Abstract

This study is conducted to examine the correlation between emotional intelligence and cyberbullying behaviour among teenagers in Salatiga. It involved 405 teenagers aged 15-17 years old (247 girls and 158 boys). Data were taken using The Assessing Emotion Scale of Schutte, Malouff, dan Bhullar (2009), consisted of 33 items with validity coefficient 0,843, to examine validity coefficient, and The Cyber-Bullying Questionnaire of Esther Calvete, Izaskun Orue, Ana Estévez, Lourdes Villardón, and Patricia Padilla (2010), consisted of 16 items with validity 0,839, to examine the variable of the behaviour. It was analyzed using Spearman's rank correlation coefficient in SPSS 16.0 for windows. The results showed a significant negative correlation between emotional intelligence and cyberbullying behaviour with rxy = -0,126 dan p = 0,006 (p < 0,05).

Introduction

Kemajuan teknologi informasi seperti internet memberikan dampak yang signifikan terhadap masyarakat terutama pada remaja yang pada saat ini tidak bias dipisahkan dari penggunaan internet. Survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika atau KEMENKOMINFO menunjukkan hasil bahwa terdapat 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia dengan rentang usia 10-19 tahun yang menjadi pengguna internet, dan media digital merupakan pilihan pertama mereka dalam berkomunikasi, disisi lain data menunjukkan bahwa dari 98% anak-anak dan remaja yang tahutentang internet, 79,5% di antaranya adalah pengguna internet (KEMENKOMINFO, 2014). Data terbaru yang diungkapkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018 bahwa pengguna internet di Indonesia berjumlah 171,17 jutajiwa. Jika ditinjau berdasarkanusia, pengguna internet didominasi oleh usia 15-19 tahun dengan persentase tertinggi yaitu 91%. Ditemukan juga bahwa untuk media sosial yang paling sering dikunjung ia dalah 50,7% facebook, 17,8instagram, 15,1%youtube, dan 1,7% twitter (APJII, 2018).

Kemajuan teknologi informasi seperti internet tidak memiliki batasan yang sangat memungkinkan remaja dapat mengakses hal apapun yang ada di dunia maya. Kemunculan internet yang sangat memberi kemudahan pada saat ini dapat memberikan dampak positif seperti remaja merasakan adanya kemudahan untuk berkomunikasi mencari informasi terbaru dengan mudah dan cepat, mempermu dah untuk mencari solusi dari masalah yang sedang dihadapi, dan menambah atau memperluas jaringan pertemanan (Hakim & Raj, 2017). Disisi lain tidak sedikit dampak negatif yang akan didapatkan remaja dari penggunaan internet seperti salah satun ya ialah munculnya perilaku cyberbullying pada kalanganremaja (Rahayu, 2012). Hal ini selaras dengan pendapat yang diungkapkan oleh Hinduja dan Patchin (2006) bahwa kemajuan teknologi modern sekarang telah memungkinkan calon-calon pelaku bullying untuk memperluas jangkauan agresi dan ancaman mereka di luar dari kontak fisik melalui media elektronik.

Willard (2006) mendefinisikan bahwa cyberbullying adalah perlakuan kejam yang dilakukan dengan sengaja kepada orang lain dengan mengirimkan atau mengunggah bahan atau materi yang berbahaya dan terlibat dalam bentuk-bentuk agresi sosial dengan menggunakan internet atauteknologi digital lainnya. Willard juga mengatakan bahwa cyberbullying dapat sangat berbahaya,dapat terjadi setiap hari dan pada siapasaja. Pesan dan gambar yang berisiancaman dan berbahaya dapatdiunggah dan disebarluaskan begitu saja. Smith et al (2006) juga menjelaskan bahwa cyberbullying adalah tindakan agresif yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang ataupun suatu kelompok dengan menggunakan media elektronik yang dilakukan secara berulang kali dan korban tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Kowalski, Limber, dan Agatston (2008) yang menjelaskan bahwa cyberbullying juga dikenal sebagai penindasan elektronik atau kekejaman sosial online, yang didefinisikan sebagai penindasan melalui e-mail, pesan instan (instant messaging), chat rooms di situs web,ataupun melaluipesan digital ataugambar yang dikirimkan pada telepon seluler. Hal tersebut dilakukan agar pelaku dapat memberikan tekanan secara psikologis kepada individu korban cyberbullying.

Cyberbullying menurut Willard (2006) memiliki beberapa bentuk yakni: (1) Flaming merupakan pesan atau tulisan dengan kata-kata kasar, vulgar, penghinaan ataupun ancaman yang dikirim oleh individu pada individu lainnya. Hal ini dapa tterjadi pada lingkungan komunikasi seperti ruang publik, ruang obrolan, papan diskusi ataupun permainan; (2) Harassment merupakan pelecehan yang terus menerus diulangdengan mengirim pesan ofensif pada individu lain. Pesan-pesan tersebut biasanya dikirim melalui saluran komunikasi pribadi sepertie-mail, instant messaging, ataupun pesanteks. Pelecehan juga dapat terjadi pada lingkungan komunikasi publik; (3) Denigration merupakan pencemaran nama baik dengan cara memfitnah ataupun berbicara hal yang tidak benar pada suatuindividu. Hal ini dapat terjadi dalam bentuk mengirim atau mengunggah fotoat aupun tulisan yang bertujuan untuk mengganggu persahabatan atau pun merusak reputasi dari seseorang. Kegiatan ini sama dengan menyebarkan gosip dan rumor; (4) Impersonation merupakan peniruan atau penyamaran terhadap seseorang yang bertujuan untuk mengunggah hal-hal buruk, tidak benar atau kata-kata ancaman. Hal ini dapat terjadi di profile web pribadi target, blog ataupun melalui sarana atau bentuk komunikasi lainnya; (5) Outing and Trickery merupakan pengunggahan ataupun meneruskan komunikasi seperti gambar yang mengandung informasi pribadi yang intim atau gambar yang mengandung informasi pribadi yang intim atau berpotensi membuat malu seseorang. Bentuk umum dari outing adalah ketika cyberbully menerima pesan dari korban yang berisi informasi pribadi yang bersifat rahasia dan kemudian meneruskannya pada orang lain. Sedangkan trickery merupakan bagian dari outing dimana cyberbully menggunakan trik-trik atau cara sehingga membuat korban tertipu dan mengiriminformasi yang bersifatpribadi dan intim yang akan disebarluaskan ataupun digunakan sebagai bahan ancaman untuk korban; (6) Exclusion merupakan pengecualian atau pun pengucilan dengan cara mengeluarkan korban dari grup. Hal ini dapat terja di dalam lingkungan game online, blog grup, ataupun lingkungan komunikasi lainnya; (7) Cyberstalking merupakan perilaku yang berulang kali mengirim ancaman atau pesan berbahaya yang sangat mengintimidasi, sangat ofen sifatau dapat menjadi pemerasan.

Di sisi lain Smith et al (2006) membagi cyberbullying kedalam tujuh sub kategoriyaitu: (1) Intimidasi pesan teks; (2) Penindasan gambar atau video melalui handphone; (3) Intimidasi panggilan telepon; (4) Penindasan melalui e-mail; (5) Intimidasi ruang obrolan; (6) Menggertak melalui pesan instan; (7) Intimidasi melalui situs web.

Terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi seseorang menjadi pelaku cyber bullying, Williams dan Guerra (2007) menjelaskan bahwa salah satu faktor remaja dapat melakukan cyberbullying ialah pelaku biasanya memiliki prestasi dan nilai akademik yang di bawah rata-rata dan tidak memiliki dukungan dari temannya. Selain itu pelaku cyber bullying cenderung mengancam anak yang menurutnya tidak memiliki kemampuan untuk melawan dan tidak memiliki kemampuan penyelesaian masalah yang baik (Salim dalam Alkatiri dan Ambarini, 2017).Erdur (2010) juga menjelaskanbahwapelaku cyberbullying memiliki moral dan empati yang rendah, empati afektif maupun kognitif.

Dari faktor-faktor pelaku cyberbullying yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa pelaku kurang memiliki kemampuan untuk mengatur dan menggunakan emosi dengan baik sehingga mengakibatkan kurangnya relasi dalam hubungan sosialnya, yang berakibat pada pelaku cyberbullying memilih menuangkan perasaannya dengan cara yang tidak tepat (Baroncelli&Ciucci, 2014). Hal serupa juga diungkapkan oleh Pinar et al (2017) bahwa ketika individu memiliki kecerdasan emosional yang tinggi maka tingkat kepekaan individu tersebut terhadap cyberbullying juga meningkat. Peningkatan kepekaan cyberbullying terhadap individu merupakan komponen yang penting dalam mencegah terjadinya cyberbullying.

Mayer dan Salovey (1997) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mempersepsikan pujian yang akurat, dan mengekspresikan emosi, kemampuan untuk mengakses atau membangkitkan perasaan ketika mereka memfasilitasi pemikiran, kemampuan untuk memahami emosi dan pengetahuan emosional, dan kemampuan untuk mengatur emosi, meningkatkan pertumbuhan emosional dan intelektual. Goleman (1996) berpendapat bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa. Goleman juga mengungkapkan bahwa orang dengan kecerdasan emosional yang berkembang dengan baik kemungkinan besarakan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka; orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk memusatkan perhatian pada pekerjaan dan memilikipikiran yang jernih.

Mayer dan Salovey (1997) menjelaskan bahwa terdapat empat branch kecerdasan emosional yaitu: (1)Perception, Appraisal and Expression of Emotion adalah kemampuan untuk mengenali emosi, mengekspresikan emosi, dan mengendalikan emosi pada diri sendiri, serta kemampuan untuk mengetahui emosi maupun perasaan yang dimiliki oleh orang lain; (2) Emotional Facilitation of Thinking adalah kemampuan yang berfungsi untuk mengarahkan, membangun, mengembangkan, dan menggunakan suatu emosi untuk dapat memfasilitasi mekanisme berpikir. Perspektif ini meliputi pengertian akan emosi-emosi yang bekerja berdasarkan kecerdasan, sehingga emosi dapat membantu pemrosesan intelektual. Dengan demikian seseorang akan dapat mengendalikan emosinya sehingga dapat mencapai suatu target yang diinginkan; (3) Understanding and Analyzing Emotions; Employing Emotional Knowledge adalah kemampuan untuk memberi label pada emosi, mengetahui makna yang yang disampaikan oleh emosi mengenai hubungan, memahami perasaan yang kompleks, dan kemampuan mengenali kemungkinan transisi di antara emosi; (4) Reflective Regulation of Emotional to Promote Emotional and Intellectual Growth adalah kemampuan untuk mengelola perasaan apabila dalam keadaan menyenangkan atau pun tidak, memonitor emosi dalam diri maupun ketika sedang berelasi dengan orang lain, mengatur emosi untuk dapat meraih apa yang ingin dicapai dengan memahami keterkaitan antara tingkah laku sosial dan emosi.

Individu yang tidak dapat mengontrol emosinya akan berdampak pada kegiatansehari-hari. Ia akan cenderung susah untuk mengontrol emosinya lebih susah untuk berinteraksi dengan individu lain (Bracket, Rivers, &Shiffman, 2006).Sedangkan individu yang dapat mengatur emosinya dengan baik akan lebih peka dan berempati terhadap individu lain, sehingga memudahkan mereka untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar (Pinar et al, 2017). Ketika individu dapat mengelola emosinya dengan baik maka, apabila membangun relasi dengan siapa pun baik di dunia nyata maupun di dunia maya iaakanberhasil (Goleman, 1996).

Dalam penelitian Brackett dan Rivers (2011) diungkapkan bahwa kecerdasan emosional adalah faktor penting yang dapat mempengaruhi perkembangan anak muda terutama dalam mencegah terjadinya berbagai bentuk penindasan termasuk cyberbullying. Pinar et al (2017) dalam penelitian mereka juga mengungkapkan bahwa ketika individu memiliki kecerdasan emosional yang tinggi makatingkat kepekaan individu tersebut terhadap cyberbullying juga meningkat. Peningkatan kepekaan cyberbullying terhadap individu merupakan komponen yang penting dalam mencegah terjadinya cyberbullying. Dilihat dari beberapa penelitian yang telahdijabarkansebelumnyaperilaku cyberbullying memilikihubungan yang berkesinambungan dengan kecerdasan emosional, individu yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah memiliki peluang besar untuk melakukan cyberbullying. Hal ini karena individu-individu yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah susah untuk mengelola emosinya, tidak dapat berempati dengan orang lain, dan sulit untuk mengatur emosi dan menempatkanemosikepadaindividulain, sehinggaindividutersebutkesulitanuntukmengontrolemosinya, melampiaskannyadengancara yang salah sepertimengirimpesan yang tidakbaik pada orang lain dan rentanberperilakuagresif. Hal tersebutlah yang membuat orang dengankecerdasanemosional yang rendahcenderungdapatmenjadipelakucyberbullying.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Alkatiri dan Ambarini (2017) mengungkapkanbahwaterdapathubungan yang negatif yang berartisemakintinggikecerdasanemosionalmakaakansemakinrendahperilakucyberbullying. Dalampenelitian lain yang dilakukan oleh Sari dan Suryanto (2016) diungkapkanbahwakecerdasanemosionalsangatberperandalammembantumunculnyaperilakucyberbullying. Di sisi lain penelitian yang dilakukan oleh Agrippina (2016) menunjukkanhasil yang berbedabahwakematanganemositidakmemilikiatautidakterdapathubungandenganperilakucyberbullying pada dewasaawal. Kematanganemosionaladalahsuatukeadaantercapainyatingkatkedewasaandariperkembanganemosional; individusudahtidakmenunjukkanpolaemosionalsepertianak-anak (Chaplin, 2011). Individu yang telahberada pada tahapkematanganemosionaldapatmengontrolemosinya, kemudianakanterlihatdalamperilakunyasehari-hari (Gunarsa, 2008). Dilihatdaripendapatahli di atasmakakematanganemosionaleratkaitannyadengankecerdasanemosional, bahwaindividu yang memilikikematanganemosidapatmengontrol dan mengenaliemosinya. Sejalandenganteorikecerdasanemosidari Mayer dan Salovey (1997), bahwamengontrol dan mengenaliemosimerupakan salah satuaspekkecerdasanemosi.

Secaratradisional masa remajadianggapsebagaiperiode “badai dan tekanan”, suatu masa yang membuatketeganganemosimeninggisebagaiakibatdariperubahanfisik dan kelenjar. Makatakjarangapabilaremajacenderungmelampiaskanemosinya pada rekansebayadenganberbagaitindakan, sepertitindakkekerasan (Hurlock, 1999). Hal lain yang menunjukkanbahwahubunganantarakecerdasanemosionaldenganperilakucyberbullying pada remajapentinguntukdilakukankarenadalamsurvei yang dilakukan oleh APJII (2018) tercatatbahwapersentasepengguna internet tertinggiberadapada masa remaja. Hurlock (1999) menambahkanbahwa masaremajaadalah masa peralihandenganperubahansecarafisik dan psikologisdari masa kanak-kanakke masa dewasa. Masa peralihanini yang biasanyamembuatremajasusahuntukmengekspresikandirinya, susahuntukmengelolaemosisertacenderung salah dalammengambiltindakan. Berdasarkanfenomena yang terjadi pada remajasertahasil-hasilpenelitiansebelumnya yang belumkonklusifmakatujuandaripenelitianiniadalahuntukmenemukanhubunganantarakecerdasanemosionaldenganperilakucyberbullying pada remaja di Salatiga.

Hipotesisdaripenelitianiniadalahterdapathubungannegatifantarakecerdasanemosionaldenganperilakucyberbullying pada remaja di Salatiga.

Metode Penelitian

Pada penelitianini, penelitimenggunakanjenispenelitiankuantitatifkorelasional. Dalampenelitianini yang merupakanvariabelindependent (X) adalahkecerdasanemosional dan variabeldependent (Y) adalahperilakucyberbullying.

Partisipandalampenelitianiniadalahsiswa-siswiSekolahMenengah Atas di Salatiga, dengankarakteristiksebagaiberikut: (1) Remaja Tengah yang berusia 15-17 tahun; (2) Mempunyaismartphone, laptop, komputer, dan tablet; (3) Minimal memilikisatu media sosialsepertiinstagram, twitter, facebook, dan lain-lain (4) Setidaknyaaktifmenggunakansmartphone dan sosial media; (5) Bersediamengikutipenelitian.

Teknik sampling yang penelitigunakanialahrancangansampelnonprobabilitas (non-probability sampling design).Penelitimenggunakanteknik sampling insidental. PopulasiterdiridariremajaSalatiga yang berusia 15-17 tahundenganjumlah 9.547. Untukmenentukanjumlahsampel, penelitimenggunakanrumuspenentuansampeldariSlovinsehinggadidapatihasilsejumlah 384 partisipan. Dikarenakanjumlahsampel yang banyak, untukitupenelitimembuatangketsecaraonline denganmenggunakangoogle form sebagai media pengumpulan data sehingga data dapatterjangkausecaraluas. Pada saatpengumpulan data, data yang didapatsebanyak 405 partisipan yangberasaldariberbagaisekolahmenengah yang terdapat di Salatiga. Prosedurpengambilanpartisipandilakukandengancaramembagikanangketonline secararandom/acak pada setiapremajadengankriteria yang penelititemui. Untukmemenuhijumlah minimal partisipan, penelitimembutuhkanwaktusatuminggu agar pengambilan data dapatterkumpulsesuaidengankebutuhan.

Data DemografiSubjek

Berdasarkanhasil yang diperolehdaripengumpulan data, makadidapatibeberapa data yang menunjukkandistribusipartisipan yang menjadirujukanketikamelihatkarakteristikpartisipan yang menjadisubjekdalampenelitian. Karakteristiktersebutmeliputiusia, jeniskelamin, dan kelas, berikutrincian data demografiresponden:

Tabel 1. UsiaResponden

Table 1.

Tabel 2. JenisKelamin

Table 2.

Tabel 3. Kelas

Table 3.

Results

Analisa DeskriptifVariabel

Berdasarkanhasilanalisadeskriptifvariabelkecerdasanemosional, makadidapatihasilbahwasebagianbesarpartisipanmemilikikecerdasanemosional yang tinggiyaitu, sebanyak 228 orang (56.5 %). Pada kategorisangattinggimendudukiperingkatkeduadenganjumlahpartisipansebanyak 168 (41,5 %). Di sisi lain kategorirendahberada pada tingkat 3 denganjumlahpartisipansebanyak 7 orang (1.7%). Diperingkatterakhirada pada kategorisangatrendahdenganpartisipanhanya 1 orang (0.2%). Jadi dapatdisimpulkanbahwakecerdasanemosionalpartisipantergolongtinggi.

Pada hasilanalisadeksriptifvariabelcyberbullying, hasil yang ditemuiialahsebagianbesarpartisipantidakpernahmelakukanperilaku cyberbullying denganjumlah 394 orang (0.5%). Di sisi lain partisipan yang kadang-kadangmelakukanperilaku cyberbullying sebanyak 9 orang (2.2 %). Peringkatterakhirjatuh pada kategorisering, dimanapartisipan yang seringmelakukanperilaku cyberbullying hanyasejumlah 2 orang (0.5 %). Jadi dapatdisimpulkanbahwaperilaku cyberbullying partisipanberada pada kategoritidakpernah.

Tabel 4. Analisa DeskriptifKecerdasanEmosional

Table 4.

Tabel 5. Analisa DeskriptifCyberbullying

Table 5.

Uji Normalitas

Pada uji normalitas, penelitimenggunakanteknikKolmogorov-Smirnov denganmenggunakanaplikasi SPSS 16.0 for windows. Data dapatterbilang normal apabilanilaiAsymp.sig (2-tailed) yang didapatiharus≥ 0,05. Berdasarkanhasil yang didapatidalam uji normalitasmaka data yang diperolehuntukskalakecerdasanemosionalsebesar 0.195 dan cyber-bullying sebesar 0.000. Hasil tersebutdapatdisimpulkanbahwavariabelkecerdasanemosionalmemilikipersebaran data normal, sedangkan disisi lain cyber-bullying memilikipersebaran data yang tidak normal.

Tabel 6. Uji Normalitas

Table 6.

Uji Linearitas

Pada uji linearitaspenelitimenggunakanaplikasi SPSS 16.0 for windows denganmelakukan uji test for linearity. Data dapatdikatakan linear apabilanilaideviation from linearity sig ≥ 0.05. Berdasarkan uji linearitas pada tabelAnova data F pada deviation from linearitysebesar 1.077 dengansignifikansi 0.358. Hasil tersebutdapatdisimpulkanbahwakecerdasanemosional dan cyberbullyingmemilikihubungan yang linear, berikutperolehanhasil uji linearitas:

Tabel 7. Uji Linearitas

Table 7.

Uji Korelasi

Pada uji korelasi, penelitimenggunakan uji korelasiSpearman’s Rho. Berdasarkanhasil data yang telahdiuji, terdapathubungannegatif yang signifikanantarakecerdasanemosional dan perilakucyberbullyingdenganrxy = -0,126 dan p = 0,006 (p < 0,05), namunhubunganantarakeduavariabeltergolonglemah. Berikutperolehanhasil uji korelasi:

Tabel 8. Uji Korelasi

Table 8.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku cyberbullying pada remaja di Salatiga. Hasil yang didapati ialah terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosional dan perilaku cyberbullying pada remaja di Salatiga. Maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional remaja di Salatiga, semakin rendah pula perilaku cyberbullying timbul pada remaja di Salatiga, begitu pula sebaliknya. Untuk itu hipotesis awal yang peneliti nyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan perilaku cyberbullyingdapatditerima.

Discussion

Temuan ini membuktikan bahwa kecerdasan emosional memiliki peranan penting dalam mengendalikan perilaku cyberbullying. Hal ini didukung dengan pernyataan dari Brackett dan River (2011) yang mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional memegang peranan penting dalam perkembangan anak muda terutama dalam mencegah terjadinya berbagai bentuk penindasan termasuk cyberbullying. Hal serupa juga diungkapkan oleh Lomas, Stough, Hansen, dan Downwy (2012) bahwaketerampilan, kontrol dan manajemen emosi memiliki peranan besar dalam mengontrol perilaku cyberbullying pada temansebaya di usia remaja. Remaja dengan kecerdasan emosional yang baik memiliki lebih sedikit emosi negatif pada dirinya terkait dengan ekspresi agresivitas atau kemarahan. Remaja yang sulit untuk mengatur manajemen stresnya merupakan orang yang agresif dan cepatter singgung. Merekabiasanyamenggunakan strategi koping non-produktifuntukmengurangistresdaripadamencarisolusiuntukkonflik, sehinggamenimbulkankesulitan yang lebihbesardalampengaturan dan manajemenemosional. Semakinsulitremajaberinteraksidengan orang lain, makamerekamungkinmengalamikesulitan pula dalammengidentifikasiemosi orang lain, sehinggamenyebabkansemakinbesarketerlibatanmerekadalamperilakumengganggutermasukbullying dan cyberbullying (Méndez et al, 2019).

Cyberbullying merupakan erilaku yang disengaja dan dilakukandenganintensitas yang seringsehinggadapatmenimbulkankerugianbagi orang denganmenggunakan media elektronik. Pinar et al (2017) mengungkapkanapabilaindividumemilikikecerdasanemosional yang tinggimakaperilakuagresifremajadapatdikontrolsehinggahaltersebutmeningkatkankepekaanindividuterhadapperilakucyberbullying. Peningkatankepekaancyberbullyingterhadapindividumerupakankomponen yang pentingdalammencegahterjadinyacyberbullying. Individu yang memilikikecerdasanemosional yang tinggi juga memilikiempati yang tinggi. Hal iniberkaitandengan salah satuaspek yang ada pada kecerdasanemosionalyaitu, perception, appraisal and expression of emotionmerupakankemampuanuntukmengetahuiemosimaupunperasaan yang dimiliki oleh orang lain. Kemampuanmengetahuiemosiataupunperasaan orang lain yang tinggidapatmemberikanpeningkatankepekaaanterhadapcyberbullying yangmanaindividutersebutdapatmemposisikandiri pada posisi yang dialami orang lain. Goleman (1996) menjelaskanbahwakecerdasanemosionalsangatberperanuntukmengetahuikondisiemosisertaperasaan orang lain, begitu pula denganempati yang tinggiterhadapkeadaanseseorangsangatberperanbesardalammencegahterjadinyaperilakucyberbullying. Goleman juga berpendapatbahwaindividu yang memilikikecerdasanemosi yang rendahdapatberdampak pada kesejahteraanpsikologis, produktivitas, kemampuandalamberinteraksisosial, dan cenderungmelakukanperilakuagresif.

Kowalski (2008) menyebutbeberapalatarbelakangseseorangdapatmelakukanperilakucyberbullying antara lain, rasa marah, sakithati, balasdendam, hauskekuasaan yang menyebabkanperasaaninginmenyakiti orang lain, persainganantartemansebaya, dan keberadaan yang ingindiakui. Hal-haltersebutmemperlihatkankurangnyapengendaliandiri yang dimiliki oleh individuterutamaremaja yang masihdalamusialabil. Imanudin (2017) menjelaskanbahwaindividu yang mempunyaikecerdasanemosional yang kurang juga memilikipengendaliandiri yang kurang, kecerdasanemosional yang kurangmemberikandampakterhadapkontroldirisehinggaindividucenderungberbuatseenaknya dan tidakmemikirkanperasaan orang lain.

Selainlatarbelakang di atas, berbagaifaktorkepribadiandapatmenjadialasan yang mendorongindividumenjadipelakucyberbullying yang mempunyaikecerdasanemosional yang rendah. Orang-orang yang memilikikecerdasanemosional yang rendah dan tidakfleksibel, biasanyatidakmemilikiketerampilandalammengelolaemosi yang merekamiliki, dan sulitbagimerekauntukmemecahkanmasalah yang datangtanpaterlibatdalamperilakuagresif(Méndez et al, 2019). Kurangnyaketerampilandalammanajemenemosional, kontrol dan pengendalianemosi juga berdampakbesarakantimbulnyaperilakucyberbullying (Lomas et al, 2012).

Remaja yang memilikikecerdasanemosional yang tinggidapatlebihmengendalikanemosinya, memilikiempati yang tinggiterhadapsesama, mampumemposisikandiridengansesama, dapatbergauldenganluwes, mampumenyelesaikanmasalahnyasendiri, dan bertindakbenardalammengeluarkanperilaku yang baikatautidakdalamberinteraksidengan orang lain. Dalamkehidupannyatakecerdasanemosional yang tinggiseperti, dapatmemilah kata-kata yang baikuntukdiunggah, tidakmenyerbarkanaibseseorang, membalaspesandengansopan, memintaijinuntukmengunggahfoto orang lain, dan tidakberusahamengambilalih media sosial orang lain. Kecerdasanemosional yang rendahdapatmembuatindividutidakmemilikiempatikepada orang lain, mengeluarkan kata-kata kasarataumakian, berperilakusesuaikeinginannya, merasadirinya paling benar, dan tidakpandaimengelolainformasisehinggacenderung salah menanggkapinformasi yang ada. Individu yang memilikikecerdasanemosional yang rendahcenderungmenjadiperilakucyberbullying.Cyberbullying pada kalanganremajamembuatremajabertindakseenaknyadalammengunggah kata-kata kasarataupunfoto yang dapatmerugikan orang lain, sepertimelontarkan kata-kata makian dan mengunggahaib orang lain tanpaijin.

Berdasarkanhasilkoefisienkorelasi yang tergolongrendah dan sumbanganefektifkecerdasanemosional pada perilakucyberbullying yang hanyasebesar 1,6 %, halinimenunjukkanbahwaterdapatfaktor lain sebanyak 98,4 % yang dapatmemicuseseorangmenjadipelakucyberbullying. Pratiwi (2011) menjelaskanbahwaterdapat lima hal yang dapatmenyebabkanseseorangmenjadipelakudaricyberbullying yaitu; 1) Bullying tradisional, menurutpenelitian yang dilakukan oleh Riebel et al (2009) dalamPratiwi (2011) mengungkapkanjikahasilbahwadari 77 subjek yang merupakanpelakucyberbullying terdapat 63 subjek yang merupakanpelakubullies dalamkehidupansehari-hari. Hal iniserupadenganpenelitian yang dilakukan oleh Ingke (2010) dalamPratiwi (2011) sebagianbesarsubjekpernahterlibatdalamperilakubullyingtradisional, sedangkanuntuksubjek yang pernahterlibatdalamperilakucyberbullying sebanyak 82,55 %. Makadapatditarikkesimpulanjikabullying yang terjadidalam dunia nyatasangatmemberikanpengaruh pada individuuntukmenjadipelakucyberbullying, 2) Pratiwi (2011) menjelaskan salah satufaktorpelakumelakukancyberbullying ialahkarakterindividu yang menimbulkanpelakucyberbullying terpikat dan berkeinginanuntukmem-bully. Persepsiseseorangterhadapindividu lain merupakanfaktor yang dapatmempengaruhisikap orang lain menjadipelakucyberbullying. Individu yang kontroversial, dan mempunyaikarakter yang unikataupunindividu yang cenderungdikucilkandapatmenjadi target cyberbullying, 3) Strain,ialahkeadaandimanaindividumempunyaiketeganganpsikis yang merupakanhasildarihubungannegatif yang menimbulkanefeknegatif pada individulain, 4) Peran orang tuadalammengawasianak, orang tuamemilikikapasitaspentingdalammengawasi dan mengarahkananaknya agar cermatsaatbermainmaupunmemakai internet. Hal tersebutdapatmengantisipasianakmenjadipelakucyberbullying.Menurut Willard (2005) orangtua yang kurangmengawasiaktivitas online menjadikananaklebihmudahterlibatdalamaksicyberbullying. Anak yang menjadipelakucyberbullying cenderungmemilikibanyakkonfliktermasukdengan orang tuanyasendiri.

Conclusion

Berdasarkanhipotesis dan hasil data penelitian, didapatirxy = -0,126 dan p = 0,006 (p < 0,05),yang artinyaterdapathubungannegatif yang signifikan pada kecerdasanemosional dan perilakucyberbullying pada remaja di Salatiga.Semakintinggikecerdasanemosional, makasemakinrendahperilakucyberbullying remaja di Salatiga. Berdasarkanhasilanalisadeskriptifvariabelkecerdasanemosional, didapatihasilbahwasebagianbesarpartisipanmemilikikecerdasanemosional yang tinggi.

Untukbagianhasilanalisadeksriptifvariabelcyberbullying, didapatibahwasebagianbesarpartisipantidakpernahmelakukanperilaku cyberbullying.

Saran untukpeneliti di masa depan (1) Agar mempertimbangkanuntukmenelitifaktor lain yang berperandalamperilakucyberbullyingselain yang adadalampenelitianinisepertikontroldiriataupengendaliandiri, dan regulasiemosi. (2) Agar mempertimbangkankategoriusia dan daerahdengancakupan yang lebihmerata, halinibermaksuduntukmenggeneralisasikanhasilpenelitian.

Saran untukremaja (1) Karena didapatihasildarikecerdasanemosional yang tinggi dan tingkatperilakucyberbullying yang rendah, penelitiberharap para partisipandapatmempertahankanperilakutersebut. Kecerdasanemosional yang tinggi, membuatindividumemilikiempati yang tinggisertamemilikipeningkatankepekaan pada perilakucyberbullying. Hal tersebutdapatdipertahankandengancara: lebihseringberinteraksidengan orang lain sehinggaindividudapatmengenaliberbagaimacamemosi yang dimiliki oleh orang lain dan mengasahempati yang dimiliki, mengelolastresdenganbaikdenganmelakukankopingstres, melakukanintropeksidirimendalam agar individudapatlebihmengenaliemosinya, dan lain-lain. (2) Penelitimengharapkan agar remajalebihselektiflagiuntukmengunggah foto atau video maupun menuliskan komentarkesosial media, sehinggatidakmerugikan orang lain seperti; mengunggahfotoatau video aib orang lain. Berdasarkanhasil dari pengisian Cyber Bullying Questionnairemasihbanyakremaja yang mengunggah foto ataupun video aib orang lain.

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18

References

  1. Agrippina, Y. A., Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Hubungan kematangan emosi dengan kecenderungan perilaku cyberbullying pada dewasa awal. 2016.
  2. Alkatiri, N.,, Ambarini, T. K., Hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku cyberbullying pada remaja madya di Surabaya. Journal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. 2017; 6(6):67-79.
  3. A Baroncelli,, E Ciucci,, Unique effects of different components of trait emotional intelligence in traditional bullying and cyberbullying.. Journal of Adolescence,. 2014; 37(6):807-815.
  4. A Brackett, M., Rivers, S. E., Rivers, S. E. (2006). Relating emotional abilities to social functioning: A comparison of self-report and performance measures of emotional intelligence.. Journal of Personality and Social Psychology,. 2006; 91(4):780-795.
  5. Brackett, M., E. Rivers, S., Salovey, P., Emotional intelligence: Implications for personal, social, academic, and workplace success.. Social and Personality Psychology Compass. 2011; 5(1):88-103.
  6. P Chaplin, J., Kartini Kartono. Kamus lengkap psikologi.. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada; 2011.
  7. Erdur Baker, O., Cyberbullying and its correlation to traditional bullying, gender and frequent and risky usage of internet-mediated communication tools.. New Media & Society. 2010; 12(1):109-125.
  8. D Goleman,, Emotional intelligence: Kecerdasan emosional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.; 1996.
  9. D Gunarsa, Singgih, Psikologi anak: Psikologi perkembangan anak dan remaja.. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.; 2008.
  10. B Hurlock E., Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.; 1999.
  11. Kowalski, R.M.,, Limber, S.P.,, P.W. Agatston,, Cyberbullying: Bullying in the digital age. Oxford:. 2008.
  12. Lomas, J.,, Stough, C.,, Hansen, K.,, A Downey, L., Brief report: Emotional intelligence, victimisation and bullying in adolescents. Journal of Adolescence.. 2012; 35(1):207-211.
  13. I Méndez,, B., Jorquera, A., C. Ruiz-Esteban,, P. Martínez-Ramón, J., A. Fernández-Sogorb,, Emotional intelligence, bullying, and cyberbullying in adolescents.. International journal of environmental research and public health.. 2019; 16(23):1-9.
  14. E Pinar, S., B. Cesur,, M Koca,, N Sayin,, F Sancak,, Emotional intelligence levels and cyberbullying sensibility among turkish university students.. International Online Journal of Educational Sciences. 2017; 9(3):676-685.
  15. S Rahayu, F., Cyberbullying sebagai dampak negatif penggunaan teknologi informasi. Journal of Information Systems.. 2012; 8(1):22-31.
  16. Sari, Renny N.,, Suryanto. Kecerdasan emosi, anonimitas dan cyberbullying (bully dunia maya).. Jurnal Psikologi Indonesia. 2016; 5(1):48-51.
  17. S., Schutte, N., M Malouff, J., N. Bhullar,, The assessing emotions scale In C. Stough et al. (Eds.).. Assessing emotional intelligence.. 2009;119-134.
  18. Williams, K. R.,, Guerra, N. G., Prevalence and predictors of internet bullying. Journal of Adolescent Health.. 2007; 41(16):14-21.