Abstract

Emotion regulation is an individual's way of consciously or unconsciously to maintain, strengthen or reduce one or more aspects of emotional responses in which there is an experience of emotion and behavior. Adolescence is a period of transition to adulthood whose emotions fluctuate and are less able to express emotions in the right way. Emotional regulation in late teens is found in the fact that they are less able to regulate emotion properly, indicated by aggressive behavior, apathy towards the environment, free sex, drugs, and even withdrawal. Emotion regulation is influenced by physiological aspects, subjective experiences of individuals and responses to existing emotions. The purpose of this study is to describe the emotional regulation of students at SMK X Surabaya. The subjects in this study amounted to 153 people with Non-Probality sampling technique with quota sampling method. Subject criteria are students of SMK X Surabaya. The data collection method used the Emotion Regulation scale. Data analysis used descriptive statistics to analys just one variable wich is emotion regulation in SMK X Surabaya with the results of 6 students with a percentage of 4% having very high emotional regulation, 116 students having high emotional regulation with a percentage of 76%, 31 students having low regulation with a percentage of 20% and no students having very low regulation so that the percentage is 0%.

Pendahuluan

Era globalisasi dan modern sekarang ini, gaya hidup atau life style merupakan hal yang tidak bisa dihindari bahkan menjadikan sesuatu yang dianggap sangat penting dan kerap menjadi ajang untuk menunjukkan identitas diri individu. Berbagai ragam cara dilakukan untuk bisa menunjukkan jati diri masing-masing individu, baik itu dari segi cara berpakaian, pola hidup, gaya komunikasi, pemilihan teman atau kelompok bahkan sampai ke perilaku seksual yang akhir-akhir ini semakin menyimpang dari etika dan norma yang ada.

Jahja [1] Manusia memiliki masa pertumbuhan dari kanak-kanak ke arah remaja dan diakhiri dengan masa dewasa akhir yang dimana mereka memiliki perkembangan sendiri-sendiri. Remaja merupakan masa peralihan dari anak ke dewasa yang di dalamnya terdapat perubahan-perubahan ditinjau dari sisi cara berpikir, fisik, emosi, serta hubungan dengan orang di sekitarnya. Pada remaja sering dikenal sebagai masa yaitu peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada remaja awal. Dari segi sosial, remaja yang mengalami peningkatan pada emosinya merupakan kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Dimasa ini, remaja mengalami banyak tuntutan serta tekanan yang ditunjukkan pada remaja seperti tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, lebih bisa mandiri lagi dan serta punya rasa tanggung jawab.

Santrock [2] remaja awal merupakan awal merupakan suatau masa dimana emosinya mengalami fluktuasi (naik turun) dan berlangsung sering. Pada remaja sering mengalami dimana ia merasa sebagai orang yang paling bahagia di masa itu, akan tetapi terkadang ia juga merasa menjadi orang yang paling malang pada saat itu. Remaja sangat mudah merajuk, akan tetapi mereka mengalami kesulitan bagai mana caranya untuk bisa mengekspresikan secara cukup. Dengan atau tanpa adanya provokasi, mereka dapat menjadi sangat marah sekali kepada orang tuanya, meluapkan perasaan-perasaannya yang tidak mereka sukai kepada orang lain. Masalah yang kerap kali dialami pada masa remaja ini berkaitan erat dengan masalah emosional mereka. Mengendalikan emosi yang tidak sesuai pada para remaja akan memberikan efek mereka akan melampiaskan emosi mereka secara negatif dengan salah satunya dalah marah. Emosi yang tidak terkendali pada remaja terwujud dalam marah kepada orang di sekitarnya, bertengkar, penganiayaan, sampai ke arah membunuh orang lain.

Polresta Sidoarjo pada bulan Juni 2018 [3] menemukan kasus terjadi pembunuhan pelajar yang masih duduk di bangku SMP berinisial “F” yang telah membunuh korban berinisial “R” dengan cara menusuk R menggunakan senjata tajam ketika mereka melakukan pertarungan satu lawan satu dengan alibi memperebutkan seorang perempuan. F menantang R karena menyebutkan bahwa R menuduh F merebut kekasih R atau korban. Setelah adanya cekcok, akhirnya mereka berjanji untuk bertarung satu lawan satu untuk menyelesaikan masalah antar keduanya.

Terdapat 441 kasus tawuran pada anak di tahun 2016 [4], 449 buah kasus terjadinya pelaku kekerasan di dalam sekolah, 450 Anak Berhadapan Hukum sebagai tersangka dan pelaku kekerasan fisik (penganiayaan, perkeliahian, pengeroyokan, dan lain-lain), 127 ABH (Anak Berhadapan Hukum), pelaku kekerasan psikis yang melalui ancaman dan intimidasi, 269 dengan ABH pembunuhan, 178 ABH kasus memiliki senjata tajam yang tertuang dalam data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Berhubungan dengan tawuran [5] didapatkan kasus tawuran antar SMK PM dan SMK BK di Depok tahun 2014 yang menewaskan satu siswa dan beberapa mengalami luka parah seperti luka bacok. Komisioner Bidang Pendidikan KPAI juga menyebutkan bahwa adanya peningkatan tawuran dalam SMK yang pada tahun 2017 hanya 12,9 persen dan naik menjadi 14% pada tahun 2018. Meskipun berdasarkan data KPAI yang menyebutkan kasus anak akan tetapi bersebrangan dengan UU RI No. 23 Th. 2002 mengenai perlindungan anak pasal 1 angka 1 yang menjelaskan bahwa, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kadungan” yang menjadi kategori usia pada remaja penjelasan dari Santrock [2] anak berusia 10 sampai 13 tahun dan berakhir pada usia 18 sampai 22 tahun.

Fakta-fakta yang dipaparkan di paragraf sebelumnya menunjukkan bahwa regulasi emosi yang ada pada diri remaja termasuk kurang baik. Remaja dengan regulasi emosi yang baik, ditunjukkan dengan kemampuan mereka dalam mengendalikan emosi ketika mereka mendapatkan situasi yang kurang sesuai dengan keinginan mereka. Hurlock [6] mengatakan, meskipun kemampuan kognitif dan kesadaran dari remaja meningkat, serta dapat mempersiapkan mereka untuk dapat mengatasi stress dan fluktuasi emosi secara lebih efektif. Banyak dari remaja tidak dapat mengelolah emosinya dengan baik. Hal tersebut memiliki akibat pada remaja seperti mereka mudah sekali untuk mengalami stres atau depresi, mudah tersulut emosinya, kurang dapat melakukan regulasi emosi yang berakibat pada munculnya masalah-masalah pada bidang akademis, penyalahgunaan narkoba, kenakalan pada remaja, bahkan ke arah gangguan makan.

Jalaludin [7] menyebutkan bawah regulasi emosi merupakan cara mengedalikan emosi yang ada pada diri individu atau yang berhubungan dengan orang di luar dirinya, bahkan hubungan dengan Tuhan. Intensitas regulasi ini berbeda-beda ada yang ringan, berat, sampai ke arah disintergratif yang tergantung pada faktor-faktor misalkan hubungan subjek dengan objek, bagaimana situasi atau kondisi lingkunga, dan faktor yang memicu suatu kejadian.

Regulasi emosi dibutuhkan bagi remaja dengan manfaat sebagai cara untuk mengelola emosi sehingga mereka mudah mengendalikan emosinya, [8] kegagalan remaja dalam pengelolaan emosi akan berefek pada ketidak nyaman emosional yang dimiliki oleh karena itu kerap kali remaja melakukan reaksi dengan perilaku yang maladjustment seperti agresif atau apatis terhadap lingkungan. Perilaku agresif ini mengarah pada bentuk kenakalan remaja seperti adanya perlawanan, suka membangkang, berkelahi atau tawuran. Sedangkan perilaku maladjusment yang sifatnya apatis adalah dengan seks bebas, narkoba, bahkan menarik diri.

Regulasi emosi [9] adalah sebuah manupulasi individu atau anteseden emosi (situasi yang menimbulkan emosi), atau lebih dari satu komponen emosi yang terdiri atas aspek fisiologis, pengelaman mereka secara subjektif, atau bahkan perilaku yang memberikan arti bahwa regulasi emosi ini terjadi karena dipengaruhi situasi pada saat respon dari emosi belum muncul atau saat respon emosi sudah ada.

Kenakalan remaja dampak dari regulasi emosi tertuang dalam penelitian Farid [10] yang berjudul “Hubungan Antara Regulasi Emosi Dengan Kecenderungan Kenakalan Remaja” adanya hubungan negatif signifikan regulasi emosi dengan kenakalan remaja yang dapat dijabarkan bahwa semakin rendah regulasi emosi maka semakin tinggi kenakalan remaja yang terjadi. Begitupun sebaliknya ketika regulasi emosi tinggi akan berakibat pada rendahnya kenakalan.

Sekolah [11] adalah lembaga atau sistem yang rumit di dalamnya terdapat banyak instrumen-instrumen yang memberikan pengaruh pada proses pendidikan seperti sumber daya manusia di dalamnya sebut saja kepala sekolah, guru, administrasi, siswa-siswi, wali murid, sarana prasana, serta norma atau aturan yang ada di dalam sekolah. Komponen-komponen dalam sekolah harus bekerja sama secara optimal agar sarana prasana yang terdapat di sekolah melakukan norma atau peraturan yang telah menjadi kesepakatan. Pada intinya sekolah harus dapat menciptakan suasana yang dapat mendorong semua kompponen untuk menciptakan layanan pendidikan yang berkualitas baik bagi siswa.

Hasil dari wawancara menyatakan bahwa beberapa siswa SMK X Surabaya masih rendah dalam regulasi emosi. Dilihat dari beberapa pernyataan yang diberikan oleh mereka seperti meski mereka berusaha untuk mengelola emosinya dengan tidak menyalurkan emosinya secara membabi buta tapi pada akhirnya mereka kurang mampu dan melampiaskannya ke arah yang kurang baik bahkan sampai ke arah penambahan masalah dan emosi yang meledak-ledak. Pernyataan di atas merupakan bukti akan rendahnya pengelolaan emosi. Masalah pertama masih belum mampu mengubah situasi apa yang akan terjadi saat ada pertengkaran. Yang kedua belum mampu menilai dirinya sendiri. [12] Seseorang yang memiliki regulai emosi yang baik mereka akan memiliki sikap yang baik juga dalam aspek pemantauan yang dicontohkan dengan mampu memantau respon yang dia terima, penilaian terhadap respon dan emosi yang ia rasakan, dan terakhir aspek mengenai pengubahan dalam hal mengubah pikiran atau emosi negatif menjadi emosi positif.

Ada tiga aspek regulasi emosi [12] yaitu kemampuan individu untuk menilai emosi, mengatur emosi dan mengungkapkan emosi. Sedangkan menurut Gross [13] ada lima proses dari regulasi emosi itu sendiri yang pertama adalah mampu dalam memilih situasi agar terhidar dari hal-hal yang memicu emosi yang negatif. Kedua, mampu memodifikasi situasi, sehingga individu dapat tetap meluapkan emosi yang baik. Ketiga, mampu mengalihkan konsentrasi, agar terhindar dari emosi yang negatif. Keempat, mampu melakukan perubahan secara kognitif atau mengubah pola pikir sehingga individu mampu mengurangi munculnya emosi negatif yang berlebihan. Dan yang terakhir adalah mengelola respon dari emosi yang ada.

Dari fenomena di atas, peneliti tertarik untuk meneliti “Gambaran Regulasi Emosi pada siswa SMK X Surabaya”. Penelitian dimaksudkan untuk mengetahui Gambaran Regulasi Emosi pada siswa.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan jenis kuantitatif deskriptif kualitatif. [14] Penelitian kuantitatif adalah jenis dari penelitian yang pendekatannya menggunakan angka-angka yang telah didapatkan oleh peneliti dalam bentuk data kemudian angka tersebut akan dianalisis menggunakan perhitungan secara statistik. Teknik penelitian kuantitatif yang digunakan adalah metode deskriptif yang menggambarkan bagaimana regulasi emosi pada siswa SMK ditinjau dari skala regulasi emosi.

Penelitian ini menggunakan teknik non probalility sampling dengan metode sampling quota Penelitian kuantitatif [14] adalah jenis dari penelitian yang pendekatannya menggunakan angka-angka yang telah didapatkan oleh peneliti dalam bentuk data kemudian angka tersebut akan dianalisis menggunakan perhitungan secara statistik. Teknik penelitian kuantitatif yang digunakan adalah metode deskriptif yang menggambarkan bagaimana regulasi emosi pada siswa SMK ditinjau dari skala regulasi emosi. Populasi sebanyak 650 siswa didapatkan 153 siswa yang menjadi sampel.

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala regulasi emosi yang diadaptasi dari skala regulasi Rahayu [15], Hubungan Regulasi Emosi Terhadap Subjective Well Being pada Remaja dengan Orangtua Bercerai.

Teknik analisis data yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif yang hanya menggambarkan atau menganalisa satu variabel saja yaitu regulasi emosi pada siswa SMK X di Surabaya.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi emosi pada siswa SMK X Surabaya terdapat 6 siswa yang memiliki regulasi emosi yang sangat tinggi atau 4%, siswa yang memiliki regulasi tinggi sebanyak 116 atau 76%, yang memiliki regulasi rendah terdapat 31 siswa atau 20% dan tidak ada siswa yang memiliki regulasi yang sangat rendah atau 0%. Hasil ini menununjukkan bahwa regulasi emosi yang dimiliki siswa SMK X Surabaya rata-rata memiliki regulasi yang tinggi yaitu sebanyak 70% dari keseluruhan siswa yang ada di SMK X Surabaya.

Regulasi Emosi
No Skor Kategori Frekue n si Pensentase
1 68 - 80 Sangat Baik 6 4%
2 52 - 67 Baik 116 76%
3 36 - 51 Kurang 31 20%
4 20-35 Sangat Kurang 0 0%
Total 153 100%
Table 1.Hasil regulasi emosi

Gross [16] menyatakan individu yang meiliki regulasi emosi tinggi selalu dapat meningkatkan perilaku regulasi emosinya dari 5 aspek yang ada yaitu pilihan situasi, perubahan situasi, pemberian perhatian, perubahan kognitif serta modulasi reaksi. Dari hasil perhitungan deskriptif yang ada, para siswa SMK X Surabaya memiliki nilai yang tinggi dari aspek perubahan kognitif jika dibandingkan dari kelima aspek yang ada yaitu sebesar 26% , yang artinya siswa lebih mampu untuk mengubah pikiran negatif menjadi pikiran yang lebih positif.

No. Aspek Jumlah Persentase
1 Pilihan Situasi 1361 16%
2 Perubahan Situasi 1654 19%
3 Pemberian Perhatian 1551 18%
4 Perubahan kognitif 2214 26%
5 Modulasi Reaksi 1835 21%
Table 2.Hasil presentase tiap aspek regulasi emosi
Aspek Perempuan Laki-Laki
Jumlah % Jumlah %
Pilihan Situasi 244 13% 292 12%
Perubahan Situasi 443 23% 560 23%
Pemberian Perhatian 438 23% 543 22%
Perubahan kognitif 439 23% 607 25%
Modulasi Reaksi 377 19% 461 19%
Table 3.Hasil presentase per aspek dilihat dari jenis kelamin

No. Aspek X % XI % XII %
1 Pilihan Situasi 91 13% 121 12% 72 11%
2 Perubahan Situasi 150 21% 234 22% 155 24%
3 Pemberian Perhatian 162 23% 232 22% 142 21%
4 Perubahan kognitif 160 23% 264 25% 159 26%
5 Modulasi Reaksi 137 20% 199 19% 116 18%
Table 4.Hasil presentase regulasi emosi perkelas dilihat peraspek

Aspek-aspek dalam regulasi emosi menurut Gross [13] ada lima yaitu pilihan situasi dimana kemampuan dalam menyatakan perasaan secara terbuka kepada orang lain, perubahan situasi dengan melakukan kegiatan lain secara positif untuk mengalihkan emosi, pemberian perhatian dengan kemampuan mengubah emosi yang dirasakan ke dalam bentuk perilaku positif, perubahan kognitif dengan kemampuan mengubah pikiran negatif menjadi positif, dan terakhir adalah modulasi reaksi yang merupakan kemampuan menyembunyikan emosi negatif yang sesungguhnya. Melihat dari jumlah per aspek dari setiap jenis kelamin, aspek pertama perempuan memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, untuk subtest kedua baik perempuan dan laki-laki memiliki nilai persentase yang sama. Aspek ketiga, perempuan memiliki nilai persentase lebih tinggi dari pada laki-laki, untuk perubahan kognitif di aspek ke empat, laki-laki memiliki nilai persentase yang lebih tinggi dari pada perempuan sedangkan untuk modulasi reaksi baik laki-laki maupun perempuan memiliki persentase yang sama. Perempuan memiliki tiga aspek yaitu aspek perubahan situasi, pemberian perhatian, dan perubahan kognitif yang berarti perempuan mampu melakukan kegiatan positif untuk mengalihkan perilaku, mampu mengubah emosi yang dirasakan ke dalam perilaku positif, dan mampu mengubah pikiran negatif menjadi pikiran positif. Sedangkan pada laki-laki hanya memiliki satu sapek yang tinggi adalah aspek perubahan kognitif dimana mereka lebih mampu mengubah pikiran negatif menjadi positif. Kedua jenis murid ini memiliki aspek pilihan situasi yang rendah dengan arti bahwa kedua jenis murid kurang mampu dalam menyatakan perasaan secara terbuka kepada orang lain.

Pembahasan

Regulasi memiliki aspek-aspek menurut Gross [13], ada lima yaitu pilihan situasi dimana kemampuan dalam menyatakan perasaan secara terbuka kepada orang lain, perubahan situasi dengan melakukan kegiatan lain secara positif untuk mengalihkan emosi, pemberian perhatian dengan kemampuan mengubah emosi yang dirasakan ke dalam bentuk perilaku positif, perubahan kognitif dengan kemampuan mengubah pikiran negatif menjadi positif, dan terakhir adalah modulasi reaksi yang merupakan kemampuan menyembunyikan emosi negatif yang sesungguhnya. Regulasi emosi jika dilihat dari tiap kelas, aspek pertama kelas X memiliki nilai persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas XI dan kelas XII yang menandakan siswa kelas X lebih mampu mengungkapkan perasaannya secara terbuka kepada orang lain. Untuk aspek kedua kelas XII memiliki nilai persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas XI dan kelas X yang berarti bahwa siswa kelas XII lebih mampu melakukan kegiatan lain secara positif untuk mengalihkan emosi dibandingkan kelas X dan XI. Aspek ke tiga kelas X memiliki nilai persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas XI dan kelas XII dimana kelas X lebih mampu mengubah emosi yang dirasakan ke dalam bentuk perilaku positif dibanding dengan kelas XI dan XII. Aspek ke empat kelas XII memiliki nilai persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas XI dan kelas X yang berarti bahwa kelas XII lebih mampu dalam mengubah pikiran negatif menjadi positif dibanding murid kelas X dan XI, sedangkan untuk aspek terakhir yaitu tentang modulasi reaksi untuk kelas X memiliki persentase lebih tinggi dibanding kelas XI dan kelas XII dimana kelas X lebih mampu menyembunyikan emosi negatif yang mereka rasakan.

Regulasi emosi adalah rangkaian dari proses yang individu lakukan secara sadar atau tidak dalam mengontrol, mengubah emosi yang ia alami yang membuat ia merasa lebih baik dari sebelumnya. Menurut Koole [17] proses regulasi emosi ini mungkin dapat meningkatkan, mempertahankan atau bisa juga menurunkan emosi baik secara positif maupun secara negatif bagi siswa SMK ini. Seorang siswa yang memiliki Regulasi tinggi ia akan mampu untuk menyatakan perasaannya secara terbuka kepada orang lain. Dengan ia mampu menyatakan perasaanya kepada orang lain ia akan mampu mengurangi rasa emosi yang ada pada dirinya, sehingga ia akan merasa berkurang beban yang ada pada dirinya sehingga ia mampu untuk mengontrol emosi yang ada pada dirinya.

Berbeda dengan siswa yang tidak mampu menyatakan perasaan secara terbuka kepada orang lain. Ketika siswa tidak mampu untuk mengatasi sebuah permasalahan yang ada maka ia akan cenderung meluapkan emosinya dengan hal-hal yang negatif. Sering bertindak bodoh dimana hal ini dapat merugikan dirinya sendiri.

Thompson [12] menyatakan bahwa siswa pada tahap remaja akhir memiliki kemampuan dalam melakukan strategi dalam merubah cara berpikir mereka mereka ke arah yang sudah mampu mengartikan situasi dari sudut pandang yang berbeda, baik untuk menurangi atau meningkatkan emosi yang ia rasakan. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang memiliki regulasi yang tinggi, ia akan mampu mempu untuk mengubah emosi yang dirasakan ke dalam bentuk perilaku yang positif seperti belajar lebih giat lagi, mengarahkan bentuk emosinya dengan melakukan olahraga dan lain-lain yang mengarah kegiatan yang positif.

Ketika siswa yang memiliki regulasi rendah maka akan sebaliknya, ia tidak mampu melakukan kegiatan lain yang positif untuk alihkan emosinya. Ia akan cenderung lebih suka melakukan hal-hal yang negatf seperti minum-minuman air keras, tawuran dan sebagainya.

Siswa yang memiliki regulasi emosi tinggi juga mampu melakukan kegiatan lain yang positif untuk alihkan emosinya, mereka akan mampu untuk meregulasi emosinya dimana siswa SMK mampu untuk modulasi respon melalui supresi untuk menghambat periaku emosi yang mana ketika ia merasa emosi yang negatif yang menurut ia tidak diterima oleh teman maka siswa SMK tersebut akan menahan emosi yang menurut dia dapat diterima oleh teman atau lingungannya.

Berbeda dengan siswa SMK yang memiliki regulasi emosi yang rendah, mereka tidak mampu melakukan kegiatan lain yang positif untuk allihkan emosinya. Siswa tersebut akan merasa kesusahan dalam memodulasi respon untuk dapat menghambat perilaku emosinya, ia cenderung lebih suka meluapkan emosinya serta tidak mampu untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang positif, ia tidak akan mempedulikan apakah tindakan yang ia lakukan akan diterima teman atau lingkungannya.

Menurut Makmuroch [18] murid yang telah melakukan regulasi emosi dengan baik, ia akan mampu menahan situasi dan mengubah pikiran atau penilaian mengenai situasi yang dihadapi secara positif. Sehingga ia akan mampu untuk melakukan kegiatan lain yang positif untuk alihkan emosinya sehingga ia akan terbiasa melakukan serta mengubah pikiran negatif menjadi positif.

Akan tetapi jika siswa tidak melakukan regulasi emosi dengan baik maka ia akan tidak akan bisa menahan dan mengubah pikiran atau penilaian mengenai situasi yang dihadapi secara positif. Hal ini membuat ia mengalami kesusahan dalam melakukan kegiatan yang positif untuk mengalihkan emosinya serta siswa akan mengalami kesusahan dalam melakukan serta merubah pikiran negatif menjadi positif.

Kebalikan dari hal itu, jika siswa memiliki regulasi emosi yang rendah maka ia tidak mampu menyembuyikan emosi negatif yang ada pada diri siswa tersebut. Hal ini dikarenakan rasa interpersonal yang dimiliki cenderung rendah yang membuat siswa akhirnya tidak mampu bersikap hati-hati dan susah dalam beradaptasi dan menangani tantangan yang muncul serta tingat pengendalian diri yang rendah membuat ia kesusahan dalam mengelola emosinya untuk mengimpuls yang negatif.

Kekurangan dalam penelitian ini adalah keterbatasan dalam menggali lebih dalam mengenai faktor-faktor yang menyebabkan regulasi emosi misalkan usia, faktor apa saja dari jenis kelamin dalam memberikan daya beda pada hasil regulasi emosi, dan karateristik orang tua dalam mendidik siswa. Lalu adanya kendala pandemi yang berpengaruh terhadap peneliti dalam mengumpulkan siswa di sekolah sehingga peneliti harus memecah penyebaran angket secara bergelombang menurut kelas. Selain itu variabel dalam penelitian ini hanya satu variabel dan hanya mendeskripsikan belum ke tahap menghubungkan variabel regulasi emosi dengan variabel lainnya misalkan dengan sistem pendidikan di sekolah atau bisa juga dengan self disclosure.

Simpulan

Regulasi emosi merupakan bentuk rangkaian proses seseorang sadar atau tidak dalam mengontrol emosi untuk lebih baik. hasil penelitian pada siswa SMK X Surabaya mengenai regulasi emosi didapati penemuan penelitian dan urian-urian pada bab sebelumnya maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut: siswa SMK X Surabaya yang memiliki regulasi sangat tinggi adalah 6 orang dengan presentase 4 %, 116 siswa memiliki regulasi tinggi dengan presentase 76%, 31 siswa memiliki regulasi rendah dengan presentase 20%, dan tidak ada siswa yang memiliki regulasi sangat rendah sehingga presentasenya 0%.

Lima aspek regulasi emosi dalam penelitian yaitu pilihan situasi, perubahan situasi, pemberian perhatian, perubahan kognitif, dan modulasi reaksi yang paling tinggi dimiliki siswa SMK X Surabaya adalah aspek perubahan kognitif sebesar 26% dan yang paling rendah adalah pilihan situasi yang hanya 16%. Berarti mereka lebih mampu untuk mengubah pikiran negatif menjadi pikiran yang lebih positif dan mereka kurang mampu dalam menyatakan perasaan mereka secara terbuka kepada orang di luar mereka.

Tiap aspek dalam regulasi emosi jika dihubungkan dengan jenis kelamin memberikan perbedaan. Aspek regulasi emosi paling tinggi di siswa perempuan adalah pada tiga aspek yaitu aspek perubahan situasi, pemberian perhatian, dan perubahan kognitif. Pada laki-laki aspek paling tinggi adalah pada perubahan kognitif. Selain itu aspek terendah pada siswa perempuan adalah pilihan situasi dan pada laki-laki juga pilihan situasi.

Perbandingan regulasi emosi perkelas dilihat dari peraspeknya dapat disimpulkan bahwa aspek pilihan situasi paling tinggi di kelas X, paling rendah di kelas XI. Aspek perubahan situasi paling tinggi di kelas XII, dan paling rendah di kelas X. Aspek ketiga atau pemberian perhatian paling tinggi ada di kelas X sedangkan paling rendah ada di kelas XII. Aspek keempat atau perubahan kognitif paling tinggi ada di kelas XII dan paling rendah ada di kelas X. Aspek kelima atau modulasi reaksi paling tinggi ada di kelas X, dan paling rendah ada di kelas XII.

References

  1. Jahja, Y. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Kencana, 2011
  2. Santrock, J.W. Life-Span Development Edisi Ketigabelas Jilid 1 (Perkembangan Masa Hidup Edisi Ketigabelas Jilid 1). Jakarta: Erlangga, 2017
  3. K. A. Triana, “Hubungan Antara Orientasi Masa Depan Dengan Prokrastinasi Dalam Menyusun Skripsi Pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Mulawarman Samarinda,” Ejournal.Psikologi.Fisip-Unmul.Ac.Id, vol. 1, no. 3, pp. 164–170, 2013, [Online]. Available: http://ejournal.psikologi.fisip-unmul. Agusta, Y. (2018). Rebutan Pacar, Pelajar SMP di Sidoarjo Duel Maut hingga Tewas. https://www.inews.id/daerah/jatim/rebutan-pacar-pelajar-smp-di-sidoarjo-duel-maut-hingga-tewas, diakses 18 Januari 2021.
  4. Firmansyah, M. J.., & Anwar, A. KPAI: Tawuran Pelajar 2018 Lebih Tinggi Dibanding Tahun Lalu. Diakses tahun 2021, dari www.tempo.co/amo/11258, 2018
  5. Ulumudin, I. Kajian Fenomena Tawuran Pelajar Pendidikan Menengah. Studi Kasus di Kota Depok. Jurnal Ilmiah, Vol. 15, No. 2. 2016
  6. Hurlock, E. B. Psikologi perkembangan sepanjang rentang kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga. 2016
  7. Jalaludin, R. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Bandung : Remaja Rosda Karya. 2009
  8. Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkemangan Anak & Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya. 2002
  9. Gross J.J. Handbook of Emotional Regulation second edition, Newyork. Guilford Press.Hal 207. ISBN 978-1-4625-0350. 2014
  10. Faridh, R. Hubungan Antara Regulasi Emosi dengan Kecenderungan Kenakalan Remaja. Naskah Publikasi. Skripsi, Universitas Islam Yogyakarta. 2008
  11. Surakusumah, W. Konsep Pendidikan Lingkungan di Sekolah : Model Uji Coba Sekolah Berwawasan Lingkungan. Fakultas Pendidikan MIPA Universitas Pendidikan Indonesia. 2010
  12. Syahadat, Y. M. Pelatihan Regulasi Emosi Untuk Menurunkan Perilaku Agresif Pada Anak. Humanitas, X (1), 19-36. 2014
  13. Gross, J.J. Handbook Of Emotion Regulation. New York: The Guilford. 2007
  14. Azwar, S. Metode Penelitian Psikologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar . 2017
  15. Rahayu, H. S. Hubungan Regulasi Emosi terhadap Subjective Well Being pada Remaja dengan Orang Tua Bercerai. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. 2018
  16. Gross J.J. Handbook of Emotional Regulation second edition, Newyork. Guilford Press.Hal 207. ISBN 978-1-4625-0350. 2014
  17. Koole, S. The psychology of emotion regulation: an integrative review. Journal of Cognition and Emotion, 23(1), 4-41. 2009
  18. Makmuroch. Keefektifan Pelatihan Ketrampilan Regulasi Emosi Terhadap Penurunan Tingkat Ekspresi Emosi Pada Caregiver Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Wacana Jurnal Psikologi Vol.6 No.11 Januari 2014. 2014