Abstract

This study aims to determine the relationship between self esteem with social anxiety. The subjects of this study were 115 adolescents in low socioeconomic status of Lingkungan VIII Belawan I, kecamatan Medan-Belawan. Datas were obtained from scales used to measure self esteem and social anxiety. Calculations were performed by testing the analysis requirements (assumption) that consisted of tests for normality and linearity. The data were analyzed using Product Moment Correlation with SPSS 17 for Windows. The results of the data analysis showed that the correlation coefficient was - 0.595 with a significance value of 0.000 (p <0.05). It showed that there is a negative relationship between self esteem and social anxiety. The results of this study indicate that the contributions made by the variable of self esteem on social anxiety was 35.5 percent, while the remaining 64.5 percent was influenced by other factors that were not examined. From these results, it is concluded that the hypothesis, which stated that there is a negative relationship between the self esteem and social anxiety, is acceptable.

Introduction

Masa remaja merupakan peralihan antara masa kehidupan anak-anak dengan masa kehidupan orang dewasa.Remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescene, berasal dari bahasa latinadolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri, oleh Erickson (dalam Ali & Asrori, 2011) disebut dengan identitas ego (ego identity). Sehubungan dengan hal tersebut Santrock (2011), mengungkapkan bahwa masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa, yang dimulai pada sekitar usia 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun.

Tugas–tugas perkembangan masa remaja menurut Wiliam Kay (dalam Jahja, 2011)adalahmampu menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya, mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang mempunyai otoritas, mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok, menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya, menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuan pada dirinya sendiri, memperkuat self control (kemampuan mengendalikan diri) atau dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup, serta mampu meninggalkan rekasi dan penyesuaian diri (sikap atau perilaku) kekanak-kanakan.

Menurut Polak (dalam Abdulsyani, 2015) status (kedudukan) memiliki dua aspek yakni aspek yang pertama yaitu aspek struktural yang bersifat hierarkis, artinya aspek ini secara relatif mengandung perbandingan tinggi atau rendahnya terhadap status-status lain, sedangkan aspek status yang kedua yaitu aspek fungsional atau peranan sosial yang berkaitan dengan status-status yang dimiliki seseorang. Kedudukan atau status berarti posisi atau tempat seseorang dalam sebuah kelompok sosial. Makin tinggi kedudukan seseorang maka makin mudah pula dalam memperoleh fasilitas yang diperlukan dan diinginkan. Statusdimaksudkan menurut Polakadalah sebagai kedudukan sosial seorang oknum dalam kelompok serta dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu, menurut Soekanto (dalam Abdulsyani,2015) status sosial merupakan tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya yang berhubungan dengan orang lain, hubungan dengan orang lain dalam lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajibannya.

Petirim (dalam Abdulsyani,2015) menyatakan bahwajika seseorang memiliki sesuatu yang dihargai atau dibanggakan dalam jumlah yang lebih daripada yang lainnya maka ia akan dianggap memiliki status yang lebih tinggi dalam masyarakat. Sebaliknya apabila seseorang memiliki kuantitas sesuatu yang dibanggakan lebih sedikit, maka ia akan dianggap mempunyai status dalam masyarakat yang lebih rendah. Status sosial yang tinggi maupun rendah bersifat kumulatif, artinya bagi mereka yang mempunyai status ekonomi yang tinggi biasanya relatif mudah untuk menduduki status-status yang lain, seperti status sosial, politik ataupun kehormatan tertentu dalam masyarakat. Begitu juga bagi seseorang yang mempunyai status ekonomi yang rendah biasanya mereka akan cenderung semakin sulit untuk dapat naik status, atau bahkan dapat dikatakan seorang yang miskin cenderung menjadi-jadi kemiskinannya.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik periode Maret-September 2017 lalu, pada bulan September 2017 jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen), berkurang sebesar 1,19 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2017 yang sebesar 27,77 juta orang (10,64 persen) (www.bps.go.id).

Pada hakikatnya apa yang dirasakan oleh anak yang kehidupan perekonomiannya tinggi tidak berbeda dengan yang dirasakan anak yang hidup dalam perekonomian rendah. Namun untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan pada anak yang hidup dalam kemiskinan sering kali terbentur pada berbagai hambatan kemudian dapat menjadi masalah besar bagi anak yang hidup dalam lingkungan sosial yang ekonominya rendah.

Terdapat beberapa kasus yang di alami remaja berstatus sosial ekonomi rendah, salah satunya adalah ketegangan dan kecemasan yang dimiliki oleh Elva Susanti siswi SMA I Bangkinang, Kabupaten Kampar Riau, hingga menyebabkannya melakukan penghindaran sosial dan memilih untuk bunuh diri. Hal tersebut dikarenakan Elva berasal dari keluarga yang tidak mampu sering dibully oleh teman-temannya (www.news.okezone.com).

Selain contoh kasus diatas ada kasus lain yaitu peneliti telah melakukan observasi dan wawancara kepada remaja status sosial ekonomi rendah yang tinggal di Lingkungan-VIII Belawan-I. Peneliti melihat bahwa terdapat remaja yang memiliki kecemasan saat ia bertemu dengan orang lain. Hal tersebut didukung berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti oleh beberapa remaja, salah satunya adalah MD (16), ia mengatakan bahwa kendalanya selama ini adalah berhubungan di depan banyak orang, apalagi ia bersekolah di sekolah yang mayoritas adalah anak yang berasal dari status ekonomi sosial ke atas. ketika di sekolah MD tidak memiliki teman, ia mengatakan bahwa sebenarnya ia malu untuk berteman dengan teman-teman di sekolahnya, ia juga takut untuk memulai pembicaraan apabila berhadapan dengan salah satu teman sekolahnya karena ia berpikir bahwa apapun yang akan ia katakan akan menjadi bahan ketawaan teman-temannya padahal ia sendiri belum pernah mencoba untuk memulai percakapan tersebut. Sehingga pernah beberapa kali MD berharap untuk tidak pergi ke sekolah karena cemas jika menemui teman-temannya.

Pada kasus-kasus di atas, terdapat permasalahan yang menyangkut kecemasan.Kecemasan dapat menimbulkan dampak yang buruk kepada orang lain, kecemasan bisa membuat seseorang berpikiran yang tidak rasional seperti yang dilakukan oleh Elva susanti seorang korban bullying yang lebih memilih bunuh diri akibat tidak dapat mengatasi kecemasan yang ia alami. Sama halnya yang dialami oleh MD yang enggan membentuk hubungan pertemenan karena takut dipandang negatif oleh teman-temannya karena mereka merupakan anak yang hidup di dalam lingkungan status sosial ekonomi yang rendah. Berdasarkan hal tersebut kecemasan menyebabkan sebagian orang sulit untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar dan sangat sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain.

Jantz dan Mcmurray (2011) mendefinisikan kecemasan sebagai rasa sakit yang menyakitkanatau rasa gelisah dalam pikiran yang biasanya melebihi dari rasa sakit yang akan datang atau sakit yang telah diantisipasi, kekhawatiran atau minat yang menakutkan, rasa takut yang abnormal yang sering ditandai dengan dengan tanda-tanda fisiologis seperti berkeringat ketegangan dan denyut nadi meningkat oleh keraguan tentang realitas dan sifat yang mengancam dan keraguan terhadap diri sendiri untuk mengatasinya.Menurut Nevid, dkk., (2005) gangguan kecemasanterdiri dari gangguan kecemasan umum, serangan panik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stres paska trauma, gangguan stres akut dan kecemasan sosial (fobia sosial). Rasa cemas ketika berada dalam lingkungan sosial ini sering kali disebut dengan istilah kecemasan sosial. Gangguan kecemasan sosial sering disebut dengan fobia sosial. Kecemasan sosial adalah ketakutan yang berlebihan terhadap evaluasi negatif dari orang lain. Orang dengan kecemasan sosial takut untuk mengatakan atau melakukan sesuatu yang memalukan atau membuat dirinya merasa hina. Menurut Davison, dkk., (2014) kecemasan sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan dengan keberadaan orang lain. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecemasan sosial adalah harga diri.

Rogers (dalam Guidon, 2010) mendefinisikan harga diri sebagai tingkat terhadap apa yang orang sukai, penilaian dan penerimaan diri mereka sendiri. Rogers percaya bahwa pengembangan diri berasal dari kombinasi dari apa yang dialami dan apa yang disisipkan berasal dari nilai dan preferensi afeksi.Menurut Upton (2012) harga diri adalah perasaan kebernilaian diri kita, suatu penilaian yang kita buat tentang seberapa hebat diri kita.

Beberapa pembahasan diatas,dapat dikatakan bahwasannya dengan harga diri yang tinggi menunjangseseorang untuk memiliki kecemasan sosial yang rendah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Liaqat dan Akram (2014) terhadap 150 orang disabilitas yang terdiri dari 75 laki-laki dan 75 perempuan menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan dan negatif antara harga diri dengan kecemasan sosial. Artinya semakin tinggi harga diri maka semakin rendah kecemasan sosial pada remaja, begitu pula sebaliknya.

Faktor lain yang mempengaruhi kecemasan sosial adalah perilaku asertif. Hal ini terbukti pada penelitian yang dilakukan oleh Misnani (2016) terhadap 87 siswa SMP Negeri 27 Samarinda yang menunjukkan bahwa adanya korelasi negatif antara perilaku asertif dengan kecemasan sosial. Orang yang memiliki asertivitas yang tinggi seperti memiliki ketegasan dalam mengekspresikan pendapat maka tidak akan terpengaruh terhadap evaluasi negatif dari orang lain. Artinya emakin tinggiperilaku asertif yang dimiliki seseorang maka semakin rendah kecemasan sosial dan sebaliknya.

Kepercayaan diri juga mempunyai pengaruh terhadap kecemasan sosial. Hal tersebut dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Mutahari (2016) pada 123 siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015-2016, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Kalasan. Individu yang tidak percaya diri akan mengalami demotivasi diri serta ketahanan hidup yang rendah karena dirinya selalu diliputi perasaan cemas dan persepsi negatif terhadap orang lain, dengan kata lain orang yang kurang percaya diri akan cenderung sedapat mungkin menghindari situasi untuk berhubungan interaksi dengan orang lain. Hal tersebut karena dirinya takut kalau orang lain akan mengejek atau menyalahkannya. Sehingga semakin rendahkepercayaan diri maka semakin tinggi kecemasan sosial pada remaja.

Fenomena di atas menjadi motivasi penulis untuk meneliti tentang “ Hubungan Antara Harga Diri Dengan Kecemasan Sosial Pada Remaja Status Sosial Ekonomi Rendah Di Lingkungan-VIII Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan-Belawan.

Metode

Penelitian ini merupakan metode penelitian kuantitatif. Subjek yang dijadikan responden penelitian ini yaitu remaja yang berstatus sosial ekonomi rendah di Lingkungan VIII Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan-Belawan.

Teknik sampling yang digunakan menggunakan “total sampling” yaitu teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2016). Berdasarkan teknik tersebut, maka penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 115 remaja.

Penelitian ini menggunakan dua skala utnuk mengumpulkan data yaitu skala harga diri dan skala kecemasan sosial yang dikonstruksikan oleh peneliti sendiri.

Skala harga diri dikonstruksikan berdasarkan aspek harga diriyaitu kekuasaan, keberartian, kebajikan, kemampuan. Sedangkan skala kecemasan sosial dikonstruksikan berdasarkan pengukuran kecemasan sosial diantaranya Fear of Negative Evaluation, Social Avoidance and Distress in New Situation, Social Avoidance and Distress in General. Analisis data menggunakan product moment (hubungan korelasi) antar variabel yang sedang diteliti.

Results

Perhitungan dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan uji pra syarat analisis (ujiasumsi) yang terdiri dari uji normalitas dan uji linieritas. Analisis data yang digunakan adalah menggunakan korelasi Product Moment (Pearson Correlation) dengan bantuan SPSS 17for Windows.

Tabel 1. Hasil Analisis Uji Normalitas
Var Mean

Table 1.

Berdasarkan uji normalitas yang dilakukan terhadap variabel Kecemasan Sosial diperoleh koefisien KS-Z = .988dengan sig sebesar .284 untuk uji 2 (dua) ekor dan Sig sebesar.142 untuk uji 1 (satu) ekor (p > 0.05), yang berarti bahwa data pada variabel kecemasan sosial memiliki sebaran atau berdistribusi normal. Uji normalitas pada variabel Harga Diri diperoleh koefisien KS-Z =1.128 dengan Sig. sebesar.157 untuk uji 2 (dua) ekor dan Sig. sebesar .0785 untuk uji 1 (satu) ekor (p > 0.05). Berdasarkan hasil tersebut data variabel harga diri memiliki sebaran atau berdistribusi normal karena p > 0.05.

Tabel 2. Hasil Analisis Uji Linieritas

Variabel

Table 2.

Berdasarkan tabel 2 dapat dikatakan bahwa variabel kecemasan sosial dan harga diri memiliki hubungan linear. Hal ini terlihat dari nilai sig yang diperoleh yaitu 0.000 maka p<0.05, dapat disimpulkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan linear dan telah memenuhi syarat untuk dilakukan analisa korelasi Product Moment.

Tabel 3. Hasil Analisa Uji Hipotesis

Table 3.

**p<0.05

Berdasarkan hasil analisis antara kecemasan sosial dengan harga diri, diperoleh koefisiensiproduct moment (PearsonCorrelation)yang diperoleh adalah r = -0.595 dengan sig sebesar 0.000 (p < 0.05).

Discussion

Dari hasil perhitungan tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang negatif antara harga diri dengan kecemasan sosial pada remaja status sosial ekonomi rendah di Lingkungan VIII Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan-belawan, artinya semakin tinggi harga diri,maka semakin rendah kecemasan sosial, dan sebaliknya semakin rendah harga diri, maka semakin tinggi kecemasan sosial.

Hal ini sesuai dengan teori dari Baron dan Byrne (2004)yang menyatakan bahwa harga diri merujuk pada sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, mulai dari sangat negatif sampai sangat positif. Baumister (dalam Larsen&Buss, 2008) menyatakan bahwa seseorang dengan harga diri yang rendah mungkin akan menghindar untuk mencoba dalam menjalin pertemanan yang baru serta takut akan penolakan. Dalam Hidayat dan Bashori (2016) apabila seseorang yang memiliki harga diri rendah tidak mendapatkan penanganan yang seharusnya, hal itu akan merugikan individu tersebut karena situasi akan terus memburuk bagi dirinya. Harga diri rendah akan menyebabkan yang bersangkutan memiliki harapan negatif sepanjang perjalanan hidupnya. Hal ini nantinya dapat membuat individu enggan memperjuangkan apapun, kehidupan subjek banyak diisi dengan berbagai kecemasan dalam menghadapi persoalan yang ditemuinya.

Kaplan, dkk.,(dalam Ardiani & Hadjam, 2011) berpendapat kecemasan sosial merupakan kegiatan yang tidak rasional dan menetap biasanya berhubungan dengan kehadiran orang lain, individu menghindari situasi dimana ia mungkin dievaluasi atau dikritik yang membuatnya merasa terhina atau dipermalukan, dan menunjukkan tanda-tanda kecamasan atau menampilkan perilaku yang memalukan.

Secara implisit hal tersebut menjelaskan bahwa pendekatan ini menunjukkan adanya keterkaitan antara harga diri dengan kecemasan sosial. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan olehMa'rifah dan Budiani (2012) pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Dagangan Madiun. Penelitian tersebut ditemukan bahwa harga diri mempengaruhi kecemasan sosial. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan dan negatif antara harga diri dengan kecemasan sosial (p = 0.001) (r = -0.368). Diartikan bahwa semakin tinggi harga diri yang dimiliki remaja maka akan semakin rendah kecemasan sosial pada remaja dan sebaliknya, semakin rendah harga diri yang dimiliki remaja maka akan semakin tiggi kecemasan sosial pada remaja. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa harga diri dapat mempengaruhi kecemasan sosial.

Conclusion

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara harga diri dengan kecemasan sosial pada remaja status sosial ekonomi rendah di Lingkungan VIII Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan-Belawan. Hal ini sama halnya yang disampaikan oleh Hidayat dan Bashori (2016) apabila seseorang yang memiliki harga diri rendah tidak mendapatkan penanganan yang seharusnya, hal itu akan merugikan individu tersebut karena situasi akan terus memburuk bagi dirinya. Harga diri rendah akan menyebabkan yang bersangkutan memiliki harapan negatif sepanjang perjalanan hidupnya. Hal ini nantinya dapat membuat individu tidak mau memperjuangkan apapun, kehidupan subjek banyak diisi dengan berbagai kecemasan dalam menghadapi persoalan yang ditemuinya.

Kaplan, dkk.,(dalam Ardiani & Hadjam, 2011) berpendapat kecemasan sosial merupakan kegiatan yang tidak rasional dan menetap biasanya berhubungan dengan kehadiran orang lain, individu menghindari situasi dimana ia mungkin dievaluasi atau dikritik yang membuatnya merasa terhina atau dipermalukan, dan menunjukkan tanda-tanda kecamasan atau menampilkan perilaku yang memalukan. Secara implisit hal tersebut menjelaskan bahwa pendekatan ini menunjukkan adanya keterkaitan antara harga diri dengan kecemasan sosial.

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20

References

  1. Abdulsyani Sosiologi: Skematika, Teori, Dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.; 2015.
  2. M. Ali,, Asrori, M., PsikologiRemaja: PerkembanganPesertaDidik. Jakarta: PT BumiAksara.; 2011.
  3. Ardiani, T. A, Hadjam, M. N. R., Psikologi Abnormal. 2011.
  4. Baron, R. A, D Byrne,, Psikologi Sosial.. Jakarta: Erlangga; 2004.
  5. Bps.go.id. Presentase Penduduk Miskin.. 2017.
  6. Davison, G. C.,, Neale, J. M, Kring, A. N., Psikologi Abnormal Edisi ke-9.. Jakarta: Rajawali Pers; 2014.
  7. H Guidon, M., Self EsteemAcross the lifespan: Issues and interventions.. 2010.
  8. Hidayat, K, Bashori, K., Psikologi Sosial: Aku, Kami dan Kita. Jakarta: Erlangga.; 2016.
  9. Y Jahja,, Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana Media Group; 2011.
  10. Jantz, G. L, Mcmurray,A Overcoming Anxiety Worry, And Fear.. 2011.
  11. Larsen, R. J., M Buss, D., Personality Psychology. 2008.
  12. LiaqatAkram. Relationship between Self-Esteem and Social Anxiety AmongPhysically Handicapped People. International Journal OfInnovation And Scientific Research. 2014; 4(9):307-316.
  13. Ma'rifahBudiani. Hubungan Antara Attachment Style Dan Self-Esteem Dengan Kecemasan Sosial Pada Remaja.. Journal Psikologi: Teori & Terapan,. 2012; 3(1)
  14. Misnani. Hubungan Perilaku Asertif Dan Kesepian Dengan Kecemasan Sosial Korban BullyingPada Siswa SMP Negeri 27Samarinda.. Jurnal Psikoborneo,. 2016; 4(4):793-803.
  15. Mutahari Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kecemasan Sosial Pada Siswa Kelas VII Smp Negeri 2 Kalasan Tahun Ajaran 2015-2016. E-Journal Bimbingan dan Konseling Edisi 3 Tahun ke-5.. 2016.
  16. Nevid, J. S.,, Rathus, S. A, Greene,B., Psikologi Abnormal Edisi Ke Lima Jilid 1.. Jakarta: Erlangga.; 2005.
  17. News.okezone Tak Tahan Di-Bully Kawan Sekolah, Siswi SMA di Riau Tewas Terjun ke Sungai. 2018.
  18. W Santrock, J., Perkembangan Anak. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.; 2007.
  19. Sugyono Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Dan R&amp;D. Bandung: Alfabeta; 2016.
  20. P Upton,, Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga; 2012.