu dari keluarga broken homeatau tidak utuh, yang hidup dengan salah satu orangtua, memiliki kesejahteraan psikologis yang kurang baik.

Mahasiswa berada pada masa perpindahan dari remaja ke dewasa awal, sehingga kesejahteraan psikologis yang optimal diperlukan untuk menghadapi tugas perkembangannya. Berdasar uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitan mengenai bagaimana gambaran kesejahteraan psikologispada mahasiswa dari keluarga tidak utuh. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kesejahteraan psikologis pada mahasiswa dari keluarga tidak utuh, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Metode Penelitian

Pada penelitian ini, jenis yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dipakai dalam menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan pengaruh sosial yang sulit dijabarkan, diukur, atau digambarkan dengan pendekatan kuantitatif. Adapun jenis pendekatan penelitian ini adalah dengan fenomenologi. Di mana fenomenologi adalah untuk memahami makna suatu hal berdasar pengalaman dan pemahaman sehari-hari, di mana peneliti berusaha memahami responden dari sudut pandang responden sendiri .

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa dari keluarga tidak utuh. Pemilihan subjek menggunakan purposive sampling dengan karakteristik mahasiswa aktif di perkuliahan, usia minimal 20 tahun, dan telah kehilangan ayahnya dengan rentang waktu 0-3 tahun. Teknik yang digunakan peneliti adalah purposive sampling karena peneliti ingin mengetahui gambaran kesejahteraan psikologispada mahasiswa dari keluarga broken home secara jelas. Penggunaan teknik purposive sampling diharapkan bisa memberikan penjabaran dan hasil yang akurat. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan tiga responden. Masing-masing responden memiliki dua informan yang merupakan orang terdekat (significant other) dari responden. Peneliti memilih rumah responden dan sebagai setting tempat penelitian.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara untuk mengumpulkan data. Peneliti memakai wawancara semi terstruktur. Ciri wawancara semi terstruktur adalah terdapat pedoman wawancara namun tidak harus diikuti secara ketat, tidak harus dilaksanakan sesuai urutan karena peneliti bisa mengembangkan pertanyaan lainnya tergantung jawaban responden pada proses wawancara. Pedoman wawancara fokus pada topik yang diteliti, pedoman wawancara bisa diubah setelah wawancara karena ide baru yang muncul .

Uji kredibilitas pada hasil penelitian dilakukan untuk memperoleh data valid. Strategi yang digunakan pada penelitian ini untuk mengatasi keraguan adalah triangulasi. Peneliti tidak hanya mewawancara responden saja, tetapi juga mewawancarai orang terdekat responden untuk mengetahui bagaimana responden bersikap dalam keseharian.

Analisis data dilakukan dengan tiga langkah, sesuai yang diungkapkan oleh Miles & Hubberman , yakni, yang pertama adalah reduksi data. Reduksi data berarti mengumpulkan, menggolongkan, memilih, merangkum, memfokuskan pada hal-hal penting, lalu mengumpulkan datanya dengan cara tertentu supaya bisa menemukan fakta yang dicari. Langkah selanjutnya adalah “display” data atau penyajian data. Pada penelitian ini, data disajikan dalam bentuk tabel untuk menglasifikasikan data sesuai dengan pokok permasalahan yang diawali dengan pemberian kode untuk memudahkan penarikan kesimpulan. Langkah terakhir adalah menarik kesimpulan yang berupa hasil penelitian yang menjawab fokus penelitian berdasar hasil analisis data. Dilakukan dengan mencari hubungan, mencatat ketaraturan pola, penjelasan, sebab-akibat, maupun persamaan atau perbedaan sehingga didapatkan kesimpulan yang awalnya belum jelas, namun semakin lama akan jelas karena data yang didapat semakin banyak.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Hasil wawancara akan dianalisis dan disajikan dengan tabel perbandingan dari responden I, II, dan III untuk memudahkan analisis.

Dimensi Kesejahteraan Psikologis Responden I Responden II Responden III
Penerimaan Diri Responden mampu menyikapi secara positif hal yang terjadi pada keluarganya. Responden juga bisa menjelaskan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Responden memahami kekurangannya sehingga melakukan introspeksi diri dan berusaha untuk memperbaikinya. Responden menyikapi secara positif terhadap perceraian orang tuanya. Responden merasa ikhlas dan beryukur dengan apa yang dimilikinya saat ini. responden juga tidak pernah merasa malu dengan keadaan keluarganya. responden juga mampu menerima kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Setelah kehilangan ayahnya, responden merasa tanggung jawabnya semakin berat, karena menggantikan peran ayahnya. Pada awalnya responden merasa takut tidak bisa menjalankannya, namun lama-kelamaan responden menjadi terbiasa dan beradaptasi sehingga terasa ringan yang berarti responden mampu bersikap positif terhadap kepergian ayahnya. Responden bisa menjelaskan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya serta melakukan introspeksi untuk memperbaiki kekurangannya.
Hubungan Positif dengan Orang Lain responden mampu memiliki hubungan dekat dan mampu memercayai orang lain yang ditunjukkan dengan memilki hubungan dekat dengan ibu dan teman-temannya. Meskipun saat bertemu orang baru responden cenderung malu, namun responden tidak menutup diri dengan relasi baru. hubungan responden lebih dekat dengan sahabat-sahabatnya dibandingkan dengan keluarganya. responden juga mengikuti UKM dan kompetisi debat. Menunjukkan bahwa responden mampu membangun hubungan dekat dengan orang lain dan bisa memercayai orang lain. responden memiliki hubungan dekat dengan ibu dan teman-temannya. Sesekali responden akan bercerita-cerita. Bagi responden, relasi adalah hal yang sangat penting karena menurutnya manusia selalu membutuhkan orang lain. hal tersebut menunjukkan bahwa responden mampu memiliki hubungan dekat dengan orang lain serta memercayai orang lain.
Kemandirian responden tidak mampu bersikap mandiri karena responden selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya. Responden juga selalu meminta pendapat orang lain sebelum membuat keputusan. Karena dirinya selalu merasa ragu dan tidak yakin. responden tidak bergantung pada orang lain. saat membuat keputusan, responden mengutamakan kemauannya sendiri karena tidak ingin menyesal dan menyalahkan orang lain apabila mengikuti apa kata orang. sebagian besar keputusan hidup responden adalah berasal dari dirinya sendiri. responden juga terbiasa mengerjakan sesuatu sendiri tanpa dibantu. Hal itu membuat responden menjadi mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain.
Penguasaan Lingkungan responden mampu mengatur kegiatan sehari-harinya. Responden juga mampu mengontrol lingkungan sesuai kebutuhannya. Responden membutuhkan waktu cukup lama untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Responden mampu memanfaatkan kesempatan yang ada dengan baik, seperti saat dirinya memanfaatkan kemampuan menggambarnya dengan mengikuti lomba dan membuka usaha jasa menggambar. responden menunjukkan penguasaan lingkungan dengan mengontrol sekitar sesuai dengan nilai pribadinya yang ditunjukkan dengan respon saat menghadapi stigma sosial mengenai broken home. Responden tidak memedulikan stigma sosial tersebut. Responden juga bisa memanfaatkan kesempatan yang datang, yaitu mengikuti kompetisi di bidang yang disukainya yaitu debat. responden mampu melaksanakan tanggung jawab barunya selepas kepergian ayahnya. responden juga mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya, seperti pasar karena responden yang sering mengantar ibunya ke pasar.
Tujuan Hidup Responden memiliki tujuan hidup dan mampu merencanakan apa yang diinginkannya di masa depan. Responden terlihat antusias dan senang saat membahas rencana hidup dan cita-citanya di masa depan. responden tidak ingin mengecewakan kakak dan ibunya. Responden melakukan yang terbaik untuk pendidikannya, lalu responden ingin bekerja dan semakin mandiri. Responden bercita-cita menjadi seorang pengacara. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden bisa menjelaskan rencana masa depannya dan cita-cita yang diinginkannya. responden memiliki tujuan dan rencana di masa depannya.tujuan hidup responden ingin menjadi orang bermanfaat da berguna bagi banyak orang terutama keluarganya. hal paling utama bagi responden adalah mendapat pekerjaan.
Pertumbuhan Pribadi Responden mampu untuk mengembangkan potensi dirinya dengan cara sering menggambar, mencari ide dan referensi lain dalam menggambar. Responden juga terbuka dengan pengalaman baru dengan beberapa kali mengikuti lomba serta saat ini membuka jasa menggambar yang sebelumnya belum pernah dilakukan responden. Responden juga memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik. responden mengetahui potensinya dalam berdebat dan memiliki cara untuk mengembangkannya, yaitu dengan memperbanyak membaca dan mengikuti kompetisi debat. Responden mampu mengembangkan dirinya menjadi lebih baik dengan tidak menyesali yang sudah terjadi sehingga tidak mengulangi kesalahan yang sama. responden mengembangkan potensi dirinya dalam bidang sepak bola dan futsal dengan mengikuti UKM futsal di kampus. Responden memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik yang ditunjukkan dengan tidak ingin tenggelam dalam penyesalan, lebih mandiri dan lebih kuat menghadapi masalah. responden juga lebih dewasa dan mampu mengutamakan hal penting.
Table 1.Perbandingan Gambaran Kesejahteraan Psikologis

Faktor Kesejahteraan Psikologis Responden I Responden II Responden III
Jenis Kelamin menurut penelitian, jenis kelamin berpengaruh dengan dimensi kesejahteraan psikologis pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi. Wanita memiliki skor lebih tinggi pada dimensi tersebut dibanding dengan pria. Namun pada penelitian ini ketiga responden yang terdiri dari dua perempuan dan satu laki-laki tidak memiliki perbedaan pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi. Karena ketiga responden mampu menjalin hubungan dekat dengan orang lain serta mampu mengembangkan dirinya menjadi lebih baik. sehingga jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan ketiga responden.
Usia dari ketiga responden diperoleh bahwa ketiga responden mampu berpikir realistis dan responden mampu melakukan kegiatan yang bersifat eksplorasi, mampu menerima kepergian ayahnya ataupun perceraian yang terjadi pada keluarganya. Responden I dan II mengikuti kompetisi sesuai dengan bidang yang mereka minati, yaitu seni menggambar dan berdebat. Responden II dan III bersikap mandiri dengan tidak bergantung pada orang lain. Hal-hal tersebut merupakan tanda usia dewasa awal yang memengaruhui ketiga responden dalam memunculkan dimensi penerimaan diri, kemandirian, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan pribadi.
Status Sosial Ekonomi menurut penelitian, tingkat pendidikan dan status pekerjaan tinggi akan memberikan nilai tinggi pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Saat ini ketiga responden adalah mahasiswa di salah satu universitas di Surabaya dan Sidoarjo dan belum memiliki pekerjaan tetap. ketiga responden memiliki nilai baik pada kedua dimensi tersebut. Ketiga responden sama-sama memiliki tujuan hidup serta rencana yang sama, yaitu fokus dengan pendidikan, lulus kuliah dan mendapat pekerjaan. Ketiga responden sama-sama memfokuskan diri untuk pendidikan dan juga mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya. Dikarenakan status pendidikan yang dimiliki ketiga responden setara, maka hasil yang dimiliki pun setara dan tidak dapat dibandingkan.
Budaya responden I cenderung berorientasi pada orang lain. responden terbiasa mendapat bantuan saat menghadapi masalah. Selalu merasa kesulitan apabila menyelesaikan masalahnya sendiri dan membuat keputusan sehingga selalu minta bantuan dan pendapat orang terdekatnya. Responden II dan III cenderung beorientasi dengan diri sendiri. Kedua responden mampu membuat keputusan dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Sejak dulu responden selalu melakukan sesuatu sendiri, sehingga saat ini responden mampu menyelesaikan masalah dan membuat keputusan sendiri tanpa bantuan orang lain. Walaupun responden ke dua adalah orang cuek yang tidak peduli dengan sekitar kecuali orang terdekatnya, tetapi responden selalu bersedia membantu apabila ada yang meminta.
Dukungan Sosial ketiga responden mendapatkan dukungan besar dari orang-orang terdekatnya, baik dari keluarga maupun dari teman-teman dekat.Responden I mendapat dukungan dari ibu dan sahabat-sahabatnya. Ibu dan teman-temannya selalu ada untuk responden berkelu-kesah. Dukungan yang diberikan selalu mampu membuat responden merasa lebih kuat dan tidak sedih. Pada responden II mendapat dukungan dari keluarga serta sahabatnya dengan cara masing-masing. Keluarganya saling menguatkan, sedangkan sahabatnya selalu menemaninya. Responden III mendapat dukungan yang paling besar dari ibunya, salah satu bentuknya adalah dengan membiayai kuliahnya. Teman-teman dekat responden juga selalu memberikan dukungannya.
Table 2.Perbandingan Faktor Kesejahteraan Psikologis

Pembahasan

Dari ketiga responden diperoleh bahwa dua responden mampu memunculkan semua dimensi kesejahteraan psikologis. Sedangkan satu responden lainnya mampu memunculkan lima dimensi kesejahteraan psikologis. Dimensi penerimaan diri yang diartikan sebagai kemampuan responden untuk menerima dan memahami hal baik dan buruk yang dimilikinya, memiliki sikap positif terhadap masa lalunya, dan memahami kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Pada dimensi penerimaan diri, ketiga responden sama-sama mampu menerima keadaan keluarganya yang berbeda. Menerima dan mengikhlaskan yang terjadi karena percaya bahwa itu adalah takdir serta ujian dari Tuhan, juga menerima peran dan tanggungjawab baru yang dimilikinya. Ketiga responden juga memahami segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya dan berusaha untuk memperbaikinya. Faktor usia turut memengaruhi di mana mahasiswa memasuki usia dewasa awal. Dewasa awal ditandai dengan berpikir logis dan realistis, melakukan kegiatan yang bersifat eksploratif, dan mendapat pekerjaan. Ketiga responden dalam penelitian ini sama-sama melakukan kegiatan eksploratif, baik untuk mengembangkan bakatnya seperti mengikuti kompetisi di bidang yang mereka minati atau melakukan kegiatan baru yang sebelumnya tidak dilakukan seperti pergi ke pasar dan mendapat pengetahuan baru. Dari kegiatan tersebut membuat responden memunculkan dimensi pertumbuhan pribadi dan penguasaan lingkungan karena dapat memanfaatkan kesempatan dengan baik serta mengembangkan dirinya.

Ketiga responden juga memiliki rencana dan tujuan hidup yang tidak berbeda jauh, yaitu menyelesaikan pendidikan dan mendapat pekerjaan sesuai yang mereka inginkan, hal itu dipengaruhi oleh faktor usia, dan juga faktor status sosial ekonomi yaitu tingkat pendidikan di mana ketiga responden berada pada jenjang pendidikan yang sama, yaitu mahasiswa aktif dan sama-sama belum memiliki pekerjaan.

Ketiga responden mendapat dukungan besar yang berasal dari keluarga serta teman-teman dekatnya. Bentuk dukungan yang diberikan beragam, seperti memasakkan makanan kesukaan, membiayai pendidikan, menjadi tempat berkeluh-kesah, berbagi cerita, dan menemani saat merasa sedih. Hal tersebut memengaruhi dimensi hubungan positif dengan orang lain untuk muncul di mana dimensi hubungan positif adalah kemampuan untuk menjalin hubungan dekat dan hangat dengan orang lain, serta mampu memercayai orang lain.

Faktor budaya, Ryff beranggapan bahwa seseorang yang berorientasi pada dirinya akan memiliki nilai lebih baik pada dimensi penerimaan diri dan kemandirian. Sedangkan pada orang yang berorientasi pada orang lain memiliki nilai baik pada dimensi hubungan positif dengan orang lain. Pada penelitian ini, ketiga responden memiliki budaya yang berbeda. Satu responden cenderung berorientasi pada orang lain dan tidak memunculkan dimensi kemandirian karena terbiasa mendapat bantuan orang lain sehingga saat harus menyelesaikan masalah atau membuat keputusan selalu bergantung dan meminta bantuan pada orang lain. Sedangkan dua responden lainnya berorientasi pada diri sendiri yang ditunjukkan dengan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dan selalu membuat keputusan sendiri tanpa dibantu orang lain, karena sudah terbiasa melakukannya sendiri mampu memunculkan dimensi kemandirian.

Penelitian Nugrani & Ramdhani menyampaikan bahwa kesejahteraan psikologis adalah hal penting yang perlu dipunyai mahasiswa untuk menumbuhkan kemampuan sosial mahasiswa selama masa pendidikannya. Hal penting tersebut seperti kemampuan mengatur diri yang memengaruhi sikap sosial dan mengembangkan kemampuan mengambil keputusan sendiri , mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain, bisa menerima dirinya sendiri, serta berani menghadapi rintangan dalam hidup .

Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian, gambaran kesejahteraan psikologis yang diperoleh adalah satu responden memiliki kesejahteraan psikologis cukup baik dan dua lainnya memiliki kesejahteraan psikologis baik meskipun keadaan keluarga sudah tidak utuh lagi, baik disebabkan karena ayahnya meninggal dunia atau perceraian. Responden I belum memunculkan satu dimensi yaitu kemandirian. Responden I yang memiliki nilai kurang baik pada dimensi kemandirian karena masih bergantung pada orang lain. Sedangkan responden II dan III memiliki nilai baik pada dimensi kemandirian karena mampu untuk tidak bergantung pada orang lain.

Pada keempat dimensi lainnya, ketiga responden memiliki nilai baik pada dimensi penerimaan diri karena mampu menerima masa lalu dengan sikap positif. Ketiga responden mampu membangun hubungan baik dengan orang lain, baik dengan keluarga, teman, dan dosen-dosennya. Ketiga responden juga memiliki penguasaan terhadap lingkungan yang baik sesuai dengan cara mereka masing-masing. Ketiga responden juga terbuka dengan pengalaman baru yang mereka dapat serta masing-masing responden memiliki tujuan dan rencana hidup yang sama serta mengetahui apa yang mereka inginkan di masa depan, yaitu fokus dengan pendidikan dan mendapat pekerjaan setelah lulus. Ketiga Responden juga sama-sama mengalami pertumbuhan pada diri mereka menjadi lebih baik setelah kejadian yang mereka alami yang membuat mereka menjadi anak dengan keluarga tidak utuh.

Gambaran kesejahteraan psikologis yang didapat menunjukkan bahwa walaupun berasal dari keluarga tidak utuh adalah ketiga responden mampu memunculkan kesejahteraan psikologis, serta ada faktor-faktor yang turut memengaruhi kesejahteraan psikologis ketiga responden. Hal ini sama dengan penelitian Munandar, Esterlita, & Varadhila yang menunjukkan hasil dua partisipan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik dan satu partisipan lainnya memiliki kesejahteraan psikologis yang cukup baik yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eskternal.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun berasal dari keluarga tidak utuh, ketiga responden mampu memunculkan kesejahteraan psikologis. Responden I dominan pada dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Pada responden II dan III, mampu memunculkan keseluruhan dimensi kesejahteraan psikologis yang terdiri dari dimensi kesejahteraan psikologis yang muncul adalah penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, kemandirian, dan pertumbuhan pribadi.

Pada penelitian ini, kesejahteraan psikologis ketiga responden dipengaruhi oleh faktor yang sama sama yaitu, usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan dukungan sosial. Faktor usia yang adalah faktor terpenting yang memengaruhi pola pikir serta sikap yang diambilnya, faktor budaya adalah faktor yang memengaruhi dimensi kemandirian, faktor status sosial ekonomi, dan dukungan sosial dari orang-orang terdekat responden yang mampu membantu untuk menghadapi masalah yang dihadapinya.

References

  1. L. M. Masi, "Analisis Kondisi Psikologis Anak dari Keluarga Tidak Utuh pada Siswa SMA PGRI Kupang," Jurnal Kependidikan: Jurnal Hasil Penelitian dan Kajian Kepustakaan di Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Pembelajaran , vol. 1, no. 216, pp. 214-226, 2021.
  2. E. F. a. A. Buchanan, "British Journal of Social Work," The Role of Father Involvement and Mother Involvement in Adolescents' Psychological Well-being, vol. 33, no. 400, pp. 399-406, 2003.
  3. S. E. P. S. V. P. Aris Munandar, "Psychological Well-Beng Pada Keluarga Broken Home," Insight: Jurnal Ilmiah Psikologi , vol. 22, no. 46, pp. 46-52, 2020.
  4. T. R. Djunaedi, "Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Siswa yang Orangtuanya Bercerai (Studi Deskriptif yang Dilakukan pada Siswa di SMK Negeri 26 Pembangunan Jakarta)," Insight: Jurnal Bimbingan Konseling , vol. 5, no. 109, pp. 108-115, 2016.
  5. K. Ni'Mah, Psychological Well Being Pada Dewasa Awal Dalam Keluarga Broken Home, Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya , 2015.
  6. S. Daretta, Psychological Well Being Pada Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Medan : Universitas Medan Area , 2018.
  7. I. N. Rachamawati, "Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif Wawancara," Jurnal Keperawatan Indonesia, vol. 11, no. 36, pp. 35-40, 2007.
  8. M. Dr. Tjipto Subadi, Metode Penelitian Kualitatif, Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta , 2006.
  9. A. Rijali, "Analisis Data Kualitatif," Jurnal Alhadharah , vol. 17, no. 85, pp. 81-95, 2018.
  10. C. D. Ryff, "Psychological Well-Being in Adult Life," vol. 4, no. 101, pp. 99-104, 2010.
  11. N. R. Setyawati, Kelekatan Ayah dan Kesejahteraan Psikologis Pada Mahasiwa, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2019.