Abstract

This study aims to determine the relationship between family support and psychological well-being for honorary teachers in Taman District, which means that there are two variables in this study, namely: family support as variable X and psychological well-being as variable Y. This study includes research correlational quantitative. The sample in this study was 100 honorary teachers from 125 honorary teachers as a population in 4 high school and equivalent in Taman sub-district. The sampling technique used in this study was purposive sampling. The data collection technique in this study used 2 scales, namely the family support scale consisting of 34 items with 0.953 reliability and the psychological well-being scale consisting of 33 items with 0.936 reliability. The hypothesis in this study is that there is a positive relationship between family support and the psychological well-being scale for honorary teachers in Taman District. The results of this study indicate that the correlation coefficient is 0.852 with a significance value of 0.000 <0.05. These results indicate that the hypothesis proposed in this study is accepted. While the results of the coefficient of determination test are 0.722 (Adjusted R Square) which shows that the family support variable contributes 72.2% to the psychological well-being variable.

Pendahuluan

Secara umum manusia mengalami perkembangan dan kebutuhan yang berbedah dalam setiap tahapan perkembangan selama kehidupannya, seperti halnya di masa dewasa. Individu dewasa akan mengalami perkembangan intelektualitas dan kebutuhan untuk menigkatkan taraf hidupnya. Hal ini nampak pada banyaknya pejuang pencari lowongan pekerjaan yang di dominasi oleh individu diusia dewasa, salah satulowonga pekerjaan menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PNS. Menurut Surat kabar SINDO pada Kamis, 24 April 2014 menyebutkan bahwa karir sebagai pegawai negeri sipil (PNS) adalah pilihan yang popular di antara anak-anak muda di Indonesia. Selain itu, 15% responden menyatakan sangat ingin menjadi pegawai negeri dalam hidupnya. Survei tersebut dilakukan terhadap penduduk Indonesia yang berusia antara 15 hingga 25 tahun [1]. Menjadi pegawai negeri adalah salah satu jembatan kehidupan menuju taraf hidup yang baik, begitu pula keinginan guru honorer yang berharap dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Guru merupakan pekerjaan yang menduduki posisi kedua terbanyak yang sangat diminati oleh masyarakat Indonesia [1] . Menurut UU no 14 tahun 2005 pasal 14 menjelaskan bahwa “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Selain tugas guru sebagai menyampaikan ilmu di hadapan siswanya, ia juga akan memperoleh haknya. Salah satu hak guru adalah memperoleh pendapatan kebutuhan hidup yang layak (termasuk gaji pokok, dan tunjangan, kesempatan untuk naik pangkat, dan penghargaan) [2].

Secara umum, guru honorer adalah relawan untuk diangkat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) melalui jalur honorer, atau menunggu kesempatan lolos tes sebagai CPNS. Jumlah guru honorer di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan bahwa jumlah guru honorer yang belum diangkat menjadi PNS di Indonesia saat ini berjumlah 736.000. Sedangkan jumlah guru honorer di Sidoarjo menurut data dari Dapodikdasmen berjumlah 2.533 orang. Dengan perhitungan jumlah guru honorer laki-laki 884 orang dan jumlah guru honorer perempuan 1.649 orang. Artinya masih banyak guru honorer yang belum diangkat menjadi PNS. Guru honorer digaji dari anggaran yang bersumber dari BOS dan besarannya tentunya berbedah dengan para guru yang telah PNS. Formasi ini dilihat dari tahun 2000 hingga 2015, angka ini mencapai 860%, sehingga peningkatan jumalah tersebut tidak sebanding dengan tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh guru honorer [2].

Setiap individu termasuk guru honorer akan selalu berkeinginan memiliki hidup bahagia, sehat dan sejahtera secara fisik maupun dalam psikologisnya. Individu di katakan merasa bahagia, sehat dan sejahtera akan lebih produktif dan dapat meningkatkan kualitas hidup lebih baik. Kesejahteraan psikologi sering juga kita sebut dengan istilah psychological well-being. Menurut Ryff & Keyes (1995) mendefinisikan bahwa psychological well-being merupakan kondisi individu yang memiliki sifat positif terhadap dirinya sendiri, orang lain, dan dapat membuat keputusan sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang kompetitif dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup, dan membuat mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan menggembangkan diri [3].

Psychological well-beingmerupakan salah satu faktor yang tidak mungkin diabaikan dalam pertumbuhan pribadi dan sosial pada diri individu. Sehingga ketika individu mampu mengambil keuntungan dari Psychological well-being, mereka dapat mengambil tindakan yang sesuai terhadap masalah-masalah yang mungkin muncul dan memilih solusi yang sesuai dengan masalah tersebut. Psychological well-being berhubungan dengan kepuasan pribadi, keterkaitan, harapan, rasa syukur, stabilitas suasana hati, pemaknaan terhadap diri sendiri, harga diri, kegembiraan, kepuasan dan optimisme, termasuk juga mengenali kekuatan dan mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki [4]. Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa Psychological well-being(psychological well-being) merupakan penilaian diri terhadap sejauh mana individu memiliki kepuasan hidup dalam dirinya, sehingga memiliki sikap yang positif dan ia mampu menjalin hubungan interpersonal yang hangat dengan orang lain yang berada disekitarnya.

Menurut Espinosa et al. (2020) dalam jurnal “Exploring Health And Well-Being In Taiwan: What We Can Learn From Individuals’ Narratives” delapan domain konstituen muncul mengenai kesejahteraan dan kesehatan[5]. Sementara domain yang sama ditemukan untuk kedua konstruksi, perbedaan frekuensi penting ditemukan ketika peserta membahas kesehatan versus kesejahteraan. Kesehatan fisik dan perilaku gaya hidup muncul sebagai domain kunci untuk kesehatan.

Kemudian menurut Dinova (2016) dalam Jurnal Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Psychological Well-Being terhadap Remaja Panti Asuhan. Penelitian ini menjelaskan tentang dukungan sosial yang terdiri atas dukungan emosional, instrumen, informasi serta penghargaan memiliki korelasi dengan psychological well-being pada remaja di Panti Asuhan [6]. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan emosional masih menjadi salah satu yang berperan dalam mencapai psychological well-being, bentuk dukungan ini berupa rasa empati, perhatian dan kepedulian sehingga membuat remaja yang berada di panti asuhan merasakan kenyamanan karena mereka mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang yang berada disana. Dimana peneitian tersebut mengemukakan bahwa ketika seseorang memiliki hubungan yang baik dengan orang-orang disekitarnya atau dengan orang lain individu tersebut dapat dikatakan teah mencapai psychological well-being pada dirinya. Karena meraka merasakan dicintai, mampu bersikap hangat, adanya afeksi dan keintiman yang kuat, sehingga terbentuklah hubungan yang positif dengan orang lain.

Aspek-aspek psychological well-being menurut Ryff & Keyes (1995) sebagai berikut : 1) Penerimaan diri (self acceptance) indikatornya adalah memiliki perilaku positif terhadap diri seperti menerima dan mengakui berbagai aspek diri, termasuk dalam kualitas baik dan buruk, dan perasaan positif dengan kehidupan yang saat ini dijalani[3]. 2) Hubungan positif terhadap orang lain (positive relation with others) indikatornya adalah Mempunyai hubungan yang hangat dan intim dengan orang lain, sehingga dapat dipercaya orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, dan empati. 3) Kemandirian (autonomy) indikatornya menentukan diri dan mandiri, lalu mampu menghadapi tekanan sosial, mengatur tingkah laku sendiri, dan mengevaluasi diri dengan patokan sendiri. 4) Penguasaan lingkungan (environmental mastery) indikatornya adalah memiliki perasaan dalam menguasai dan mampu mengatur lingkungan, mengontrol kegiatan luar yang kompleks, menggunakan secara efektif kesempatan disekitarnya. 5) Tujuan hidup (pupose in life) indikatornya adalah memiliki tujuan hidup dan arah hidup, dan merasakan adanya makna dari dalam hidup pada masa kini dan masa lampau. 6) Pertumbuhan pribadi (personal growth) indikatornya adalah merasakan adanya pengembangan dalam potensi yang berkelanjutan, terbuka pada pengalaman baru, menyadari potensi diri, dan melihat peningkatan dalam diri dan perilaku dari waktu ke waktu.

Penelitian yang dilakukan Ryff & Keyes (1995) menemukan bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya mempengaruhi perkembangan dalam psychological well-being seseorang [3]. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni & Prastiti (2016) juga mengatakan terdapat hubungan anatara dukungan keluarga dengan psychological well-being pada guru honorer[7]. Hasil Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nugraheni & Prastiti (2016) mengenai dukungan dengan psychological well-being terhadap orang dewasa yang sedang bekerja mengatakan bahwa hasil yang didapatkan dari penilitian ini[7]. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini membahas dukungan sosial yang bersumber dari keluarga lebih banyak diterima oleh kaum wanita daripada kaum pria. Selain itu baik pria ataupun wanita menyatakan bahwa ketersediaan dukungan sosial yang lebih tinggi didapatkan mereka dari keluarga dibandingkan dari teman maupun orang terdekat lainnya.

Dukungan keluarga berasal dari orang-orang di sekitar individu, seperti keluarga, teman dekat dan rekan atau teman sebaya. Dukungan keluarga ialah dukungan yang dapat membantu meningkatkan kualitas hidup terutama bagi guru honorer, yang dimana meliputi adanya komponen-komponen dari dukungan itu sendiri, seperti kerekatan emosional, integerasi sosial, adanya pengakuan, ketergantungan yang dapat di andalkan, bimbingan dan kesempatan untuk mengasuh[8]. Manfaat adanya dukungan keluarga yang diberikan menurut Johnson & Johnson (1991) dapat meningatkan produktivitas, meningkatkan kesejahteraan psikologis, menambah harga diri, dan mengurangi stress[9].

Menurut Rook dan Dooley sumber dukungan keluarga terdiri dari dua aspek, yaitu : sumber natural dan sumber artifisial[10]. Sumber natural berasal dari interaksi sosial dari kehidupan sehari-hari dengan orang yang ada di sekitarnya seperti suami/istri, anak, dan kerabat. Sedamgkan sumber artifisial merupakan dukungan yang dirancang dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan keluarga karena suatu musibah yang telah terjadi kepada seseorang tersebut melalui sumbangan yang diberikan oleh kerabat.

Menurut Nugraheni & Prastiti (2016)[7] dalam jurnal Hubungan Antara Dukungan keluarga Dengan Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Daerah. Terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan psychological well-being. pada guru honorer daerah. Semakin tinggi dukungan sosial yang dimiliki seorang guru honorer, maka semakin tinggi pula psychological well-being. yang dimiliki, demikian pulasebaliknya semakin rendah dukungan sosial yang dimiliki guru honorer, maka semakin rendah psychological well-being. yang telah dimiliki. Menurut Espinosa et al. (2020) dalam jurnal “Exploring Health And Well-Being In Taiwan: What We Can Learn From Individuals’ Narratives” delapan domain konstituen muncul mengenai kesejahteraan dan kesehatan[5]. Sementara domain yang sama ditemukan untuk kedua konstruksi, perbedaan frekuensi penting ditemukan ketika peserta membahas kesehatan versus kesejahteraan. Kesehatan fisik dan perilaku gaya hidup muncul sebagai domain kunci untuk kesehatan. Keluarga tampaknya menjadi elemen landasan dari kesejahteraan dalam sampel ini, dengan peserta sering menggambarkan kesejahteraan pribadi mereka terkait erat dengan keluarga mereka. Wilayah-wilayah lain termasuk kehidupan kerja, rasa diri, ketahanan, dan agama atau spiritualitas. Kesimpulannya, kesehatan dan kesejahteraan adalah konstruksi yang kompleks dan beragam, dengan peserta membahas domain konstituen mereka dengan cara yang sangat saling berhubungan. Kemudian menurut Setiawan dalam jurnal Psychological Well-Being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang[1]. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar atau 61,2 % (41orang) menyatakan dirinya memiliki psychological well-being pada kategori sedang. Sedangkan yang termasuk dalam kriteria tinggi hanya sebesar 7,5 % (5 orang), dan kriteria rendah sebesar 31,3 % (21 orang). Dari enam dimensi psychological well-being yang diteliti, yaitu dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi berada pada kategori yang sedang. Dapat diketahui gambaran secara umum di Kecamatan Wonotunggal bahwa guru honorer Sekolah Dasar berada pada kategori sedang. Artinya dengan gaji yang rendah dimungkinkan psychological well-being terhadap guru honorer sekolah dasar di kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang menjadi rendah.

Menurut Van Horn et al (2004) dalam jurnal The Structure Of Occupational WellBeing: A Study Among Dutch Teachers. Journal Of Occupational And Organizational Psychology, penelitian ini menjelaskan bagaimana kesejahteraan kerja dapat ditafsirkan sebagai fenomena multidimensi, penelitian ini mengungkapkan bahwa kesejahteraan afektif adalah aspek paling utama dari kesejahteraan kerja[11]. Selanjutnya menurut Ryff & Keyes (1995) dalam jurnal The Structure Of Psychological Well-Being Revisited Journal Of Personality And Social Psychologyhasilnya mengungkapkan bahwa hubungan positif dengan orang lain, otonomi, tujuan dalam kehidupan, dan pertumbuhan pribadi tidak terkait dengan indeks penilaian sebelumnya, dengan demikian penelitian ini mendukung klaim bahwa aspek-aspek kunci dari fungsi positif belum terwakili dalam arena empiris[3]. Selain itu, profil usia mengungkapkan pola kesejahteraan yang lebih berbeda daripada yang dibuktikan dalam penelitian sebelumnya. Kemudian menurut Dinova (2016) dalam Jurnal Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Psychological Well-Being terhadap Remaja Panti Asuhan[6]. Penelitian ini menjelaskan tentang dukungan sosial yang terdiri atas dukungan emosional, instrumen, informasi serta penghargaan memiliki korelasi dengan psychological well-being pada remaja di Panti Asuhan. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan emosional masih menjadi salah satu yang berperan dalam mencapai psychological well-being, bentuk dukungan ini berupa rasa empati, perhatian dan kepedulian sehingga membuat remaja yang berada di pa nti asuhan merasakan kenyamanan karena mereka mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang yang berada disana. Dimana peneitian tersebut menjeaskan bahwa ketika seseorang memiliki hubungan yang baik dengan orang-orang disekitarnya atau dengan orang lain individu tersebut dapat dikatakan teah mencapai psychological well-being pada dirinya. Karena meraka merasakan dicintai, mampu bersikap hangat, adanya afeksi dan keintiman yang kuat, sehingga terbentuklah hubungan yang positif dengan orang lain.

Menurut Jhonson dan Jhonson (Saputri & Indrawati, 2011) dukungan sosial merupakan keberadaan orang lain yang dapat di andalkan untuk memberi bantuan, semangat, penerimaan dan perhatian sehinga bisa meningkatkan kesejahteraan hidup bagi individu yang bersangkutan[12]. Dengan adanya dukungan sosial yang telah di berikan akan berdampak pada individu membuatnya lebih tenang, diperhatikan, dicintai, meningkatkan kesejahteraan hidupnya, timbul rasa percaya diri dan melindungi individu terhadap konsekuensi dalam keadaan emosional yaitu stres yang akan di dapatkannya. Sumber dukungan sosial bisa didapatkan dari berbagai sumber dan sumber tersebut akan berubah sepanjang perkembangan kehidupan mereka. Dukungan sosial yang di terima oleh guru honorer dari keluarga merupakan bentuk dukungan sosial keluarga yang diterima individu dari orang-orang tertentu yang terikat dalam hubungan pernikahan di lingkungan sosial keluarga dalam bentuk materi maupun non materi, sehingga individu merasa diperhatikan, dicintai, dan dihargai [13].

Berdasarkan kajian teori diatas, rumusan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara dukungan keluarga dengan psychological well-being pada guru honorer Kecamatan Taman. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah, yaitu untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan psychological well-being pada guru honorer di Kecamatan Taman. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Ada hubungan positif antara dukungan keluarga dengan psychological well-being pada guru honorer´artinya adalah Semakin tinggi dukungan keluarga yang diperoleh, semakin tinggi juga psychological well-beingnya. Sebaliknya, jika semakin rendah dukungan keluarga yang diperoleh, maka semakin rendah pula psychological well-beingnya.

Tema penelitian dukungan keluarga dengan psychological well-being pada guru honorer Kecamatan Taman diambil selain dilatar belakangi adanya kajian teori sebagaimana yang telah diuaraikan diatas juga didasarkan pada hasil wawancara sebagai studi awal peneliti terhadap 3 guru honore. dan hasilnya adalah ketiga subyek mengalami masalah dalam aspek grow di SWB, tepatnya adalah masalah dalam beradaptasi dengan tuntutan keluarga/orangtuanya secara vinansial.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif korelasional, karena peneliti ini ingin membuktikan hubungan antar variabel X dan Y. Metode penelitian korelasional merupakan suatu hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antar variabel. Tujuan dari penelitian korelasional adalah untuk melihat sejauh mana variasi dari satu variabel yang berkaitan dengan variabel lain berdasarkan koefisien korelasi. [14]. Dua variable dalam penelirian ini adalah dukungan keluarga sebagai variable X dan psychological well-beingsebagai variable Y.

Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan skala psikologi. Azwar (2012) memberikan penjelasan bahwa skala adalah perangkat pertanyaan yang disusun dan digunakan untuk mengungkapkan atribut telah ditentukan melalui respon pada pertanyaan tersebut[15]. Skala psikologi dalam penelitian ini menggunakan modifikasi dari skala Likert. Skala Likert adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan distribusi respon subyek terhadap serangkaian pertanyaan. Skala tentang dukungan sosial keluarga dengan psychological well-being disusun atas dasar 4 alternatif dengan nilai jawaban yakni “ sangat setuju (SS)”, “setuju (S)”, “tidak setuju (TS)” dan “sangat tidak setuju (STS)”. Pernyataan item tersebut bersifat favorable dan unfavorable. Pernyataan favourable merupakan pernyataan yang menunjukkan sikap setuju, perasaan puas, tingkatan tinggi dan sebagainya. Kemudian pernyataan unfavorable merupakan pernyataan yang menunjukkn sikap yang tidak setuju. Selanjutkan akan diujikan secara statisktik disemua aitemnya, validitas skala dukungan keluarga diperoleh 36 aitem yang valid dari 36 aitem dengan skor korelasi aitem bergerak dari 0,420 sampai dengan 0,717 dan skor reliabilitas 0,953. Sedangkan pada validitas skala psychological well-being diperoleh 33 aitem yang valaid dari 33 aitem dengan skor korelasi aitem bergerak dari 0,424 sampai dengan 0,756 dan skor reliabilitas 0,936.

Selanjunya peneliti melakukan serangkaian uji normalitas dan linieritas sebelum melakukan uji hipotesa, dan hasilnya adalah: 1) uji normalitas:diketahui nilai normalitas dukungan keluarga dengan signifikansi nilai 0,061>0,05 yang artinya bahwa data tersebut berdistribusi normal, sedangkan nilai signifikansi hasil uji normalitas psychological well-being sebesar 0,134>0,05 yang artinya data tersebut berdistriusi normal; 2) uji linieritas: diketahui bahwa nilai F sebesar 1,346>0,05 maka dapat disimpulkam bahwa antara dua variabel tersebut linier;. 3) uji hipotesa : diketahui hasil koefisien korelasi 0,852 signifikansi 0,000<0,05 maka Ha diterima, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif antara dukungan keluarga dengan psychological well-being yang siknifikan.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Uji normalitas merupakan pengujian yang bertujuan untuk mengetahui normal atau tidaknya pada sebaran skor yang ada pada dukungan keluarga dan psychology well-being. Menurut Widhiarso (2012) uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah variabel independen dan dependennya berditsribusi normal atau tidak. Hal tersebut sangat penting untuk dipenuhi karena dapat menjamin tanggung jawab atas langkah-langkah statistik selanjutnya. Uji normalitas yang digunakan melalui program SPSS 16.0 ialah uji Kolmogrov-smirnov dengan asumsi :Apabila nilai probabilitas (sig) > 0,05, maka data terdistribusi normal, apabila nilai probabilitas (sig) < 0,05, maka data tidak teridistribusi normal.

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
DUKUNGAN SOSIAL PSYCOLOGICAL WELL-BEING
N 100 100
Normal Parametersa Mean 114.6800 111.3100
Std. Deviation 10.60863 10.13614
Most Extreme Differences Absolute .132 .116
Positive .074 .066
Negative -.132 -.116
Kolmogorov-Smirnov Z 1.320 1.162
Asymp. Sig. (2-tailed) .061 .134
a. Test distribution is Normal.
Table 1.Hasil Uji Normalitas

Hasil dari data tabel yang di atas di ketahui nilai normalitas dukungan sosial dengan signifikansi nilai 0,061 > 0,05 yang artinya bahwa data tersebut berdistribusi normal. Nilai signifikansi hasil uji normalitas psychological well-being sebesar 0,134 > 0,05 yang artinya data tersebut berdistribusi normal. Hasil kesimpulan bahwa variabel dalam penelitian ini berdistribusi normal.

Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui data itu linier atau tidak dari kedua variabel tersebut. Dalam uji linieritas, pedoman yang dipakai ketika mengambil keputusan dalam penelitian yaitu dengan melihat hasil signifikansi pada kolom “Deviniation fromlinearity”Apabila nilaisignifikansi<0,05 makadistribusi data dikatakanlinier. Apabila nilaisignifikansi>0,05 makadistribusi data dikatakan tidak linier.

ANOVA Table
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
PSYCOLOGICAL_WELLBEING * DUKUNGAN_SOSIAL Between Groups (Combined) 8571.473 36 238.096 9.376 .000
Linearity 7375.206 1 7375.206 290.414 .000
Deviation from Linearity 1196.267 35 34.179 1.346 .151
Within Groups 1599.917 63 25.396
Total 10171.390 99
Table 2.Hasil Uji Linieritas

Hasil dari tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai F sebesar 1.346 > 0,05 dengan signifikasi 0,151 > 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa antara dua variabel tersebut linier. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara dukungan keluarga dengan psikological well being. Teknik statistik merupakan teknik untuk menguji hipotesis dengan bantuan program SPSS 16.0 for windows. Adapun hasil uji korelasi antar variabel dilihat dari tabel berikut :

Correlations
Dukungan Sosial Psycological Wellbeing
DUKUNGAN_SOSIAL Pearson Correlation 1 .852**
Sig. (2-tailed) .000
N 100 100
PSYCOLOGICAL_WELLBEING Pearson Correlation .852** 1
Sig. (2-tailed) .000
N 100 100
Table 3.Hasil Uji Korelasi

Hasil dari tabel diatas di ketahui bahwa hasil koefisien korelasi 0,852 signifikasi 0,000 < 0,05 maka Ha diterima. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara dukungan keluarga dengan psychological well-being yang signifikan. Artinya bahwa jika dukungan keluarga tinggi dan maka psychological well-being tinggi dan sebaliknya dukungan keluarga rendah maka psychological well-being rendah.

Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Change Statistics
R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change
1 .852a .725 .722 5.34158 .725 258.484 1 98 .000
a. Predictors: (Constant), DUKUNGAN_SOSIAL
Table 4.Hasil Uji Determinasi

Uji koefesien Determinasi digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel dukungan keluarga terhadap psychological well-being. Hasil tabel diatas terdapat nilai 0,722 adjusted R Square yang artinya variabel dukungan keluarga memberikan pengaruh terhadap psychological well being sebesar 72,2% sisanya dipengaruhi faktor lain.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian diatas, menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara dukungan keluarga dengan psychological well-being pada guru honorer di Kecamatan Taman. Dengan hasil koefisien korelasi 0,852 dengan nilai signifikasi 0,000 < 0,05 yang berarti hipotesis diterima. Hasil ini mengetahui bahwa semakin tinggi dukungan keluarga maka semakin tinggi psychological well-being dan sebaliknya semakin rendah dukungan keluarga maka semakin rendah psychological well-being. Hasil skor nilai adjusted R Square sebesar 0,722 yang artinya sumbangsih dukungan keluarga terhadap psychological well-being sebesar 72,2%, sedangkan sisanya 27.8% dipengaruhi oleh variabel lain.

Hasil penelitian lainnya yang di lakukan oleh Yasin dan Zulkifli (2010), yang meneliti tentang dukungan sosial dan problem psikologis pada mahasiswa yang menunjukkan hubungan negatif antara dukungan sosial dengan problem psikologis, yang berarti bahwa semakin tinggi dukungan sosial maka semakin rendah problem psikologisnya [6]. Sehingga pabila dikaitkan dengan psychological well-being maka semakin mudah individu tersebut memperoleh psychological well-beingnya dikarenakan problem psikologis yang dirasakannya semakin rendah. Penelitian lain yang dilakukan oleh Fadli (dalam Hardjo & Novita, 2015) tentang dukungan sosial dengan psychological well-being pada mahasiswa menemukan bahwa terdapat hasil yang positif antara dukungan keluarga dengan psychological well-being, yang berarti bahwa semakin mahasiswa mendapatkan dukungan keluarga maka semakin mudah mahasiswa tersebut memperoleh psychological well-beingnnya.

Menurut Rook & Dooley menyatakan bahwa dukungan keluarga merupakan salah satu dari fungsi ikatan sosial dan ikatan-ikatan sosial tersebut menggambarkan tingkat kualitas umum dari hubungan interpersonal[6]. Melalui dukungan keluarga, di harapkan mampu untuk bangkit dari keterpurukan atau pengakuan, hubungan dapat diandalkan, bimbingan, kemungkinan untuk dibantu, kesempatan untuk mengasu. Sebuah dukungan yang dapat diberikan oleh keluarga dapat berupa support sistem bagi guru honorer yang sekiranya mengalami kendala perihal keadaan emosional dan sosial yang tidak sesuai harapan.

Menurut Sarafino (dalam Paramhita, 2018) dukungan keluarga mempunyai empat aspek seperti halnya aspek dalam dukungan sosial yaitu, 1) dukungan keluarga dalam bentuk emosional, yang berupa penghargaan, dukungan berupa instrumental dan dukungan informasional.

Pada aspek dukungan emosional. Dorongan ini di nyatakan dalam bentuk dukungan secara emosional, yakni pemebrian kasih sayang, perhatian dan penghargaan berupa motivasi untuk selalu menciptakan pikiran yang positif, sehingga akal dan intuisi akan senantiasa membangun imajinasi yang mengandung sebuah kebahagiaan. Aspek dukungan emosional yang tinggi dibuktikan dengan perilaku guru honorer yang mengerjakan sesuatu dengan penuh rasa bertanggung jawab tanpa adanya sebuah beban yang menghalangi guru honorer mengeksplorasi keahliannya mengajar peserta didik. Sedangkan ketika aspek ini rendah maka ditunjukkan dengan perilaku guru honorer merasa kurang di perhatikan sehingga menyebabkan guru honorer tersebut masih terbawa dengan kondisi kesibukannya dan merasa dirinya stress atas tugas yang di emban. Jadi jika guru honoprer mendapatkan dukungan emosional yang tinggi dari keluarga akan dapat mempengaruhi psychological well-being yang positif, terutama dalam aspek penerimaan diri dan keyakinan memiliki tujuan hidup.

Aspek dukungan penghargaan tinggi ditunjukkan dengan perilaku guru honorer yang mampu mengembangkan potensi dirinya sehingga berhasil membuat pencapaian seperti suatu karya seni ataupun keterampilan dikarenakan mendapatkan dorongan untuk maju terutama dari keluarga. sebaliknya jika dukungan keluarga rendah di tunjukkan dengan perilaku guru honorer yang susah mengembangkan potensi dirinya meskipun guru honorer tersebut mempunyai ide untuk terampil. Jadi jika guru honorer mendapatkan dukungan penghargaan tinggi akan dapat mempengaruhi psychological well-being yang positif, terutama dalam aspek pertumbuhan pribadi.

Pada aspek dukungan instrumental. Mencakup bantuan langsung seperti, memberikan pinjaman uang atau dengan menolong dan melakukan suatu pekerjaan guna membantu tugas-tugas indidvidu. Aspek dukungan instrumental tinggi di tunjukkan dengan perilaku guru honorer yang bahagia disaat ada masalah atau kesulitan dikarenakan dapat mengurangi beban yang ada pada diri guru honorer. Sedangkan ketika aspek ini rendah maka di tunjukkan dengan perilaku guru honorer yang mudah marah di karenakan stres yang di dapat dari masalah tersebut. jadi jika guru honorer mendapatkan dukungan instrumental tinggi akan mendapatkan psychological well-beingnya, terutama dalam aspek penguasaan lingkungan.

Pada aspek dukungan informasional. Mencakup bantuan yang memberikan informasi, nasehat, sugesti ataupun umpan balik mengenai apa yang sebaiknya di lakukan oleh orang lain yang membutuhkan. Aspek dukungan informasi tinggi ditunjukkan dengan perilaku guru honorer yang mampu menerima keadaan pada saat ini dengan ikhlas dikarenakan banyak motivasi yang datang pada guru honorer tersebut. Sedangkan ketika aspek ini rendah ditunjukkan ketika perilaku guru honorer yang sering merenung, melamun atas masalah yang sedang di hadapai dengan menganggap tidak adanya dukungan dari orang lain terutama keluarga dan merasa sendiri.Sehingga ketika guru honorer mendapatkan dukungan informasi yang tinggi maka guru honorer akan mendapatkan psychological well-beingnya, terutama dalam aspek penerimaan diri dan otonomi.

Psychological well-being merupakan istilah untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (positive psychological functioning) [3]. Menurut Stern (dalam Setiawan, 2014) konsep psychological well-being merupakan konsep yang secara kontemporer banyak dikembangkan dari konsep utamanya yakni “Well-Being”. Sehingga secara umum, psychological well-being digunakan sebagai hasil studi penelitian secara empiris. Sehingga temuan ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Siu dan Philips yang meneliti tentang dukungan keluarga dan teman dengan psychological well-being pada wanita lanjut usia di Hongkong pada tahun 1999, menemukan adanya dukungan sosial dari keluarga dan teman berkorelasi positif dengan psychological well-being pada wanita lanjut usia [6].

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis diatas, maka diperoleh kesimpulan bahwa hubungan positif antara dukungan keluarga dengan psychological well-being pada guru honorer di Kecamatan Taman dengan hasil koefesien 0,852 dengan nilai signifikansi p = 0,000 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian diterima yang artinya semakin tinggi dukungan keluarga maka semakin tinggi psychological well-beingnya dan sebaliknya semakin rendah dukungan keluarga maka semakin rendah pula psychological well-beingnya. Nilai koefesien determinasi sebesar 72,2% sisanya 27,8% dengan demikian guru honorer di Kecamatan Taman lebih besar dipengaruhi oleh variabel dukungan keluarga dibandingkan oleh variabel lain.

References

  1. H. Setiawan, “Psychological well-being pada guru honorer sekolah dasar di kecamatan wonotunggal kabupaten Batang.” Universitas Negeri Semarang, 2014.
  2. L. C. Yonandar, “KECEMASAN PADA GURU HONORER DITINJAU DARI DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA.” UNIKA SOEGIJAPRANATA SEMARANG, 2018.
  3. C. D. Ryff and C. L. M. Keyes, “The structure of psychological well-being revisited.,” J. Pers. Soc. Psychol., vol. 69, no. 4, p. 719, 1995.
  4. D. Bartram and I. Boniwell, “The science of happiness: achieving sustained psychological wellbeing,” In Pract., vol. 29, no. 8, pp. 478–482, 2007.
  5. P. R. Espinosa et al., “Exploring health and well-being in Taiwan: what we can learn from individuals’ narratives,” BMC Public Health, vol. 20, no. 1, pp. 1–16, 2020.
  6. A. K. Dinova, “Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Psychological Well-Being Pada Remaja Panti Asuhan.” University of Muhammadiyah Malang, 2016.
  7. A. S. Nugraheni and W. D. Prastiti, “Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Psychological Well Being pada Guru Honorer Daerah.” Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2016.
  8. S. Azwar, Penyusunan skala psikologi 2nd ed. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2015.
  9. N. K. Pangastiti and M. RAHARDJO, “Analisis Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Burnout Pada Perawat Kesehatan Di Rumah Sakit Jiwa (studi pada RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang).” Universitas Diponegoro, 2011.
  10. E. A. Sosiawan, “Penggunaan situs jejaring sosial sebagai media interaksi dan komunikasi di kalangan mahasiswa,” J. Ilmu Komun., vol. 9, no. 1, pp. 60–75, 2020.
  11. J. E. Van Horn, T. W. Taris, W. B. Schaufeli, and P. J. G. Schreurs, “The structure of occupational well‐being: A study among Dutch teachers,” J. Occup. Organ. Psychol., vol. 77, no. 3, pp. 365–375, 2004.
  12. M. A. W. Saputri and E. S. Indrawati, “Hubungan antara dukungan sosial dengan depresi pada lanjut usia yang tinggal di panti wreda wening wardoyo Jawa Tengah,” J. Psikol., vol. 9, no. 1, 2011.
  13. J. Purba, A. Yulianto, E. Widyanti, D. Esa, and M. Esa, “Pengaruh dukungan sosial terhadap burnout pada guru,” J. Psikol., vol. 5, no. 1, pp. 77–87, 2007.
  14. Sugiyono, METODE PENELITIAN Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2015.