Abstract

Schizophrenia is one of the most common mental disorders and is increasing every year. One common type of schizophrenia is paranoid schizophrenia. Usually, a positive symptom that often appears in paranoid schizophrenia is auditory hallucinations. Furthermore, paranoid schizophrenia residual type is an end stage of schizophrenia disorder where the individual does not have positive symptoms but still experiences some negative symptoms. The method used in this research is qualitative namely case studies. This case study aims to describe the assessment, diagnosis, and psychological dynamics of individuals who have residual paranoid type schizophrenia. Participant is one person selected using purposive sampling. Data mining is done by conducting interviews, observations, and psychological tests. Interviews were conducted both to the subject and significant others. Observation and psychological tests conducted on the subject. Psychological tests provided include intelligence and personality tests. The results obtained that AS does not have positive symptoms. However, negative symptoms that are still felt are subject who has confusion, has difficulty in controlling emotions and does not want to work. In addition, the psychological dynamic of AS is he has experienced many traumatic events in his life, including: death from his family, repeated fraud, not getting appreciation from the environment and he who felt that his role as head of the family could not function properly.

Introduction

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan mental yang paling sering terjadi dan selalu mengalami peningkatan di setiap tahunnya. WHO (World Health Organization) mencatat bahwa sekitar 23 juta orang di dunia mengalami skizofrenia (Makki, 2018). Secara lebih spesifik, data dari Kementrian Kesehatan mengungkapkan bahwa 7 dari 1000 rumah tangga di Indonesia memiliki anggota dengan gangguan skizofrenia. Angka ini melonjak tiga kali lipat dibandingkan lima tahun lalu (Adzkia, 2019).

Skizofrenia secara harafiah berarti “pikiran terbelah”. Skizofrenia merupakan salah satu gangguan psikotik yang menyebabkan gangguan mental yang parah, baik dari kognitif, afek, maupun perilaku (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Terdapat penelitian yang menjelaskan bahwa skizofrenia dikaitkan dengan gangguan dari banyak fungsi kognitif, termasuk perhatian, memori, kecepatan kinerja, fungsi eksekutif, maupun fungsi sosial (Dorofeikova, Neznanov, & Petrova, 2018).

Onset gangguan skizofrenia yang khas biasanya terjadi pada individu dengan usia antara 20 dan 39 tahun. Akan tetapi, onset tersebut juga dapat terjadi sebelum pubertas atau ditunda sampai usia 70 atau bahkan 80 tahun. Usia puncak onset adalah 20-28 tahun untuk pria dan 26-32 tahun untuk wanita (Stevan, Travis, & Murray, 2002). Terdapat tiga gejala umum pada individu dengan skizofrenia yakni gejala positif, gejala negatif, dan gejala tidak terorganisir (Stevan, Travis, & Murray, 2002; Levine & Levine, 2007; Veague, 2007). Secara lebih spesifik akan dijelaskan sebagai berikut:

  1. Gejala positif

Gejala positif menandakan perilaku yang seharusnya tidak ada, termasuk :

  1. Halusinasi

Halusinasi terjadi ketika seseorang mendengar, melihat, mencium, dan/atau merasakan hal-hal yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi dalam skizofrenia mungkin melibatkan salah satu modalitas sensoris. Halusinasi yang paling umum terjadi adalah halusinasi pendengaran dalam bentuk suara, yang terjadi pada 60-70% individu yang didiagnosis dengan skizofrenia. Beberapa suara terkadang memerintahkan individu untuk menyakiti dirinya sendiri dan/atau orang lain. Halusinasi visual juga kerap terjadi pada sekitar 10% individu dengan skizofrenia.

  1. Delusi

Delusi merupakan keyakinan pribadi yang tetap dan salah dan masih dipercaya walaupun semua bukti bertentangan. Delusi menyebabkan individu percaya bahwa orang-orang membaca pikiran mereka atau berkomplot melawan mereka, bahwa orang lain secara diam-diam memantau dan mengancam mereka, atau bahwa mereka dapat mengendalikan pikiran orang lain (Stevan, Travis, & Murray, 2002; Levine & Levine, 2007; Veague, 2007).

  1. Gejala negatif

Gejala negatif mencerminkan kurangnya sesuatu yang harus ada, misalnya perilaku yang dianggap normal tidak ada atau berkurang (Levine & Levine, 2007). Terdapat beberapa gejala negatif, antara lain:

  1. Kemiskinan berbicara, yakni pembatasan dalam jumlah pembicaraan yang spontan serta informasi yang terkandung dalam pembicaraan tersebut.
  2. Afek tumpul, yang berarti bahwa seseorang menunjukkan emosi yang tidak sesuai dengan situasi ataupun tampak tidak memiliki emosi. Mereka juga mungkin jauh lebih lambat dalam merespons daripada kebanyakan orang lain. Misalnya, seseorang dengan afek tumpul mungkin tidak menertawakan lelucon yang menurut kebanyakan orang lucu.
  3. Asosial, termasuk ketidakmampuan untuk mengikuti kegiatan, berkurangnya kesenangan dan minat dalam hidup dan/atau terjadi penarikan sosial. Mereka juga mungkin tidak dapat menikmati hal-hal yang dinikmati sebagian besar orang ataupun kegiatan yang pernah membawa kesanangan bagi mereka.
  4. Apati, yakni adanya penurunan dorongan, energi, serta kesenangan. Individu dengan skizofrenia juga mungkin memiliki sedikit energi sehingga dia tidak dapat melakukan apa pun selain tidur atau makan
  5. Penurunan fokus perhatian. Skizofrenia juga dikaitkan dengan perubahan kognisi. Orang dengan skizofrenia mungkin memiliki masalah dalam mempelajari hal-hal baru, mengingat hal-hal yang pernah mereka ketahui, menggunakan keterampilan yang pernah mereka miliki hingga merasa sulit untuk merencanakan masa depan. Banyak pula individu dengan skizofrenia yang memiliki masalah untuk memusatkan perhatian mereka pada periode waktu yang singkat.
  1. Gejala Tidak Terorganisir

Gejala yang tidak terorganisir termasuk pemikiran, ucapan, dan perilaku yang aneh dan membingungkan. Gejala yang tidak terorganisir seringkali disebut sebagai thought disorder atau gangguan isi pemikiran sehingga berdampak pada pembicaraan yang tidak koheren dan/atau tidak mengikuti urutan logis. Gejala ini termasuk pembatasan dalam jumlah pembicaraan yang spontan serta informasi yang terkandung dalam pembicaraan tersebut. Terdapat pula gejala dimana individu berpindah ke pembicaraan lain yang tidak memiliki hubungan dengan pembicaraan sebelumnya. Beberapa individu mungkin menemukan neologisme (kata-kata baru), menunjukkan stereotip verbal (pengulangan kata atau frase tunggal di luar konteks), dan/atau menggunakan metonim (kata-kata biasa yang diberikan makna pribadi khusus) (Stevan, Travis, & Murray, 2002; Levine & Levine, 2007; Veague, 2007).

Vague (2007) menjelaskan bahwa terdapat empat subtipe skizofrenia, yakni : (a) paranoid, (b) disorganisasi, (c) katakonik, dan (d) tipe tak terdiferensiasi. Secara lebih spesifik, asesor hanya menjelaskan mengenai subtipe yang dimiliki oleh subjek yaitu skizofrenia tipe paranoid. Penelitian menjelaskan bahwa individu dengan tipe paranoid biasanya tampak paling normal dibandingkan dengan tipe lainnya. Mereka mampu menjaga diri mereka sendiri dan perilaku serta penampilan fisik mereka tetap tidak berubah.

Individu dengan skizofrenia jenis ini juga mampu untuk memiliki hubungan intim dengan orang lain, menikah, serta memiliki anak. Gejala utama yang dirasakan adalah delusi dan/atau halusinasi terutama halusinasi auditori. Mereka tidak mengalami gejala negatif dimana mereka jarang kehilangan kemampuan untuk berbicara dengan jelas. Jenis skizofrenia ini umumnya berkembang lebih lambat dibandingkan bentuk skizofrenia lain dan merespon dengan baik terhadap obat-obatan yang diberikan oleh psikiater.

Selain itu, terdapat tiga tahap individu mengalami skizofrenia. Tahap pertama merupakan prodromal stage. Tahap ini mengacu pada gejala awal yang muncul sebelum karakteristik gangugan schizophrenia muncul. Individu di tahap prodromal seringkali mengisolasi diri, prestasi akademik menurun, kehilangan semangat untuk bekerja, ataupun adanya afek tumpul. Psikiater tidak dapat memberikan diagnosa skizofrenia hingga tahap akut dimana gejala psikotik mulai muncul. Hal ini dikarenakan individu tersebut bisa saja mengalami gangguan lain selain skizofrenia. Tahap kedua merupakan acute stage, dimana individu mulai menampilkan gejala psikotik seperti halusinasi, delusi, serta pembicaraan dan perilaku kacau.

Individu dengan tahap aktif skizofrenia sering membutuhkan obat antipsikotik untuk meringankan gejala mereka. Tahap akhir dari gangguan skizofrenia disebut residual stage. Individu pada tahap ini tidak memunculkan gejala psikotik, namun kemungkinan masih mengalami beberapa gejala negatif, seperti kurangnya ekspresi emosi serta energi yang rendah. Walaupun pada tahap ini mereka tidak lagi mengalami delusi dan/atau halusinasi, mereka dapat terus memiliki keyakinan yang salah. Misalnya, A mungkin masih percaya bahwa rekan kerjanya tidak menyukainya, walaupun dia sudah tidak percaya bahwa mereka menyiarkan keburukannya di radio/TV (Stevan, Travis, & Murray, 2002; Veague, 2007).

Berdasarkan penjabaran yang telah dijelaskan di atas, klien AS mengalami skizofrenia paranoid tipe residual. Hal ini dikarenakan gejala positif subjek sudah jarang sekali muncul dan saat ini subjek hanya mengalami gejala negatif. Keluhan yang masih dirasakan oleh Istri subjek adalah subjek seringkali marah-marah bahkan karena masalah kecil sekalipun. Ketika subjek kesal dan/atau marah, biasanya subjek akan melampiaskan kemarahannya dengan cara berteriak. Beberapa kali subjek juga membanting pintu dan melempar barang. Selain itu, subjek juga seringkali tampak kebingungan dan tidak memiliki motivasi untuk kembali bekerja. Kegiatan yang dilakukannya setiap hari hanyalah duduk di teras rumah dan merokok setiap harinya.

Berdasarkan hal inilah akhirnya yang melatarbelakangi asesor untuk memaparkan lebih lanjut mengenai hasil asesmen, diagnosis, serta dinamika psikologis yang mendasari subjek mengalami gangguan skizofrenia.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yakni studi kasus. Jumlah partisipan dalam penelitian ini hanya terdapat satu orang. Partisipan dipilih dengan menggunakan teknik non probability sampling, yakni metode purposive sampling. Pada metode ini terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi antara lain: (a) mengalami gangguan skizofrenia, (b) berada dalam wilayah Puskesmas X, serta (c) masih mengonsumsi obat dan kontrol ke Psikiater hingga saat ini.

Pada penelitian ini, asesor berusaha memaparkan asesmen, diagnosis, serta dinamika psikologis individu yang mengalami gangguan skizofrenia paranoid tipe residual. Asesmen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : (1) wawancara mengenai latar belakang subjek, (2) observasi mengenai gambaran perilaku subjek, (3) tes grafis (BAUM, DAP, dan HTP) untuk mengetahui dorongan serta bagaimana subjek memandang diri dan lingkungannya, (4) tes inteligensi menggunakan standard Progressive Matrices (SPM) untuk mengetahui kapasitas inteligensi subjek, serta Thematic Apperception Test (TAT) untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan yang ada pada diri subjek serta mekanisme pertahanan diri subjek.

Selain melakukan pemeriksaan pada subjek penelitian, penggalian data juga dilakukan pada significant others sehingga data menjadi lebih kaya dan valid. Penggalian data dilakukan pada istri subjek, tetangga subjek, serta anak kedua subjek. Teknik penggalian data yang dilakukan dengan menggunakan wawancara semi-terstruktur. Terdapat pedoman namun tidak menutup kemungkinan untuk melakukan probing pada jawaban significant other.

Results

Status Praesen

Subjek merupakan seorang laki-laki dengan perawakan tubuh yang cukup ideal yakni tinggi badan 165 cm dan berat badan 65 kg. Subjek memiliki bibir yang cukup menghitam dan hanya memiliki tiga gigi di bagian atas serta satu gigi di bagian bawah yang menguning. Kesan pertama yang dirasakan oleh asesor adalah subjek yang terkesan kaku. Akan tetapi, ketika asesor mulai mengobrol mengenai keadaan subjek, subjek dapat menjawab pertanyaan dengan ramah. Subjek juga seringkali tertawa saat menjawab dan/atau menimpali pertanyaan asesor walaupun dalam beberapa hal jawaban subjek tidak sesuai dengan pertanyaan yang asesor ajukan.

  1. Hasil Wawancara

Klien AS merupakan laki-laki berusia 53 tahun. AS berasal dari suku Jawa dan beragama islam. AS telah menikah dan memiliki tiga orang anak. Subjek dibesarkan dalam kondisi keluarga dengan status sosial ekonomi bawah. Ayah subjek meninggal pada tahun 1988 dikarenakan batuk dan sesak napas sedangkan Ibu subjek meninggal pada tahun 1989 dikarenakan komplikasi. Subjek merupakan anak terakhir dari empat bersaudara. Kakak pertama subjek meninggal pada tahun 1987 dikarenakan TBC. Kakak ketiga subjek meninggal pada tahun 2003 dikarenakan komplikasi sedangkan kakak kedua subjek meninggal pada tahun 2016 dikarenakan TBC. Saat ini, subjek tinggal bersama istri dan anak terakhirnya yang masih berusia 6 tahun di Kota Surabaya.

Subjek diasuh oleh kedua orang tuanya sejak kecil. Subjek mengungkapkan bahwa subjek tidak cukup dekat dengan anggota keluarganya. Hal ini dikarenakan mereka tidak akan berkomunikasi ketika tidak ada hal yang penting untuk dibicarakan. Subjek juga jarang mengobrol, bersenda gurau, ataupun hanya sekedar menonton TV bersama keluarganya.

Subjek mendiskripsikan sosok ayah subjek sebagai ayah yang seringkali memarahi anaknya sedangkan subjek mendeskripsikan sosok ibu sebagai sosok yang disiplin. Ibu subjek seringkali memarahi dan mencubit subjek jika subjek tidak menuruti perintah. Ibu subjek juga kerap membanding-bandingkan subjek dengan kakak-kakaknya. Subjek menjelaskan bahwa subjek cukup dekat dengan kakak pertamanya namun tidak dengan kedua kakaknya yang lain.

Berkaitan dengan rumah tangganya, subjek mengungkapkan bahwa sebelum menikah dengan istri subjek, awalnya orang tua dari istri subjek tidak menyetujui hubungan mereka dikarenakan kondisi ekonomi subjek serta rumah subjek yang sempit dan kecil. Akan tetapi, istri subjek pun meyakinkan orang tuanya dan akhirnya mereka pun menikah. Subjek menjelaskan bahwa istri subjek merupakan individu yang sabar, pengertian dan perhatian. Biasanya, kegiatan yang subjek dan istri lakukan bersama adalah subjek mengantar istri subjek ke pasar dengan menggunakan sepeda motor. Walaupun begitu, sstri subjek menjelaskan bahwa mereka jarang mengobrol atau bercerita bersama. Hal ini dikarenakan istri subjek sibuk bekerja sebagai buruh cuci.

Subjek mengungkapkan bahwa subjek tidak dekat dengan ketiga anaknya. Walaupun begitu, subjek paling banyak menghabiskan waktu dengan anak ketiganya dikarenakan mereka masih tinggal dalam satu rumah. Kejadian yang paling subjek ingat adalah pada saat anak subjek berusia 1 tahun yakni pada tahun 2013, anak subjek mengalami obstruksi usus sehingga subjek dan istrinya harus mengantarkan anak subjek ke rumah sakit. Ketika subjek mengetahui bahwa anak subjek harus dioperasi, subjek merasa kaget dan memikirkan bagaimana cara membayar uang tersebut. Selama anak subjek berada di rumah sakit, subjek jarang mengunjungi anak subjek. Subjek mengatakan bahwa subjek harus bekerja karena jika subjek membolos, gaji subjek akan dipotong. Subjek merasa menyesal karena tidak mampu berada di sisi anak subjek namun karena keterbatasan ekonomi, subjek tetap harus mencari uang untuk biaya pengobatan anak subjek.

Berkaitan dengan relasi sosialnya, istri subjek menjelaskan bahwa subjek tidak memiliki teman dekat. Hal ini dikarenakan kata-kata subjek seringkali menyakiti hati orang lain dan membuat mereka tidak nyaman. Istri subjek juga menjelaskan bahwa subjek seringkali menyombongkan diri karena sudah mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga kuliah. Berkaitan dengan pendidikannya, subjek hanya bersekolah hingga kelas 2 SMP dikarenakan keterbatasan biaya. Setelah berhenti sekolah, subjek tidak memiliki aktivitas apapun sehingga subjek membantu teman subjek untuk berjualan jajan dan es di sekitar rumahnya.

Tidak berselang lama, subjek kemudian menjadi karyawan di beberapa perusahaan kecil. Ketika perusahaan percetakan tersebut pindah, subjek pun di PHK. Setelah itu, subjek bekerja sebagai kuli batu maupun mencari rongsokan hingga akhirnya subjek bekerja menjadi satpam selama sembilan tahun. Pada saat itu terjadi permasalahan di tempat kerjanya perihal subjek yang mengambil emas milik pemilik perusahaan tersebut. Akhirnya, subjek memutuskan untuk mengundurkan diri. Pesangon yang didapatkannya digunakan sebagai modal untuk beternak hewan. Akan tetapi, usahanya selalu gagal dan merugi karena seringkali ditipu oleh orang lain dan/atau hewan tersebut mati. Subjek kemudian bekerja menjadi cleaning service selama tiga tahun. Setelah gejala aktif schizophrenia subjek muncul, subjek memutuskan untuk berhenti.

  1. Histori Skizofrenia

Pada tahun 2014, istri subjek mengungkapkan bahwa subjek mengalami perubahan yang cukup drastis. Subjek tiba-tiba menjadi sering melamun, tampak kebingungan dan seperti orang linglung. Subjek juga merasa bahwa tetangga subjek tidak menyukai subjek dan seringkali menyindir subjek. Subjek juga merasa bahwa ada yang mengguna-guna dirinya. Ketika ditanya oleh istrinya, subjek menjelaskan bahwa kepala subjek sakit dan dari kepalanya keluar kotoran seperti air comberan, batu, dan kayu secara terus menerus. Setelah beberapa kejadian tersebut, subjek akhirnya seringkali datang ke orang pintar untuk mendapatkan pengobatan.

Pada tahun 2015, subjek akhirnya berhenti bekerja dikarenakan subjek menjadi semakin linglung, mudah marah, dan sakit kepala ketika dipaksa bekerja. Gejala subjekpun semakin parah yang ditandai dengan subjek selalu lari menjauh ketika melihat rumah. Subjek pun sempat tidak pulang ke rumah selama kurang lebih satu tahun. Subjek mulai mendengar suara yang menyuruh dirinya untuk bunuh diri dan/atau membunuh orang lain.

Pada tahun 2016, ketakutan subjek akan rumah semakin berkurang dan subjek mulai kembali ke rumah. Istri subjek pun memaksa subjek untuk melakukan pengecekan ke dokter di Puskesmas Jagir. Setelah diperiksa, dokter di Puskesmas Jagir kemudian merujuk subjek ke RSI Ahmad Yani. Pskiater di rumah sakit tersebut mendiagnosa subjek mengalami schizophrenia paranoid dan memberikan beberapa obat yang harus dikonsumsi oleh subjek setiap harinya.

Pada pertengahan tahun 2017, gejala subjek muncul kembali dimana subjek mendengar suara-suara yang menyindir subjek. Subjek juga merasa kepalanya sakit dan terbakar sehingga subjek akan mencelupkan sarung ke dalam air dan mengikat kepalanya agar mengurangi rasa sakitnya. Aktivitas yang subjek lakukan setiap harinya hanyalah duduk-duduk di lantai atas kamarnya dan merokok secara terus-menerus. Baik istri subjek dan subjek menjelaskan bahwa gejala subjek muncul kembali dikarenakan subjek tidak mau mengonsumsi obat pemberian Psikiater. Setelah satu bulan lamanya subjek merasakan gejala itu, istri subjek kemudian memaksa dan selalu mengingatkan subjek untuk mengonsumsi obat secara teratur setiap harinya.

Pada tahun 2018, keadaan subjek jauh lebih stabil dibandingkan dengan satu tahun lalu. Saat ini, subjek sudah tidak memiliki ketakutan akan rumah ataupun tidak merasa bahwa orang lain terutama tetangga menyindir subjek. Subjek mengaku bahwa subjek masih beberapa kali merasakan kebingungan dan linglung. Gejala lain yang masih subjek rasakan adalah subjek kesulitan dalam mengontrol emosinya. Subjek mengaku bahwa subjek seringkali marah ketika terdapat hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Subjek juga tidak mau kembali bekerja karena khawatir gejala subjek akan kembali sehingga subjek tidak memiliki kegiatan apapun di rumah.

  1. Tes Psikologis

Berikut merupakan rangkuman dari tes psikologis yang dilakukan oleh subjek.

Tabel 1. Hasil tes psikologis

Table 1.

Discussion

Subjek merupakan seorang laki-laki bersuku Jawa yang berusia 53 tahun 7 bulan. Sejak kecil, subjek diasuh oleh kedua orang tuanya. Kedua orang tua subjek sibuk bekerja sehingga subjek jarang mengobrol maupun menghabiskan waktu dengan orang tuanya. Bagi kedua orang tuanya, finansial merupakan hal yang penting dikarenakan subjek dibesarkan dari latar belakang ekonomi bawah. Pada fase kehidupan berikutnya, ketika subjek mulai memiliki pekerjaan tetap sebagai karyawan, muncul keinginan subjek untuk menikah. Akan tetapi, adanya penolakan dari orang tua istri subjek karena subjek berasal dari status sosial ekonomi bawah membuat subjek memiliki pemikiran bahwa finansial merupakan hal yang paling krusial dalam hidup subjek.

Ketika subjek masuk ke dalam usia dewasa awal, subjek mendapatkan banyak pengalaman menyakitkan berupa kematian anggota keluarganya dengan jarak yang berdekatan. Hal ini memunculkan tekanan pada diri subjek karena subjek merasa subjek tidak memiliki pegangan hidup lagi. Meskipun dalam keadaan berkabung, subjek tetap bekerja untuk memenuhi perekonomian keluarganya. Hal itu dikarenakan subjek harus tetap mencari nafkah bagi keluarganya. Setelah cukup lama bekerja menjadi karyawan, subjek merasa bahwa hal yang subjek kerjakan tidak sesuai dengan penghasilan yang ia dapatkan. Subjek pun akhirnya mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan pekerjaan sebelumnya. Hal ini membuat harga diri subjek meningkat dan subjek semakin merasa mampu untuk menghidupi keluarganya.

Setelah tujuh tahun bekerja, subjek mengalami PHK. Kondisi ini mempengaruhi motivasi subjek untuk dapat bekerja maksimal sebagai buruh serabutan. Selain itu, kondisi tersebut juga berdampak pada subjek yang merasa tidak bisa berfungsi secara penuh di dalam keluarga. Himpitan ekonomi yang kembali dialami subjek serta beban kerja yang dinilai berat membuat subjek semakin tertekan. Tekanan yang dialami semakin hebat ketika subjek menghadapi kematian kakak ketiganya. Hal ini membuat subjek kehilangan sumber afeksi keluarga sekaligus pegangan terakhir dalam hidupnya.

Ketika kondisi ekonomi keluarga subjek mulai stabil dikarenakan ia sudah memiliki penghasilan tetap, subjek kembali mengalami permasalahan yang berkaitan dengan finansial. Ancaman yang ia terima terkait dengan pembagian emas batangan yang ditemukan memunculkan kekhawatiran bahwa keselamatan dirinya dan keluarga akan terancam. Kurangnya kemampuan pemecahan masalah terhadap banyaknya permasalahan yang ia hadapi membuat subjek memutuskan untuk resign dari pekerjaannya. Adapun pesangon yang ia terima, ia gunakan sebagai modal untuk beternak.

Penipuan yang berulang karena lemahnya penilaian terhadap orang lain, sikap subjek yang impulsif serta kondisi ekonomi yang tidak kunjung membaik memunculkan tekanan yang hebat di diri subjek. Adanya peristiwa anak subjek yang menderita obstruksi usus semakin membuat subjek merasa tertekan karena perannya sebagai kepala keluarga tidak berfungsi dengan baik. Dorongannya yang besar untuk mendapatkan apresiasi dari lingkungan dan permasalahan mengenai finansial yang membuat subjek semakin tertekan. Adanya stressor berat yang bertubi-tubi ditambah dengan kerapuhan psikis yang terjadi sejak subjek kecil akhirnya memunculkan simptom skizofrenia pada diri subjek. Hal ini dikarenakan ia tidak mampu lagi untuk memenuhi dorongannya yang ada di dalam dirinya.

Awalnya, subjek seringkali melamun, kebingungan, dan menjadi linglung. Tidak lama kemudian, gejala positif subjek muncul yang ditandai oleh halusinasi auditori dimana subjek merasa ada yang menyindir dan membicarakan keburukan subjek. Subjek juga merasa ada suara-suara yang menyuruh subjek untuk bunuh diri dan/atau membunuh orang lain. Selain itu, subjek mendengar suara yang menakut-nakuti subjek sehingga subjek takut akan rumah. Subjek tidak bisa tinggal di satu tempat dalam jangka waktu yang lama sehingga subjek akan selalu berpindah-pindah tempat. Subjek juga merasa halusinasi visual yang ditandai bahwa subjek seringkali melihat bayangan hitam yang mengganggunya di kamarnya.

Selain halusinasi, subjek juga mengalami delusi persekusi dimana subjek merasa dikejar oleh orang lain. Subjek mengalami delusi somatik yakni subjek merasa bahwa dari kepalanya keluar kayu, bebatuan, serta air comberan secara terus menerus. Selain itu, subjek mengalami delusi kendali dimana subjek merasa bahwa pada saat subjek tidur, ada yang tiba-tiba mengangkat subjek dan menjatuhkannya. Hal tersebut berdampak pada perilaku subjek dimana subjek menjadi kesulitan untuk mengendalikan emosi, kesulitan untuk tidur, serta berbicara dan tertawa sendiri.

Saat ini, subjek sudah berobat selama dua tahun dan menunjukkan banyak perubahan. Gejala positif subjek sudah tidak pernah muncul walaupun gejala negatif masih dialami oleh subjek. Subjek menunjukkan gejala afek tumpul dimana subjek masih menunjukkan emosi yang tidak sesuai dengan situasi. Subjek juga mengalami penurunan energi dan kesenangan dimana subjek tidak dapat melakukan apapun sehingga kegiatan sehari-hari subjek hanya dihabiskan untuk makan dan tidur. Subjek seringkali tampak kebingungan dan linglung. Subjek juga kesulitan dalam mengelola emosinya terutama ketika dalam keadaan marah. Subjek akan menunjukkan agresi yang ditandai oleh menyindir, berteriak hingga membanting barang.

DIAGNOSIS

Berdasarkan pemeriksaan psikologis yang dilakukan, maka diagnosis yang dapat ditegakkan untuk subjek berdasarkan DSM IV-TR (APA, 2000), yakni :

Tabel 2. Diagnosa Skizofrenia Tipe Residual

Table 2.

Conclusion

Berdasarkan keseluruhan hasil asesmen yang telah dilakukan, subjek didiagnosa mengalami shizophrenia paranoid tipe residual. Gejala negatif yang hingga saat ini masih dirasakan oleh subjek adalah subjek belum mampu untuk mengelola kemarahannya, tampak kebingungan dan linglung, serta subjek yang belum mau untuk kembali bekerja.

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7

References

  1. Adzkia, A., Penderita skizofrenia melonjak, pemasungan masih mengancam. 2019.
  2. M Dorofeikova,, N Neznanov,, Petrova, N., Cognitive deficit in patients with paranoid schizophrenia: Its clinical and laboratory correlates. Psychiatry Research. 2018;542-548.
  3. Levine, J.,, Levine, I. S., Schizophrenia for dummies. New Jersey: Wiley Publishing, Inc.; 2009.
  4. Makki, S., WHO: 23 juta warga dunia idap skizofrenia. CNN Indonesia. 2018.
  5. S Nevid, J., A. Rathus, S., B Greene,, Psikologi abnormal. Jakarta: Penerbit Erlangga.; 2005.
  6. Stefan, M.,, M Travis,, M Murray, R., An atlas of schizophrenia. USA: The Pathernon Publishing Group; 2020.
  7. Veague, H. B., Pscyhological disorders: Schizophrenia.. USA: Chelsea House Publishers.; 2007.