Abstract

The client is a 37-year-old woman who experiences symptoms of depression. The assessment is carried out on the client in the form of observation, interviews, giving graphic tests, TAT, and WAIS. The results of the assessment indicate that the client is experiencing symptoms of depression. The intervention given was cognitive behavioral therapy which was arranged in 9 therapy sessions. The purpose of this intervention is to reduce depressive symptoms in the form of crying behavior, difficulty concentrating, and difficulty sleeping. The result of this intervention is that symptoms of client depression can be reduced, effectively reduce negative thoughts, and actively and productively carry out activities that have been arranged related to social activities in which there are interactions with others.

Introduction

Stres adalah suatu kondisi yang berasal dari pengalaman yang tidak menyenangan yang terjadi secara tiba-tiba.Kebanyakan depresi dipicu oleh pengalaman stres baik akut maupun kronis (Beck, 1979).Oleh karena itu, perhatian dipusatkan pada beberapa orang menjadi tertekan ketika terkena keadaan negatif dan orang lain tidak.Berbagai faktor psikososial dan biologi telah dipelajari sebagai pengubah dari depresi reaksi terhadap stres. Di dalam tubuh terdapat promotor serotonin sebagai penyumbang dampak emosional negatif dari stres (Alavi et al,. 2013).

Stress, konflik interpersonal yang sering kali terjadi yang merupakan pencetus dari munculnya episode depresi.Pada kondisi depresi, kesalahan kognitif dan penilaian negatif pada diri sendiri sering kali terjadi. Saat mengalami distorsi kognitif, individu akan mengalami kesulitan untuk melihat dan menemukan solusi dari stresor yang dialami (Spirito, 2012). Model kognitif pada depresi yang diajukan Beck adalah terkait dengan keyakinan disfungsional yang ini diaktifkan oleh lingkungan atau peristiwa tidak menyenangkan (stres), keyakinan disfungsional ini membawa seseorang cenderung untuk depresi untuk menafsirkan pengalaman negatif dan pemikiran yang terdistorsi. Penafsiran negatif ini akan menyebabkan pandangan negatif dari diri sendiri, kejadian yang terjadi di dunia dan gambaran tentang masa depan. Keyakinan ini mengacu sebagai triad kognitif negatif, menimbulkan fitur lain dari gangguan, termasuk somatik (sulit tidur), motivasi (pasif) dan gangguan afektif (Palazzolo, 2015).

Pada kasus klien DL, gejala depresi yang dialaminya muncul akibat pengalaman yang tidak menyenangkan berupa pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dialami oleh anak perempuannya yang baru saja berusia 6 tahun. Pada hal yang menyakitkan lagi bahwa tindak asusila ini dilakukan oleh keponakannya sendiri dan klien tidak mendapatkan pembelaan dari keluarganya atas apa yang telah terjadi kepadanya. Hal yang muncul sebagai manifestasi dari peristiwa yang tidak menyenangkan tersebut adalah klien menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian tersebut dan merasa bahwa ia telah gagal menjadi seorang ibu karena tidak bisa menjaga anak perempuanya dengan baik. Proses berpikir yang dimiliki oleh klien berdampak pada perilakunya yang bersedih berkepanjangan, sulit untuk tidur dan juga sulit untuk berkonsentrasi. Hal ini sangat mengganggunya karena klien juga merasa masih belum bisa ikhlas untuk merelakan apa yang telah terjadi kepada putrinya.

Gejala depresi sebagai masalah psikologis diyakini dapat disembuhkan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menyakini apa yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan tentang pengobatan karena Al-Qur’an itu sendiri diturunkan sebagai penawar dan Rahmat bagi orang-orang yang mukmin. Berpikir secara religius juga dapat dilakukan untuk membantu berpikir positif supaya dapat mengurangi gejala depresi. Berdasarkan permasalahan diatas maka perlu dilakukan dan dikembangkan intervensi berupa terapi kognitif untuk mengurangi gejala depresi pada individu yang memang sedang mengalami gejala-gejala depresi.

Metode

Pada sesi 1, terapis mengidentifikasi permasalahan utama klien secara mendalam. Masalah utama yang dihadapi klien adalah ia merasa bahwa dirinya telah gagal menjadi seoramg ibu karena tidak bisa menjaga putrinya dengan baik. Kegagalan itu selalu membayangi pikiran klien semenjak putrinya telah diperkosa oleh keponakannya sendiri. Pada sesi ini terapis menggali upaya apa saja yang telah dilakukan oleh klien untuk menangani masalah yang ia miliki. Respon yang diberikan klien pada sesi ini adalah gambaran jelas terkait dengan rasa bersalahnya, penilaian negatif atas dirinya dan selalu menyalahkan dirinya atas masalah yang ia hadapi. Pada sesi ini juga diketahui bahwa klien belum melakukan upaya apapun untuk menangani masalah yang ia hadapi karena klien mengaku sangat sulit untuk mengatasi masalahnya.

Pada sesi 2, terapis mengidentifikasi pemikiran-pemikiran negatif klien. Terapis melakukan identifikasi mengenai pemikiran-pemikiran negatif yang dimilikinya dengan cara membuat list/daftar dari pemikiran negatif tersebut. Respon yang ditunjukkan klien saat proses identifikasi menghasilkan beberapa pikiran yaitu ; klien meyakini bahwa ia telah gagal menjadi seorang ibu karena anaknya telah diperkosa saat usia 6 tahun, klien meyakini bahwa masa depan anaknya akan suram, klien juga meyakini bahwa sudah tidak ada yang bisa ia lakukan dalam hidup dengan masalah ini.

Pada sesi 3, terapis mengajarkan klien untuk memahami bagaimana kognitif mempengaruhi emosi dan juga perilaku. Terapis menjelaskan secara rinci hubungan kognitif, emosi dan perilaku sehingga klien memahami bahwa proses kognitif berpengaruh pada perilaku yang di munculkan. Sebelum membahas hubungan pemikiran negatif klien, terapis memberikan contoh ringan untuk menjelaskan hubungan kognitif-emosi-perilaku. Kegiatan ini bertujuan agar klien dapat benar-benar memahami bahwa proses kognitif sangat berpengaruh pada perilaku yang dimunculkan. Respon pada sesi ini adalah klien memahami hubungan kognitif-emosi-perilaku nya.

Pada sesi 4, terapis melatih klien agar dapat mengganti pemikiran negatifnya menjadi pemikiran positifnya.Terapis membantu mengidentifikasi (membuat daftar) pemikiran positif untuk menggantikan pemikiran negatifnya. Kemudian terapis membuat tabel (+) dan (-) dari pemikiran positifnya.Lalu terapis menggambarkan pikiran positifnya dalam hubungan kognitif-emosi-perilaku.Respon pada sesi ini klien dapat menghasilkan beberapa pemikiran positif.

Pada sesi 5, terapis menentukan aktifitas-aktifitas menyenangkan bagi klien untuk dapat melawan gejala depresinya. Terapis mengidentifikasi aktifitas-aktifitas untuk klien berdasarkan 3 kriteria : aktifitas yang melibatkan klien dalam berinteraksi dengan orang lain (mendapatkan reward), aktifitas yang membuat klien merasa berkompeten dan memiliki tujuan, dan aktifitas yang diasosiasikan dengan kebahagiaan dan kesenangan. Respon padasesi ini klien berhasil membuat list aktivitas yang akan dilakukan.

Pada sesi 6, terapis memprediksi ketahanan aktifitas-aktifitas menyenangkan tersebut dalam melawan gejala depresi yang dimunculkan. Terapis mengajarkan klien untuk mengantisipasi seberapa besar kesenangan yang diperoleh dari aktifitas yang dipilih dapat bertahan untuk melawan gejala depresi, dan menuliskan prediksi mereka pada masing-masing aktifitas (tulis skala 1-10 seberapa senang mereka melakukan aktifitas itu).Kemudian pilih aktifitas dengan skala tertinggi untuk dijadwalkan. Respon klien pada sesi ini adalah memberi skor tertinggi pada aktifitas yang ia yakini dapat memberikan kesenangan sekaligus mengalihkan dan membantunya melawan gejala depresinya. Adapun aktifitas yang klien pilih adalah ; berkumpul dengan orang tua wali murid dari anaknya di sekolah, berkumpul dengan sahabat lamanya, memasak/membuat kue, belanja di Mall, serta berjalan-jalan ke taman dengan keluarga kecilnya.

Pada sesi 7, terapis menjadwalkan secara detail aktifitas apa saja yang harus dilakukan klien setiap harinya. Terapis menjadwalkan daftar aktifitas yang dapat dilakukan setiap harinya berdasarkan hasil identifikasi aktifitas menyenangkan sebelumnya.Aktifitas yang dijadwalkan adalah aktifitas yang paling mudah dan paling cepat untuk dilakukan oleh klien. Adapun aktifitas tersebut adalah ; berkumpul dengan orang tua wali murid dari anaknya di sekolah, memasak/membuat kue, serta berjalan-jalan ke taman dengan keluarga kecilnya. Aktifitas tersebut dijadwalkan untuk dilakukan secara rutin oleh klien setiap harinya.

Pada sesi 8, dilakukan feedback atas pencapaian hasil dari terapi yang telah dilakukan kepada klien. Pada sesi ini akan membahas tentang rangkuman hasil dari tiap-tiap sesi yang telah dilaksanakan. Pada sesi ini juga dilakukan terminasi atau pengakhiran dari sesi terapi.

Results

Berdasarkan hasil intervensi yang telah dilakukan, terdapat beberapa perubahan kondisi yang dialami oleh klien pada saat sebelum dan sesudah dilaksanakannya intervensi yang dapat dilihat dari tabel berikut :

1. 2.

Table 1.

Discussion

Stres adalah suatu kondisi yang berasal dari pengalaman yang tidak menyenangan yang terjadi secara tiba-tiba. Kebanyakan depresi dipicu oleh pengalaman stres baik akut maupun kronis (Beck, 1979).Oleh karena itu, perhatian dipusatkan pada beberapa orang menjadi tertekan ketika terkena keadaan negatif dan orang lain tidak. Berbagai faktor psikososial dan biologi telah dipelajari sebagai pengubah dari depresi reaksi terhadap stres. Di dalam tubuh terdapat promotor serotonin sebagai penyumbang dampak emosional negatif dari stres (Alavi et al,. 2013).

Stress, konflik interpersonal yang sering kali terjadi yang merupakan pencetus dari munculnya episode depresi.Pada kondisi depresi, kesalahan kognitif dan penilaian negatif pada diri sendiri sering kali terjadi. Saat mengalami distorsi kognitif, individu akan mengalami kesulitan untuk melihat dan menemukan solusi dari stresor yang dialami (Spirito, 2012). Model kognitif pada depresi yang diajukan Beck adalah terkait dengan keyakinan disfungsional yang ini diaktifkan oleh lingkungan atau peristiwa tidak menyenangkan (stres), keyakinan disfungsional ini membawa seseorang cenderung untuk depresi untuk menafsirkan pengalaman negatif dan pemikiran yang terdistorsi. Penafsiran negatif ini akan menyebabkan pandangan negatif dari diri sendiri, kejadian yang terjadi di dunia dan gambaran tentang masa depan. Keyakinan ini mengacu sebagai triad kognitif negatif, menimbulkan fitur lain dari gangguan, termasuk somatik (sulit tidur), motivasi (pasif) dan gangguan afektif (Palazzolo, 2015).

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dapat efektif untuk mengatasi masalah yang berakar dari distorsi kognitif, perilaku maladaptif, serta respon afektif yang kurang.CBT dilakukan dengan tujuan untuk mengatasi distorsi kognitif yang merupakan dasar pemikiran pencetus munculnya perilaku maladaptif seperti dengan metode restrukturisasi kognitif.Kemudian ditambahkan dengan terapi perilaku untuk mengurangi perilaku-perilaku maladaptif yang dimunculkan (Dimeff, 2007).Keberhasilan terapi dipengaruhi oleh motivasi internal klien dimana klien sangat benar-benar ingin bangkit kembali menjalani hidup yang normal dengan alasan agar dapat mendidik dan menjaga anaknya lebih baik lagi. Motivasi ini dimunculkan dalam bentuk perilaku dimana klien selalu meluangkan waktu untuk bertemu dengan terapis dan bahkan selalu mencatat hal yang diperoleh di dalam proses terapi. Faktor eksternal berupa dukungan sosial yang diperoleh klien adalah berasal dari anaknya sendiri dimana perilaku anaknya yang menjadi korban selalu hadir menguatkan klien ketika klien mulai menangis secara tiba-tiba.Selain itu suami juga hadir sebagai orang yang memberikan dukungan kepada klien dengan menggantikan klien untuk mengerjakan pekerjaan rumah agar klien dapat bertemu dengan terapis.

Terapi CBT diketahui dapat merubah distorsi atas keyakinan atau pemikiran yang irasional, menghilangkan perilaku maladaptif dan juga diharapkan dapat meningkat skill pasien dalam melakukan pemecahan masalah serta kompetensi sosial lainnya (Mewton, Wong, & Andrews, 2012).Perkembangan model kognitif-behavior merupakan gabungan dari kognitif yang maladaptif, perilaku, dan respon afektif terhadap stresor. Model ini memberikan kecenderungan atas kerentanan pada psikopatologi, dan atau adanya event negatif dalam hidup seperti riwayat pelecehan atau penolakan, pola asuh orang tua yang tidak tepat, korban kelompok peer, dan juga bullying. Faktor-faktor inilah yang awalnya dapat membawa individu pada suatu episode depresi (Bartlett, 2012).

Terapi CBT untuk depresi menempatkan penekanan pada kognitif dan komponen perilaku yang dimunculkan individu. Komponen perilaku untuk depresi menekankan pada berbagai keterampilan defisit dalam domain pemecahan masalah, hubungan interpersonal, pemecahan masalah sosial, dan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan. Sementara komponen kognitif biasanya berfokus pada identitas dan menantang skema negatif pikirannya, pikiran otomatis, dan distorsi kognitif yang menginterpretasikan pengalaman dalam suatu cara yang terlalu negatif (Mckay & Paleg, 2015). Secara keseluruhan, CBT untuk depresi diperlukan untuk membuat dan menjaga hubungan suportif dan untuk mengatur pemikiran dan emosi sehingga tidak memunculkan perilaku maladaptif. Dalam pelaksanaanya, CBT menempatkan penekanan pada kognitif dan komponen perilaku yang dimunculkan individu. Komponen perilaku menekankan pada berbagai keterampilan defisit dalam domain pemecahan masalah, hubungan interpersonal, pemecahan masalah sosial, dan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan. Sementara komponen kognitif biasanya berfokus pada identitas dan menantang skema negatif pikirannya, pikiran otomatis, dan distorsi kognitif yang menginterpretasikan pengalaman dalam suatu cara yang terlalu negatif. Secara keseluruhan, CBT diperlukan untuk membuat dan menjaga hubungan suportif dan untuk mengatur pemikiran dan emosi sehingga tidak memunculkan perilaku maladaptif (Smythers, 2011).

Conclusion

Terapi Kognitif Perilaku dapat secara efektif mengurangi gejala depresi. Motivasi klien untuk melawan gejala depresi dalam sesi terapi adalah hal yang sangat penting untuk dimiliki. Dengan penerapan restrukturisasi kognitif dan juga penjadwalan aktifitas menyenangkan untuk klien, klien lebih dapat secara aktif mengurangi pemikiran-pemikiran negatifnya, dan secara aktif dan produktif melakukan aktifitas-aktifitas yang telah disusun terkait dengan aktifitas sosial yang di dalamnya terdapat interaksi dengan orang lain, aktifitas yang membuat klien merasa berkompeten terutama dalam mengembangkan bakat minatnya, serta aktifitas yang dapat diasosiakan dengan kesenangan. Dengan dilaksanakannya teknik-teknik yang telah disebutkan, gejala depresi akan menurun sehingga klien dapat menjalankan aktifitas sehari-hari dengan lebih baik dan lebih produktif.

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11

References

  1. Alavi., Effectiveness ofCognitive-Behavioral Therapy in Decreasing SuicidalIdeation and Hopelessness of the Adolescents with Previous Suicidal Attempts. Journal of Pediatri.. 2013; 23(4):467-472.
  2. Bartlett Best Practice Clinical Interventions for Working withSuicidal Adults.. Alabama Counseling Association. 2012; 38(2)
  3. Beck, A. T.,, J Rush, A., F Shaw, B., G Emery,, Cognitive therapy of depression. 1979.
  4. C Davison, Gerald, Psikologi Abnormal. PT. Raja Grafindo Persada.: Jakarta; 2006.
  5. Dimeff, L.,, K Koerner,, CBT in clinical practice: Applications across disorders and settings.. New York: Guilford Press.; 2007.
  6. M Mckay,, Paleg, K., Focal Group Psychotherapy. International Psychotherapy Institute; 2015.
  7. MewtonLouiseGavinAndrews Cognitive behavioral therapy for suicidal behaviors: improving patient outcomes. Psychology Research and Behavior Management. 2016;21-29.
  8. L Mewton,, N Wong,, G Andrews,, The effectiveness of cognitive behavioural therapy for generalized anxiety disorder in clinical practice.. Depression and anxiety,. 2012; 29(10):843-849.
  9. Palazzolo,Jerome Cognitive-Behavioral Therapy for Depression and Anxiety in the. 2015.
  10. Smythers Cognitive-behavioral therapy for adolescent depression.. AdolescPsychiatr Clin ; 2011.
  11. Spirito., Cognitive-behavioral therapy for adolescent depression and suicidality.. Child Adolesc Psychiatr Clin N Am. 2012; 20(2):191-204.